SUGENG RAWUH DATENG GUBUK ONLINE RAZY SAMUDRA: Blog ini kami sajikan untuk pengunjung, guna saling menambah khazanah keilmuan

Mencoba berbagai gaya

Gambar tersebut diambil dari berbagai macam kegiatan sik asik di MAN 2 Bojonegoro, Adventure ke Pacitan, Ponorogo, Wonogiri, Magetan dll.

Launching Website PW ISHARI Jatim

Rakorwil 2 PW ISHARI Jatim di PP. Sunan Kali Jaga Jabung Malang, tanggal 6-7 Maret 2015.

ISTIHLAL dan KAJIAN ASWAJA

ISTIHLAL DAN KAJIAN ASWAJA oleh Majelis Pembina Taman Pendidikan Al Qur'an An Nahdliyah th 2013 di ISLAMIC CENTRE Bojonegoro.

PERESMIAN GEDUNG TPQ/MADIN AS SALAM Bulu

Peresmian Gedung TPQ/Madin AS SALAM Bulu Balen Bojonegoro pada tanggal 28 Mei 2014.

WISUDA SANTRI TPQ

Wisuda Santri Taman Pendidikan Al Qur'an An Nahdliyah Cabang Bojonegoro di Islamic Centre Bojonegoro.

Monday, May 7, 2012

TEORI PEMBELAJARAN “SAMA BISA” TERHADAP ANAK DIDIK Oleh : FAHRU ROZI, M.Pd.I

TEORI PEMBELAJARAN “SAMA BISA” TERHADAP ANAK DIDIK 
Oleh : FAHRU ROZI, M.Pd.I 
A. PENDAHULUAN
a. Latar belakang masalah Anak adalah amanat dari Allah SWT yang dititipkan kepada semua orang tua. Hanya manusia pilihannyalah yang diberi kepercayaan untuk memikul amanat tersebut,dengan berbagai pertimbangan yang Allah sendiri yang tahu, sebagai mana ketika kita menitipkan barang milik kita pasti kita punya kriteria orang yang bisa menjaga barang kita dengan penuh amanah. Tidak mungkin kita titipkan sepeda motor kepada orang yang pekerjaanya mencuri sepeda motor. Orang tua dalam lingkup keluarga, guru guru serta pemerintah adalah merupakan kepanjangan tangan dari Allah agar supaya mereka menjaga amanat dari Allah yang berupa anak, untuk diberi kasih sayang, perhatian serta pendidikan yang bisa menghantarkanya kearah kesuksesan baik dunianya maupun akheratnya. Bahkan ketika ada orang yang berkhiyanat dalam arti tidak mau ataupun enggan menerima amanat itu maka ia dapat dikatagorikan orang yang munafiq ( hadist nabi tanda tanda orang munafik). Tentunya ini sangat tidak kita harapkan karena jelas jelas akan di laknat oleh Allah. Oleh karena itu orang tua, sekolah (para guru) serta pemerintah memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam mendidik anak. Sebagi mana perintah langsung dari Allah yang maksudnya ” jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka” (Al Qur’an) serta larangan Allah ” janganlah engkau tinggalkan generasi dalam keadaan lemah” (Al Qur’an). Dari kedua ayat itu betul betul Allah sangat memperhatikan perkembanga anak sebagai generasi penerus dimuka bumi ini ( khalifah fil ard ) harus betul betul kuat di segala aspek kehidupanya. Kuat pengetahuanya ( knowledge ) ketrampilan ( skill ) serta kuat nilai nilai normatifnya ( value ). Untuk mencapai tujuan yang luhur ini perlu adanya rumusan sebuah teori pembelajaran terhadap anak didik secara benar. Baik kebenaran itu ikut aliran rasionalisme, empirisme, romantisisme maupun mistisisme. Dari sumber kebenaran rasionalisme dan empirisme melahirkan yang namanya karya ilmiyah sedangkan romantisisme dengan mistisisme melahirkan sumber kebenaran berupa keyakinan. (baca filsafat ilmu Jujun S. Suriasumantri hal : 45 ) Dalam sebuah hadist, nabi menjelaskan bahwa semua orang itu adalah merugi kecuali orang yang berbuat, iapun masih merugi kecuali disertai ilmu (teori) iapun masih merugi kecuali disertai ikhlas. Dari hadist nabi ini dapat kita ambil pelajaran bahwa pembelajaran terhadap anak tanpa teori yang benar maka akan merugikan anak itu sendiri. Dalam mendidik anak harus betul betul bisa memilah serta memilihkan ilmu apa atau kata kata apa yang seharusnya layak disampaikan dan didengarkan kepada anak, serta kapan anak harus mendapatkan ilmu itu. Ini sangat penting untuk kita kaji karena berawal dari fakta kejadian keluarga sahabat saya dan mungkin juga terjadi pada keluarga lain serta pada lingkungan sekolah pada umumnya. Saya mempunyai seorang sahabat yang bercerita tentang anaknya, dia memiliki anak laki laki yang baru berusia 6 tahun.saat ini anaknya sudah sekolah di taman kanak kanak ( TK ). Suatu pagi ketika habis bangun tidur anaknya lari ke halaman rumahnya untuk buang air kecil di tempat itu. Melihat kejadian itu istri dia langsung menegor anaknya sambil mengatakan ” hai nak jangan kencing disitu itu salah” pada kejadian yang lain anaknya ikut menonton acara televisi akrobat yang pemainnya hanya memakai pakaian yang tidak pantas dilihat anak seusia dia. Dia matikan TV nya lalu ibunya bilang ” ndak boleh melihat acara itu berdosa lho nak !”Ibunya bilang pada anaknya.. Dari dua kejadian tersebut dapat kita temukan 2 kata ”salah” dan ”dosa” ini adalah contoh kata kata yang sama sama punya tujuan mendidik anak agar tidak mengerjakan perbuatan yang tidak terpuji, namun dalam penerapanya terhadap anak kapan dia layak mendengarkan kata kata benar dan salah, baik dan buruk, indah dan jelek., serta dosa dan pahala. Sebagai seorang pendidik baik dia sebagai orang tua, apalagi seorang guru maka betul betul dia harus bisa menerapkan kata kata tersebut diatas terhadap anak didiknya. Karena jika salah penerapannya,maka akan berdampak tidak baik terhadap anak, seperti contoh yang saya kemukakan diatas, kata dosa dan kata salah jika diterapkan pada anak yang masih balita ( bayi lima tahun ) contohnya maka bisa bisa anak selalu takut berbuat akhirnya anak akan mati kreatifitasnya. Padahal ada orang bijak bilang ” cobalah dan perhatikan niscaya kamu akan mengerti” b. Rumusan masalah Dari latar belakang masalah tersebut diatas kiranya penulis dapat menarik dua masalah pembelajaran anak, yang sangat membutuhkan solusi pamacahan masalah. Yaitu: 1. Apakah teori pembelajaran anak yang tepat untuk diajarkan kepada anak/siswa ? 2. Kapankah waktunya anak boleh menerima kata kata dosa atau pahala,benar atau salah, baik atau buruk serta indah atau jelek ? 
B. FAKTA / REALITAS Fakta dilapangan kita mulai dari kasus individu keluarga saya, yang telah saya paparkan pada latar belakang masalah. Disitu jelas tidak ada pemilahan antara kata salah, dosa, buruk maupun jelek. Ini terjadi disebabkan karena dibangku sekolah belum pernah bahkan tidak pernah didapat dari guru guru, yang ketika melarang murid muridnya terkadang menggunakan kata dosa, salah, buruk atau jelek padahal masalahnya sama. Menurut asumsi saya kasus ini tidak hanya terjadi pada khusus keluarga sahabat saya,mungkin juga terjadi pada keluarga atau lembaga pendidikan ( sekolah ) yang lain. Oleh sebab itu lewat tulisan ini perlu kiranya kita carikan solusi agar tidak berlarut larut dan berkepanjangan, dan juga tidak menimpa pada anak bangsa secara umum. C. KONSEP KONSEP PEMBELAJARAN 1. Teori Belajar Piaget Piaget merupakan salah satu pioner konstruktivis, ia berpendapat bahwa anak membangun sendiri pengetahuannya dari pengalamannya sendiri dengan lingkungan. Dalam pandangan Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator dan buku sebagai pemberi informasi. Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan yaitu 1) memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada hasil tersebut. Pengalaman - pengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan jika guru penuh perhatian terhadap Pendekatan yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud, 2) mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi ( ready made knowledge ) anak didorong menentukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan, 3) memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbungan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu - individu ke dalam bentuk kelompok - kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal, 4) mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan - gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung, perkembangannya dapat disimulasi 2. Teori Belajar Vygostky Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing - masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas - tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap - tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu 1) menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi - strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing - masing zone of proximal development mereka; 2) Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep - konsep dan pemecahan masalah. 3. Teori Belajar dari Perspektif Konstruktivis Secara umum yang disebut konstruktivisme menekankan kontribusi seseorang pembelajar dalam memberikan arti, serta belajar sesuatu melalui aktivitas individu dan sosial. Tidak ada satupun teori belajar tentang konstruktivisme, namun terdapat beberapa pendekatan konstruktivis, misalnya pendekatan yang khusus dalam pendidikan matematik dan sains. Beberapa pemikir konstruktivis seperti Vigotsky menekankan berbagi dan konstruksi sosial dalam pembentukan pengetahuan (konstruktivisme sosial); sedangkan yang lain seperti Piaget melihat konstruksi individu lah yang utama (konstruktivisme individu). a. Konstrukstivisme Individu Para psikolog konstruktivis yang tertarik dengan pengetahuan individu, kepercayaan, konsep diri atau identitas adalah mereka yang biasa disebut konstruktivis individual. Riset mereka berusaha mengungkap sisi dalam psikologi manusia dan bagaimana seseorang membentuk struktur emosional atau kognitif dan strateginya. Piaget misalnya mengusulkan tahapan kognitif yang dilakukan oleh semua manusia. Berpikir pada tiap langkah memasukkan tahapan sebelumnya sehingga makin terorganisir dan adaptif dan makin tidak terikat pada kejadian kongkrit. Piaget menjelaskan bagaimana tiap individu mengembangkan schema, yaitu suatu sistem organisasi aksi atau pola pikir yang membuat kita secara mental mencerminkan “berpikir mengenainya”. Dua proses diaplikasikan dalam hal ini yaitu asimilasi dan akomodasi. Melalui asimilasi kita berusaha memahami hal yang baru dengan mengaplikasikan schema yang ada; sedangkan akomodasi terjadi ketika seseorang harus merubah pola berpikirnya untuk merespon terhadap situasi yang baru. Seseorang melakukan adaptasi dalam situasi yang makin kompleks ini dengan menggunakan schema yang masih bisa dianggap layak (asimilasi) atau dengan melakukan perubahan dan menambahkan pada schema-nya sesuatu yang baru karena memang diperlukan (akomodasi). Penjelasan di atas menunjukkan penekanan Piaget terhadap pemahaman yang dibentuk oleh seseorang, sesuatu yang berhubungan dengan logika dan konstruksi pengetahuan universal yang tidak dapat dipelajari secara langsung dari lingkungan. Pengetahuan seperti itu berasal dari hasil refleksi dan koordinasi kemampuan kognitif dan berpikir serta bukan berasal dari pemetaan realitas lingkungan eksternalnya. Hal yang paling mendasar dari penemuan Piaget ini adalah belajar pada siswa tidak harus terjadi hanya karena seorang guru mengajarkan sesuatu padanya, Piaget percaya bahwa belajar terjadi karena siswa memang mengkonstruksi pengetahuan secara aktif darinya, dan ini diperkuat bila siswa mempunyai kontrol dan pilihan tentang hal yang dipelajari. Hal ini tidaklah meniadakan faktor guru dalam proses pembelajaran, justru sebaliknya lah yang terjadi. Pengajaran oleh guru yang mengajak siswa untuk bereksplorasi, melakukan manipulasi, baik dalam bentuk fisik atau secara simbolik, bertanya dan mencari jawaban, membandingkan jawaban dari siswa lain akan lebih membantu siswa dalam belajar dan memahami sesuatu. 
b. Konstruktivisme sosial Berbeda dengan Piaget, Vygotsky percaya bahwa pengetahuan dibentuk secara sosial, yaitu terhadap apa yang masing-masing partisipan kontribusikan dan buat secara bersama-sama. Sehingga perkembangan pengetahuan yang dihasilkan akan berbeda-beda dalam konteks budaya yang berbeda. Interaksi sosial, alat-alat budaya, dan aktivitasnya membentuk perkembangan dan kemampuan belajar individual. Vygotsky melihat bahwa alat-alat budaya (termasuk di dalamnya kertas, mesin cetak, komputer dll) dan alat-alat simbolik (seperti sistem angka, peta, karya seni, bahasa, serta kode dan lambang) memainkan peran penting dalam perkembangan kognitif. Sistem angka romawi misalnya punya keterbatasan untuk operasi perhitungan; berbeda dengan sistem angka arab yang biasa kita gunakan yang mempunyai lambang nol, bisa dibentuk pecahan, nilai positif dan negatif, menyatakan bilangan yang tak terhingga besarnya dan lainnya. Sistem angka yang dipakai adalah alat budaya yang mendukung berpikir, belajar dan perkembangan kognitif. System simbol ini diberikan dari orang dewasa ke anak melalui interaksi formal ataupun informal dan pengajaran. Vygotsky menekankan bahwa semua proses mental tingkat tinggi, seperti berpikir dan pemecahan masalah dimediasi dengan alat-alat psikologi seperti bahasa, lambang dan simbol. Orang dewasa mengajarkan alat-alat ini ke anak dalam kegiatan sehari-hari dan si anak menginternalisasi hal tersebut. Sehingga alat psikologis ini dapat membantu siswa meningkatkan perkembangan mental dan berpikirnya. Pada saat anak berinteraksi dengan orang tua atau teman yang lebih mampu, mereka saling bertukar ide dan cara berpikir tentang representasi dan konsep. Sehingga pengetahuan, ide, sikap dan sistem nilai yang dimiliki anak berkembang seperti halnya cara yang dia pelajari dari lingkungannya. 
c. Bagaimana Pengetahuan dikonstruksi? Untuk dapat menjelaskan bagaimana pengetahuan dibentuk, tiga penjelasan yang bertahap merangkum berbagai pendekatan konstruktivisme ini:Realitas dan kebenaran dari dunia luar mengarahkan pembentukan pengetahuan. Individu merekonstruksi realitas diluarnya dengan membentuk representasi mental secara akurat yang mencerminkan “keadaan apa adanya”. Tahap pertama yang tidak lain model pemrosesan informasi dari teori belajar kognitif. 1. Proses internal dari Piaget yaitu organisasi, asimilasi dan akomodasi mengarahkan pembentukan pengetahuan. Jadinya pengetahuan bukan hanya cermin dari realitas, namun suatu abstraksi yang tumbuh dan berkembang dengan aktivitas kognitif. Pengetahuan bukan sekedar benar atau salah; namun terus tumbuh secara internal yang konsisten dan diorganisasikan seiring dengan perkembangannya. 2. Faktor eksternal dan internal mengarahkan pembentukan pengetahuan. Pengetahuan tumbuh melalui interaksi faktor-faktor internal (kognitif) dan eksternal (lingkungan dan sosial). Deskripsi Vygotsky tentang perkembangan kognitif melalui pengenalan dan pemakaian alat-alat budaya seperti bahasa konsisten dengan pandangan ini. Hal berikutnya dalam pendekaran konstruktivis ini adalah pertanyaan tentang apakah pengetahuan yang dibentuk itu bersifat internal, umum dan dapat ditransfer atau terikat dalam ruang dan waktu pada saat dibentuk. Apa yang dijelaskan oleh Vigotsky bahwa belajar tergantung konteks sosial dan berada dalam lingkup budaya tertentu memang tepat. Namun apa yang disebut benar dalam waktu dan tempat tertentu bisa menjadi salah di tempat dan waktu yang lain, seperti anggapan bahwa bumi itu datar sebelum Colombus. Ide-ide tertentu berguna pada komunitas tertentu, namun tidak bermanfaat apa-apa di komunitas lain. Apa yang disebut pengetahuan baru ditentukan sebagiannya dengan bagaimana ide baru tersebut sesuai dengan praktek yang berlaku pada saat tersebut. Sepanjang waktu, praktek yang ada dipertanyakan dan bisa diganti, namun sebelum itu terjadi praktek yang ada terus dilakukan karena dinilai tetap menguntungkan. Selain itu belajar juga terkondisikan berdasar tempat berlangsungnya kegiatan, biasa yang disebut enkulturasi atau proses mengadopsi norma-norma, perilaku, keahlian, kepercayaan, bahasa, sikap dari satu komunitas tertentu. Jadinya pengetahuan tidak hanya dilihat sebagai struktur kognitif individu saja tetapi sebagai buatan dari komunitas sepanjang waktu. Apa yang dilakukan oleh komunitas, cara bagaimana mereka berinteraksi dan menyelesaikan suatu hal, seperti halnya alat yang dibuat oleh komunitas, membentuk pengetahuan dari komunitas tersebut. Belajar artinya menjadi lebih mampu untuk berpartisipasi dalam kegiatan dan pemakaian alat dan mendapat bagian identitas sebagai anggota komunitas. Dari teori teori pembelajaran diatas yang digagas oleh pemikir pemikir barat yang tentunya landasan berfikir mereka dengan landasan teori kebenaranya dengan teori rasionalisme dan empirisme, tentunya sangat perlu untuk dilengkapi dengan teori kebenaran berupa dogmatis yang secara kwalitas jelas lebih tinggi. Karena sumber kebenaranya adalah dari nash al Qur’an yang diturunkan oleh dzat sang pemilik kebenaran. D. PEMBAHASAN TEORI PEMBELAJARAN ”SAMA BISA” 1. Nama teori pembelajaran. Nama teori pembelajaran ini adalah ” SAMA BISA” dengan memilah dan memilih kata benar atau salah, baik dan buruk , indah dan jelek., serta dosa dan pahala, untuk diterapkan kepada anak ataupun siswa. Dibawah ini akan kami uraikan teori ”SAMA BISA” sebagai berikut : 1. S = Seni ( Estetika ) kali pertama ketika anak yang masih usia dini,dan melihat sesuatu pasti yang terkesan pada dirinya adalah hal hal yang berhubungan dengan seni ( Estetika ). Ketika kita mengajak jalan jalan anak kita selalu yang diperhatikan adalah sesuatu yang yang berwarna warni,contoh anak anak yang berada di mal yang paling digemari adalah jika bisa bermain mandi bola, yang disitu terdapat warna bola yang bermacam macam. Walaupun sesuatu itu bisa membahayakan keselamatan dia. Contoh kasus pada zaman kerajaan mesir raja fir’aun pernah murka gara gara jenggotnya ditarik oleh musa. kemudian ia hendak membunuhnya,lalu istri raja fir’aun memberi saran agar musa disuruh memilih dua hal pilihan orang dewasa, yaitu antara bara api dan susu. Ternyata bara apilah yang dipilih oleh musa. Maka terselamatkan musa dari pembunuhan raja yang dholim itu. Ini membuktikan bahwa seorang anak lebih memilih sesuatu yang mempunyai warna yang mencolok. Kemudian ketika pendidik ingin melarang kepada anak yang masih usia dini maka seharusnya ia memilih kata kata yang sesuai dengan kebutuhan anak itu,yakni memilih kata kata yang cocok dengan seni (estetika) contoh kata jelek yang menjadi lawan kata indah. Bukan dengan kata dosa maupun kata pahala ( agama ). Ataupun bukan kata baik maupun buruk ( moral). 2. A = Alam (what ) adalah tentang alam.Pertanyaan pertanyaan yang sering ditanyakan pertama kali. Maka tunjukkanlah dia nama nama benda yang sebanyak banyaknya,janganlah kita menganggap anak yang banyak bertanya adalah anak yang cerewet yang pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Karena itulah memang kebutuhan dia. 3. M = Manusia ( who ) pertanyaan anak selanjutnya setelah mengetahui apa maka akan dilanjutkan dengan siapa. Contoh siapa dia? Tanya seorang anak yang baru melihat orang asing. maka anak mulai ingin mengenal orang disekitarnaya maka mulai kenalkanlah dia dengan kata baik dan buruk (moral). 4. A = Allah.Tahap selanjutnya anak mulai bertanya siapa yang menciptakan dia dan para manusia.maka mulailah dia kenalkan kata dosa dan pahala ( Agama). 5. B = Budaya. Pada tahap ini anak mulai mengenal lingkungan sekitar mulai dikenalkan tentang budaya. 6. I = Ilmu pengetahuan alam ( IPA ) mulai ajarkanlah tentang pengetahuan. 7. S = Sosial. Ajarilah anak untuk berinteraksi dengan sesama manusia. 8. A = Agama. Pada tahap ini anak sudah harus mengetahui semuanya mulai dari seni,alam, manusia,Allah, IPA,IPS,serta Agama. maka seorang anak sudah bisa mendapatkan kata kata semua baik kata benar atau salah ( knowledge), baik dan buruk ( Etika) , indah dan jelek ( seni )., maupun dosa dan pahala( Agama). Jadi kesimpulanya didalam mendidik anak harus betul betul dirancang secara sistematis sebagai mana teori tersebut diatas agar anak menjadi generasi yang sempurna ( Insan kamil ) manusia yang seutuhnya sebagaimana tujuan pendidikan. 2. Rentangan usia anak Menurut pendapat Elizabeth B. Hurlock dalam andi mappiare ( psikologi remaja ) membagi rentangan usia anak terdiri atas sebelas masa yaitu : Prenatal : Saat konsepsi sampai lahir. 1. Masa neonatus : Lahir sampai akhir minggu 2 setelah lahir. 2. Masa bayi : Akhir minggu 2 sampai akhir tahun kedua. 3. Masa kanak kanak awal : Usia 2 sampai 6 tahun. 4. Masa kanak kanak akhir : 6 tahun sampai 10 / 11 tahun. 5. Pubertas : 10 / 11 tahun sampai 13 / 14 tahun. 6. Masa remaja awal : 13 / 14 tahun sampai 17 tahun. 7. Masa remaja akhir : 17 sampai 21 tahun. 8. Masa Dewasa awal : 21 sampai 40 tahun. 9. Masa setengah baya : 40 sampai 60 tahun. 10. Masa tua : 60 tahun sampai meninggal dunia. Adapun dalam ilmu fiqh dari segi usia manusia secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: 1. anak anak ( shoby) ini adalah masa dimana manusia belum terkena khitob atau beban kewajiban syar’i, anak wanita mulai lahir sampai dengan usia sembilan tahun.anak laki laki mulai lahir sampai 15 tahun. 2. A’qil baligh ( menjelang baligh ) yaitu usia anak yang hampir mendekati baligh. 3. Baligh ( Dewasa ) pada usia ini setiap manusia sudah dikatakan mukhotob artinya sudah terkena beban hokum. Maka ia sudah harus mampu mandiri menanggung beban dosa maupun pahala. E. PENUTUP Akhirnya dari makalah yang singkat ini dapat kami simpulkan sebagai berikut: 1. Manusia adalah makhluk tuhan yang paling sempurna dibanding makhluk yang lain ( fi Ahsani takwim ) baik dhohir maupun bathin maka dalam mendidik anak seharusnya dengan cara cara yang baik pula. Karena menurut penelitian ilmiyah manusia 75 – 80 persenya adalah berupa air. Dan air akan merespan info yang ia terima, jika infonya positif maka ia akan membentuk kristal yang indah.sebaliknya jika info yang ia terima adalah negatif maka ia akan membentuk kristal yang jelek. (Massaru Imoto dalam buku the hidden massage in water). 2. Dalam tahapan tahapan usia anak harus betul betul diperhatikan oleh orang tua maupun pendidik (guru). Kapan ia boleh menerima kata benar atau salah, baik dan buruk , indah dan jelek., serta dosa dan pahala. DAFTAR PUSTAKA Al Qur’an dan terjemah penerbit Depag pusat Mappiare, Andi, Psikologi Remaja, Surabaya, Usaha Nasional, 1982. Hoy, W. K., & Miskel, C. G. (2005). Educational Administration (seventh ed.). New York: McGraw Hill. Dalam indonet Suriasumantri, Jujun, S. Filsafat Ilmu, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. 2001. KMI Gontor Darsul Fiqh Juz Awwal Progoharbowo, teori pembelajaran, Indonet 2008 DAFTAR ISI A.PENDAHULUAN a. Latar belakang masalah ...............................................................................Hal 1 b. Rumusan Masalah …………....………………........................…………..Hal 3 B. FAKTA / REALITAS…….....……………………………………...............…..Hal 3 C. KONSEP PEMBELAJARAN 1. Teori belajar Piaget ........................... …...................................................Hal 4 2. Teori belajar Vygostky ...................................... ......................................Hal 5 3. Teori belajar konstruktivis ....................................................................... Hal 6 a. Kontruktifisme individu ................................................................ Hal 6 b. Konstruktifisme sosial ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,.......,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,. Hal 7 c. Bagaimana pengetahuan dikronstruksi .......................................... Hal 8 4. Teori Dr Paul Sweecker…………………………………..………………Hal 9 D. PEMBAHASAN 1. Nama teori pembelajaran..........................................................................Hal 10 2. Rentangan usia Anak.................................................................................Hal 11 E. PENUTUP............................................................................................................Hal12 F. DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................Hal 13

Sunday, May 6, 2012

Khutbah Nikah

خطبــــة النكاح

الحَمْدُ ِللهِ المَعْبُوْدِ بِنِعْمَتِهِ المَعْبُوْدِ بِقَدْرَتِهِ, المُطَاعِ بِسُلْطاَنِهِ المَرْهُوْبِ مِنْ عَذَابِهِ وَسَطْوَتِهِ, الناَفِذِ اَمْرُهُ فِى سَمَآئِهِ وَاَرْضِهِ الَّذِى خَلَقَ الْخَلْقَ بِقُدْرَتِهِ وَمَيَّزَهُمْ بِأَحْكَامِهِ وَأَعَزَّهُمْ بِدِيْنِهِ وَأَكْرَمَهُمْ بِنِيَّتِهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ اْسمُهُ وَتَعَالَتْ عَظَمَتُهُ جَعَلَ المُصَاهَرَةَ سَبَباً لاَحِقاً وَأَمْرًا مُفْتَرِضاً اَوْشَجَ بِهِ اْلأَرْحَامَ, وَاَلْزَمَ اْلأَنَامَ فَقَالَ عَزَّ مِنْ قَائِلٍ: وَهُوَ الَّذِىْ خَلَقَ مِنَ اْلمآَءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيْرًا فَاَمْرُ اللهِ يَجْرِى عَلَى قَضَآئِهِ وَقَضَآئُهُ يَجْرِى إِلىَ قَدَرِهِ وَلِكُلِّ قَضَآءٍ قَدَرٌ وَلِكُلِّ قَدَرٍ اَجَلٌ وَلِكُلِّ اَجَلٍ كِتاَبٌ َيمْحُو اللهُ مَا يَشَآءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ اُمُّ الكِتاَبِ.  إِنَّ الحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْـنُهُ وَنَسْتَغْفِـرُهُ وَنَعُوْذُ باِللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئاَتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لآإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى الِهِ وَأَصْحَاِبهِ. يآأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاِتهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. يآأَيُّهَا الناَّسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِى خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً, وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِى تَسَآئَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ ِإنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْباً. يآأَيُّهَا اَّلذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. (أما بعد) فَإِنَّ الاُمُوْرَ كُلَّهَا ِبيَدِ اللهِ يَقْضِى فِيْهَا مَا يَشَآءُ وَيَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ لاَمُؤَخِّرَ لِمَا قَدَّمَ وَلاَمُقَدِّمَ لمِاَ أَخَّرَ وَلاَيَجْتَمِعُ اثْنَانِ وَلاَ يَفْتَرِقاَنِ إِلاَّ بِقَضَآءٍ وَقَدَرٍ وَكِتَابٍ مِنَ اللهِ قَدْ سَبَقَ. أَقُوْلَ قَوْلىِ هذاَ وَأَسْتَغْفِرُاللهَ العَظِيْمَ ِلى وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيَّ وَوَالِدِيْكُمْ وَلمِشَاَيخِىِ وَمَشَاِيخِكُمْ وَلِسَآئِرِالمُسْلِمِيْنَ فاَسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَالغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.

دعاء بعد عقد النكاح
باَرَكَ اللهُ لهَمُاَ فِى عَقْدِِهمِاَ. اللّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ الطِيْنِ وَ اْلمآءِ. وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ آدَمَ وَحَوَّآءَ. وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ ِإبْرَاهِيْمَ وَ سَارَةَ. وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ يُوسُفَ وَزُليَخْاَ. وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ مُوْسَى وَ صَافُوْرآءَ. وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ مُحَمَّدٍ وَخَدِيجْةَ َالكُبْرى وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ عَلِىٍّ وَ فَاطِمَةَ. اللّهُمَّ أَلْقِ بَيْنَهُمَا المحَبََّةَ وَالِودَادَ. وَارْزُقْهُمَا النَسْلَ الصَاِلحَ مِنَ البَنَاتِ وَالأَوْلاَدِ. حَتىَ يَرَوْنَ الاَسْبَاطَ وَ اْلأَحْفَادَ. وَوَسِّعْ عَلَيْهِمَا مِنَ الرِزْقِ الحَلاَلِ مَا يَكُوْنُ َلهُمَا الكِفَايَةَ وَالزَادَ. وَاحْفِظْهُمَا مِنْ مَكَايِدِ الخَلْقِ اَجمَْعِيْنَ. وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنْ الحَمْدُ ِللهِ رَبِّ العَالمَِيْنَ.

نقلها احد الطلبة بالمعهد الإسلامى الفلاح فاجول بوجونكارا  الرازى  بن البالينى

خطبــــة النكاح
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِىْ خَلَقَ مِنَ اْلمآَءِ بَشَرًا. فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا. خَلَقَ آدَم َ ثُمَّ خَلَقَ زَوْجَهُ حَوَّآءَ مِنْ ضِلْعٍ مِنْ اَضْلاَعِهِ اْليُسْرَى. فَلَمَّا سَكَنَ اِلَيْهَا قَالَتِ الْمَلآئِكَةُ مَهْ يآاَدَمُ حَتَّى تُؤَدِّىَ لَهَا مَهْرًا. قَالَ وَمَا مَهْرُهَا. قَالُوْا أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى مُحَمَّدٍ خَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ وَاِمَامِ اْلمُرْسَلِيْنَ, فَوَفىَّ اْلمَهْرَ وَخَطَبَ اْلاَمِيْنُ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَزَوَّجَهَا لَهُ عَلَى ذَلِكَ اْلمَلِكُ اْلقُدُّوْسُ السَّلاَمُ. وَشَهِدَ اِسْرَافِيلُ وَمِيْكَآئِلُ وَبَعْضُ الْمُقَرَبِيْنَ بِدَارِالسَّلاَمِ. فَصَارَ ذَلِكَ سُنَّةَ أَوْلاَدِهِ عَلَى تَعَاقُبِ السِّنِيْنَ. أَحْمَدُهُ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْآ اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَةً وَرَحْمَةً. وَاَشْكُرُهُ اَنْ جَعَلَكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَآئِلَ بِالْتَنَاسُلِ الَّذِى هُوَ اَصْلُ كُلِّ نِعْمَةٍ. وَاَشْهَدُ اَنْ لآَاِلَهَ اِلاَّاللهُ مُبْدِعُ نِظَامِ اْلعَالَمِ عَلَى اَكْمَلِ حِكْمَةٍ, لآَاِلَهَ اِلاََّ هُوَ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالمَِيْنَ. وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ حَبِيْبُ الرَّحْمنِ وَمُجْتَبَاهُ الْقَائِلُ: حُبِّبَ اِلَىَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ النِّسَآءُ وَالطِّيْبُ وَجُعِلَتْ قُرََّةُ عََيْنِى فِى الصَّلاَةِ. وَقَالَ يَامَعْشَرَالشَّباَبِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَآءَةَ فَالْيَتَزَوَّجْ. فَطُوْبى لمَِنْ اَقَرَّ بِذَالِكَ عَيْنَ رَسُوْلِ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ, أَماََّّ بَعْدُ فَاِنَّ النِكَاحَ مِنَ السُّنَنِ المَرْغُوْبَةِ الَتِى عَليَهْاَ مَدَارُ الإِسْتِقَامَةِ اِذْ مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدْ كَمُلَ نِصْفُ دِيْنِهِ كَمَا اَخْبَرَ ِبذلِكَ الحَِبيْبُ المَبْعُوْ ثُ مِنْ تِهَامَةَ. وَقاَلَ تَنَاكَحوُاْ تَنَاسَلُوْا فَإِنّىِ مُبَاهٍ ِبكُمُ الاُمَمَ يَوْمَ الِقيَامَةِ. وَقَدْ حَثَّ عَلَيْهِ المنَاَّنُ ِبقَوْلِهِ وَاَنْكِحُوْا الاَيَامى مِنْكُمْ وَالصَاِلحِيْنَ. وَهَذَا عَقْدٌ مُبَارَكٌ مَيْمُوْنٌ وَاجْتِمَاعٌ عَلىَ حُصُولِ خَيْرٍ يَكُوْنُ. اِنْ شَآء اَللهُ الَذِى اِذاَ اَرَادَ شَيْئاً اَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ. أَقُوْلَ قَوْلىِ هذاَ وَأَسْتَغْفِرُاللهَ العَظِيْمَ ِلى وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيَّ وَوَالِدِيْكُمْ وَلمِشَاَيخِىِ وَمَشَاِيخِكُمْ وَلِسَائِرِالمُسْلِمِيْنَ فاَسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَالغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.    


Tuesday, May 1, 2012

Brosur SMPUAF 2012/2013

ANALISIS FILOSOFIS PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

A. Pendahuluan Pendidik dan peserta didik merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Kedua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu, pendidik sangat berperan besar sekaligus menentukan ke mana arah potensi peserta didik yang akan dikembangkan Demikian pula peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi pada saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa posisi peserta didik pun tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya. Konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Karakteristik ini akan membedakan konsep pendidik dan peserta didik dalam pandangan pendidikan lainnya. Hal itu juga dapat ditelusuri melalui tugas dan persyaratan ideal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dan peserta didik yang dikehendaki oleh Islam. Tentu semua itu tidak terlepas dari landasan ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang menginginkan perkembangan pendidik dan peserta didik tidak bertentangan dengan ajaran kedua landasan tersebut sesuai dengan pemahaman maksimal manusia. Jika karakteristik yang diinginkan oleh pendidikan Islam tersebut dapat dipenuhi, maka pendidikan yang berkualitas niscaya akan dapat diraih. Untuk itu, kajian dan analisis filosofis sangat dibutuhkan dalam merumuskan konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang kedua komponen tersebut. Makalah yang sederhana ini akan menguraikan tentang analisis filosofis tentang pendidik dan peserta didik dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Diharapkan makalah ini menjadi bahan diskusi lebih lanjut agar dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kedua komponen itu sehingga berguna dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan secara efektif dan efisien. B. Analisis Filosofis Pendidik 1. Pengertian Pendidik Pendidik adalah orang yang mendidik. Dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah disebut guru, sedangkan pada perguruan tinggi disebut dengan dosen. Dalam bahasa Arab, juga ditemukan beberapa istilah yang memiliki makna pendidik, yaitu ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib. Abuddin Nata mengemukakan bahwa kata ustadz jamaknya asātidz yang berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyiar. Adapun kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih), lecture (dosen). Sedangkan kata mu’allim yang juga berarti teacher (guru), instructor (pelatih), dan trainer (pemandu). Sementara kata mu’addib berarti educator (pendidik) atau teacher in koranic school (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an). Adanya perbedaan dalam penggunaan istilah pendidik, juga berangkat dari penggunaan istilah pendidikan yang digunakan. Bagi orang yang berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk menggunakan pendidikan adalah tarbiyah, maka seorang pendidik disebut murabbi, jika ta’līm yang dianggap lebih tepat, maka pendidiknya disebut mu’allim, dan jika ta’dīb yang dianggap lebih cocok untuk makna pendidikan, maka pendidik disebut dengan mu’addib. Kata ”murabbi”, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknnya tumbuh dengan fisik yang sehat dan kepribadian serta akhlak terpuji. Term mu’addib mengacu kepada guru yang memiliki sifat-sifat rabbany yaitu nama yang diberikan bagi orang-orang yang bijaksana dan terpelajar yang memiliki sikap tanggung jawab yang tinggi serta mempunyai jiwa kasih sayng terhadap peserta didik. Sedangkan kata ”mu’allim” memberikan konsekuensi bahwa guru adalah seorang yang alim (ilmuan), menguasai ilmu pengetahuan, keratif dan memiliki komitmen dalam pengembangan ilmu. Dalam pengertian ini maka seorang guru harus kaya dengan ilmu dan aktivitas dan ia berusaha untuk memberikan pengetahuannya tersebut kepada peserta didiknya. Meskipun terdapat berbagai perbedaan istilah, yang jelasnya makna dasar dari masing-masing istilah tersebut terkandung di dalam konsep ”pendidik” dalam pendidikan Islam. Dengan demikian, ”pendidik” tidak hanya sebagai orang yang menyampaikan materi an sich kepada peserta didik (transfer of knowladge), tetapi lebih dari itu ia juga bertugas untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal (tranformation of knowladge) serta menanamkan nilai (internalitation of values) yang berlandaskan kepada ajaran Islam. Tegasnya, seorang pendidik berperan besar dalam menumbuh-kembangkan berbagai potensi positif peserta didik secara optimal sehingga tujuan pendidikan Islam yang ideal dapat diraih. Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama, Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia. Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya. Keempat, Guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat. 2. Kedudukan Pendidik a. Pendidik dalam al-Qur’an Secara eksplisit, memang tidak ditemukan ayat-ayat al-Qur’ann yang berbicara tentang pendidik. Namun secara implisit, al-Qur’an membicarakan tentang pendidik. Hal itu dapat dilihat dari konsep al-Qur’an tentang ilmu dan kedudukan orang-orang yang berilmu. Orang yang berilmu ini tentunya memiliki hubungan erat dengan pendidik, dimana pendidik adalah orang yang memiliki dan mengajarkan ilmu. Dalam al-Qur’an ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah memposisikan pendidik pada tempat terhormat. Seperti firman-Nya: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadilah/58: 11) Selain dari ayat di atas, juga terdapat firman Allah dalam surat az-Zumar tentang posisi seorang pendidik dengan ilmu yang dimilikinya. Firman-Nya: قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ Artinya: Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. az-Zumar/39: 9). Selain dari posisi di atas, seorang pendidik yang berilmu tersebut memiliki karakter takut, tunduk dan taat kepada Allah (khasyyatullah). Hal ini berarti bahwa secara implisit seorang pendidik memiliki kelebihan dari manusia lain ketika menjalankan perintah Allah. Firman-Nya: وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fathir/35: 28). Menurut Ramayulis, dari ayat-ayat yang berkenaan dengan ilmu (pendidik) di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah menempatkan seorang pendidik pada posisi yang terhormat. Jika digunakan logika berfikir yang linear maka tentunya posisi ulama akan terus meningkat derajatnya apabila ia mengaplikasikan ilmunya dalam sikap hidup dan perilaku sehari-hari. Selanjutnya posisi terhormat seorang pendidik tersebut akan terus meningkat ke derajat yang lebih tinggi bila ilmu tersebut diwariskan kepada orang lain melalui usaha pendidikan. b. Pendidik dalam Hadis Dari beberapa hadis dapat dilihat bahwa Nabi Muhammad SAW juga memposisikan pendidik di tempat yang mulia dan terhormat. Dia menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, sementara makna ulama adalah orang yang berilmu. Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidik termasuk ulama. Tegasnya, pendidik adalah pewaris para nabi. Hadis itu berbunyi: .....اْلعُلَمَاءُ وَرَاثَةُ اْلاَنْبِيَاءِ..... Artinya: …...Para ulama (guru) adalah pewaris para nabi…(Dari Abu Darda’ r.a. dan diriwayatkan oleh Ibn Majah) Hadis di atas juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memberikan perhatian yang besar terhadap ”pendidik” sekaligus memberikan posisi terhormat kepadanya. Hal ini beralasan mengingat peran pendidik sangat menentukan dalam mendidik manusia untuk tetap konsisten dan komitmen dalam menjalankan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW. c. Pendidik dalam Sistem Pendidikan Nasional Dalam sejarah bangsa Indonesia, status pendidik juga mendapat penghormatan yang mulia. Bahkan sering dikenal pepatah yang menyebutkan bahwa guru adaha ”digugu dan ditiru”. Di beberapa wilayah Indonesia, ada beberapa ungkapan populer untuk menyebut guru. Di Minangkabau, misalnya, guru biasanya disebut Buya berasal dari kata abuyya yang berarti Bapakku tercinta; sementara di daerah lain, seperti Sunda, dikenal sebutan Yang guru, Nyai guru, Kang guru, Uwa guru dan Aki guru. Walaupun sebutan itu ditujukan kepada guru yang memiliki keunggulan, namun hal ini bisa dijadikan alasan kuat untuk menyatakan bahwa guru berada pada posisi terhormat di mata masyarakat. Dalam sistem pendidikan nasinal, pendidik dikenal dengan beberapa sebutan, seperti yang ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 1 ayat (6): ” Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”. Sementara dalam pendidikan formal, pendidik dikenal dengan sebutan guru untuk tingkat sekolah dasar dan menengah dan dosen untuk tingkat perguruan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada Bab II pasal 2 disebutkan bahwa: 1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. 2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 8 disebutkan juga bahwa ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.” Kompetensi yang dimaksud dijelaskan sebelumnya pada pasal 1 ayat (10): ”Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.” Sedangkan kompetensi itu meliputi empat aspek, sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 10 ayat (1) ”Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”. Adanya konstitusi di atas menunjukkan bahwa pendidik memang memiliki peran penting serta berkedudukan yang mulia dan terhormat, tidak saja dalam perspektif Islam, tetapi juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Hal ini tentunya berangkat dari kesadaran bahwa pendidik memiliki peran strategis sekaligus memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan dan peningkatan peradaban suatu bangsa. Berkaitan dengan ini, maka dalam pendidikan Islam disebutkan bahwa pendidik dipandang sebagai abu al-ruh (orang tua spiritual atau rohani) bagi para muridnya. Guru hadir di hadapan muridnya dalam kelas memberikan bimbingan jiwa dengan berbagai hikmah, dan mauizhah dalam melaksanakan pendidikan, terutama dalam membimbing akhlak dan moral. Atas dasar ini maka menghormati pendidik juga berarti menghormati Bapaknya (orang tua) sendiri, dan penghargaan terhadap pendidik berarti juga menghargai orang tuanya juga. 3. Tugas Pendidik Mengenai tugas pendidik dalam perspektif pendidikan Islam, Ramayulis membaginya ke dalam dua tugas, yaitu tugas umum dan tugas khusus. Secara umum, tugas pendidik adalah mengemban misi rahmatan li al-‘ālamīn, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian misi dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh, dan bermoral tinggi. Secara khusus, tugas pendidik ada tiga macam. Pertama, sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan. Kedua, sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia. Ketiga, sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait. Tugas ketiga ini menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu. Sementara Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip Samsul Nizar, bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaannya. Para pendidik dituntut untuk dapat mensucikan jiwa peserta didiknya. Hanya dengan melalui jiwa-jiwa yang suci manusia akan dapat dekat dengan Khaliq-Nya. Begitu pula an-Nahlawi berpendapat bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, tugas utama yang perlu dilakukan pendidik adalah tazkiyat an-nafs yaitu mengembangkan, membersihkan, mengangkat jiwa peserta didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkan dari kejahatan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrah-Nya yang hanif. Pendapat ini menunjukkan bahwa tugas seorang pendidik yang tidak kalah penting adalah sebagai muzakky. Dalam al-Qur’an juga disinggung bahwa tugas pendidik—dalam konteks pendidik sebagai waratsatul an-biya’—memang bertugas sebagai sekaligus mu’allim sebagai muzakky. Hal ini sesuai dengan tugas Rasul dalam firman-Nya: كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah/2: 151). 4. Karakteristik Pendidik Perlu juga dipahami bahwa pendidik dalam pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik ini tentunya membedakan pendidik dalam perspektif pendidikan Islam dengan pandangan pendidikan non-Islam lainnya. Al-Abrasy mengemukakan beberapa karakteristik pendidik. a. Seorang pendidik bersifat zuhud, artinya melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi, melainkan mendidik untuk mencari keridhaan Allah. b. Seorang pendidik harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya, terhindar dari dosa, sifat ria dengki, permusuhan, dan sifat –sifat tercela lainnya. c. Seorang pendidik harus ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan memiliki sifat-sifat terpuji lainnya, seperti rendah hati, jujur, lemah lembut, dan sebagainya. d. Seorang pendidik mesti suka memaafkan orang lain, terutama kesalahan peserta didiknya, lalu ia juga sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan mempunyai harga diri. e. Seorang pendidik harus mencintai peserta didiknya seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya. f. Seorang pendidik harus mengetahui karakter/tabiat peserta didiknya. g. Seorang pendidik mesti menguasai pelajaran yang ia berikan. Sementara an-Nahlawi menyebutkan beberapa karakteristik seorang pendidik, yaitu: a. Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya. b. Bersifat ikhlas; melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari ridha Allah dan menegakkan kebenaran. c. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik. d. Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya. e. Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan mengkajinya lebih lanjut. f. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan. g. Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan proporsional. h. Mengetahui kondisi psikis peserta didik. i. Tanggap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola berpikir peserta didik. j. Berlaku adil terhadap peserta didiknya. Dari karakteristik di atas dapat dipahami bahwa pendidik dalam pandangan Islam memiliki posisi yang tinggi dan terhormat. Namun tugas yang mesti mereka emban tidaklah mudah, sebab Islam menuntut pendidik tersebut melakukan terlebih dahulu apa-apa yang akan ia ajarkan. Dengan begitu, pendidik akan mampu menjadi teladan (uswah) bagi peserta didiknya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendidik yang mulia, yaitu Nabi Muhammad SAW. Ibn Khaldun, dalam kitabnya Muqaddimah, juga berpendapat bahwa seorang guru harus memiliki karakter yang baik. Dalam hal ini ia mengutip wasiat al-Rasyd kepada Khalaf bin Ahmar, guru puteranya MUhammad al-Amin. Wasiat ini merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang guru. Wasiat itu berbunyi, "O Ahmar, Amirul Mu'minin telah mempercayakan anaknya kepada Anda, kehidupan jiwanya, dan buah hatinya. Maka, ulurkan tangan Anda padanya, dan jadikan dia taat pada Anda. Ambillah tempat di sisinya yang telah Amirul Mukminin berikan pada Anda. Ajari dia membaca Al Qur'an. Perkenalkan dia sejarah. Ajak dia meriwayatkan syiir-syiir dan ajari dia Sunnah-sunnah Nabi. Beri dia wawasan bagaimana berbicara dan memulai suatu pembicaraan secara baik dan tepat. Larang dia tertawa, kecuali pada waktunya. Biasakan dia menghormati orang-orang tua Bani Hasyim yang bertemu dengannya, dan agar ia menghargai para pemuka militer yang datang ke majlisnya. Jangan biarkan waktu berlalu kecuali jika Anda gunakan untuk mengajarnya sesuatu yang berguna, tapi bukan dengan cara yang menjengkelkannya, cara yang dapat mematikan pikirannya. Jangan pula terlalu lemah-lembut, bila umpamanya ia mencoba membiasakan hidup santai. Sebisa mungkin, perbaiki dia dengan kasih-sayang dan lemah-lembut. Jika dia tidak mau dengan hal itu, Anda harus mempergunakan kekerasan dan kekasaran." Wasiat di atas menjadi hal yang penting untuk diketahui oleh setiap pendidik. Dari wasiat itu pula dapat disimpulkan bahwa setiap pendidik mesti bijaksana dalam mendidik anaknya, penuh kesabaran dan kasih sayang serta tanggung jawab yang tinggi sehingga si anak memiliki kompetensi di bidang yang ia ajarkan. 5. Persyaratan Pendidik Dari penjelasan tugas dan karakteristik pendidik di atas, dapat dipahami bahwa menjadi seorang pendidik yang sesungguhnya tidaklah mudah; butuh upaya yang sungguh-sungguh. Agar tugas tersebut dapat dijalankan dan karakteristik pendidik itu bisa dimiliki, maka seorang guru harus memiliki beberapa persyaratan. Al-Kanani (w. 733 H), seperti yang dikutip oleh Ramayulis, bahwa ada beberapa persyaratan seorang pendidik dalam pandangan pendidikan Islam. Persyaratan tersebut sebagai berikut: Pertama, syarat-syarat pendidik berhubungan dengan dirinya sendiri, yaitu: 1. Pendidik hendaknya senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan Allah kepadanya. Karenanya ia tidak mengkhianati amanat itu, malah ia tunduk dan merendahkan diri kepada Allah SWT. 2. Pendidik hendaknya memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya ialah tidak mengajarkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, yaitu orang-orang yang menuntut ilmu untuk kepentingan dunia semata. 3. Pendidik hendaknya bersifat zuhud. 4. Pendidik hendaknya tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise atau kebanggaan atas orang lain. 5. Pendidik hendaknya menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara’ dan menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan hara dirinya di mata orang banyak. 6. Pendidik hendaknya memelihara syi’ar-syi’ar Islam, seperti melaksanakan shalat berjamaah di masjid, mengucapkan salam, dan lain sebagainya. 7. Pendidik hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunahkan oleh agama, baik dengan lisan maupun perbuatan, seperti membaca al-Qur’an, berzikir dan shalat tengah malam. 8. Pendidik hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak buruk. 9. Pendidik hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hala-hal yang bermanfaat, seperti beribadah, membaca, mengarang, dsb. 10. Pendidik hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang yang lebih rendah dari padanya, baik dari segi kedudukan maupun usianya. 11. Pendidik hendaknya rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan memperhatikan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu. Kedua, syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran (syarat-syarat paedagogis-didaktis), yaitu: 1. Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya pendidik bersuci dari hadas dan kotoran serta mengenakan pakaian yang baik dengan maksud mengagungkan ilmu dan syari’at. 2. Ketika keluar dari rumah, hendaknya pendidik selalu berdoa agar tidak sesat menyesatkan dan terus berzikir kepada Allah SWT. Artinya, sebelum mengajarkan ilmu, seorang pendidik harus membersihkan hati dan niatnya. 3. Hendaknya pendidik mengambil tempat pada posisi yang membuatnya dapat terlihat oleh semua peserta didik. 4. Sebelum mulai mengajar, pendidik hendaknya membaca sebagian dari ayat al-Qur’an agar memperoleh berkah dalam mengajar, kemudian membaca basmalah. 5. Pendidik hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hirarki nilai kemuliaan dan kepentingan yaitu tafsir al-Qur’an, hadis, ilmu-ilmu ushuluddin, ushul fiqh, dan seterusnya. 6. Hendaknya pendidik selau mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras. 7. Hendaknya pendidik menjaga ketertiban majelis dengan mengarahkan pembahasan pada objek tertentu. 8. Pendidik hendaknya menegur peserta didik-peserta didik yang tidak menjaga sopan santun dalam kelas. 9. Pendidik hendaknya bersikap bijak dalam melalkukan pembahasan, menyampaikan pelajaran dan jawaban pertanyaan. 10. Terhadap peserta didik, pendidik hendaknya berperilaku wajar dan menciptakan suasana yang membuatnya merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman-temannya. 11. Pendidik hendaknya menutup setiap akhir kegiatan pembelajaran dengan kata-kata wallahu a’lam yang menunjukkan keikhlasan kepada Allah SWT. 12. Pendidik hendaknya tidak mengasuh bidang studi yang tidak disukainya. Ketiga, syarat-syarat pendidik di tengah-tengah peserta didiknya, antara lain: 1. Pendidik hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu, menghidupkan syara’, menegakkan kebenaran, melenyapkan kebatilan, dan memelihara kemaslahatan umat. 2. Pendidik hendaknya menolak untuk mengajar peserta didik yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar. 3. Pendidik hendaknya mencintai peserta didiknya seperti ia mencintai dirinya sendiri. 4. Pendidik hendaknya memotivasi peserta didik untuk menuntut ilmu seluas mungkin. 5. Pendidik hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar peserta didiknya dapat memahami pelajaran. 6. Pendidik hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya. 7. Pendidik hendaknya bersikap adil terhadap semua peserta didiknya. 8. Pendidik hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan peserta didik, baik dengan kedudukan ataupun hartanya. 9. Pendidik hendaknya terus memantau perkembangan peserta didik, baik intelektual maupun akhlaknya. Peserta didik yang shaleh akan menjadi “tabungan” bagi pendidik, baik di dunia maupun di akhirat. Syarat-syarat di atas harus diupayakan oleh seorang guru secara optimal sehingga ia akan menjadi guru yang profesional, baik dalam kemampuan paedagogik, profesional, individual hingga kepada sosialnya. Semua kemampuan/kompetensi tersebut tentunya berlandaskan kepada ajaran Islam. C. Peserta Didik 1. Pengertian Peserta Didik Dalam bahasa Arab, setidaknya ada tiga istilah yang menunjukkan makna peserta didik, yaitu murid, al-tilmīdz, dan al-thālib. Murid berasal dari kata ‘arada, yuridu, iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan (the willer). Pengertian ini menunjukkan bahwa seorang peserta didik adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh. Sedangkan al-tilmīdz tidak memiliki akar kata dan berarti pelajar. Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada peserta didik yang belajar di madrasah. Sementara al-thālib berasal dari thalaba, yathlubu, thalaban, thālibun, yang berarti orang yang mencari sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik adalah orang yang mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal masa depannya agar bahagia dunia dan akhirat. Kemudian, dalam penggunaan ketiga istilah tersebut biasanya dibedakan berdasarkan tingkatan peserta didik. Murid untuk sekolah dasar, al-tilmīdz untuk sekolah menengah, dan al-thālib untuk perguruan tinggi. Namun, menurut Abuddin Nata, istilah yang lebih umum untuk menyebut peserta didik adalah al-muta’allim. Istilah yang terakhir ini mencakup makna semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan, mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi. Terlepas dari perbedaan istilah di atas, yang jelasnya peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam sebagai objek sekaligus subjek dalam proses pendidikan. Ia adalah orang yang belajar untuk menemukan ilmu. Karena dalam Islam diyakini ilmu hanya berasal dari Allah, maka seorang peserta didik mesti berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dengan senantiasa mensucikan dirinya dan taat kepada perintah-Nya. Namun untuk memperoleh ilmu yang berasal dari Allah tersebut, seorang peserta didik mesti belajar pada orang yang telah diberi ilmu, yaitu guru atau pendidik. Karena peserta didik memiliki hubungan dengan ilmu dalam rangka upaya untuk memiliki ilmu, maka seorang peserta didik mesti berakhlak kepada gurunya. Akhlak tersebut tentunya tetap mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis. 2. Tugas dan Kewajiban Peserta Didik Agar proses pendidikan yang dilalui oleh peserta didik berjalan dengan baik dan mampu mencapai tujuan pendidikan sebagaimana yang diinginkan, maka peserta didik hendaknya mengetahui tugas dan kewajibannya. Al-Abrasyi menyebutkan ada dua belas kewajiban tersebut, yaitu: a. Sebelum belajar, peserta didik mesti membersihkan hatinya karena menuntut ilmu adalah ibadah. b. Belajar diniatkan untuk mengisi jiwanya dengan fadhilah dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk sombong. c. Bersedia meninggalkan keluarga dan tanah air serta pergi ke tempat jauh sekalipun demi untuk mendatangi guru. d. Jangan sering menukar guru, kecuali atas pertimbangan yang panjang/matang. e. Menghormati guru karena Allah dan senantiasa menyenangkan hatinya. f. Jangan melakukan aktivitas yang dapat menyusahkan guru kecuali ada izinnya. g. Jangan membuka aib guru dan senantiasa memaafkannya jika ia salah. h. Bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan mendahulukan ilmu yang lebih penting. i. Sesama peserta didik mesti menjalin ukhuwah yang penuh kasih sayang. j. Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya, seperti terdahulu memberi salam. k. Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajarannya pada waktu-waktu yang penuh berkat. l. Bertekad untuk belajar sepanjang hayat dan menghargai setiap ilmu. Sementara Imam al-Ghazali, yang juga dikembangkan oleh Said Hawa, berpendapat bahwa seorang peserta didik memiliki beberapa tugas zhahir (nyata) yang harus ia lakukan, yaitu: 1) Mendahulukan penyucian jiwa dari pada akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela karena ilmu merupakan ibadah hati, shalatnya jiwa, dan pendekatan batin kepada Allah. 2) Mengurangi keterkaitannya dengan kesibukan duniawi karena hal itu dapat menyibukkan dan memalingkan. 3) Tidak sombong dan sewenang-wenanga terhadap guru. 4) Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara banyak orang. Artinya, hendaknya di tahap awal ia mempelajari satu jalan ilmu, setelah ia menguasainya barulah ia mendengarkan beragam mazhab atau pendapat. 5) Seorang penuntut ilmu tidak meninggalkan satu cabang pun dari ilmu-ilmu terpuji. 6) Tidak sekaligus menekuni bermacam-macam cabang ilmu, melainkan memperhatikan urutan-urutan dan memulai dari yang paling penting. 7) Hendaknya ia memasuki sebuah cabang ilmu kecuali jika telah menguasai cabang ilmu yang sebelumnya, karena ilmu itu tersusun rapi secara berurut. 8) Hendaklah seorang penuntut ilmu mengetahui faktor penyebab yang dengan pengetahuan itu ia dapat mengetahui ilmu yang lebih mulia. 9) Hendaknya tujuan seorang peserta didik dalam menuntut ilmu di dunia untuk menghiasi diri dan mempercantik batin dengan keutamaan, sedangkan di akhirat nanti untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan diri agar dapat berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah. Tugas dan kewajiban di atas idealnya dimiliki oleh setiap peserta didik, sehingga ilmu yang ia tuntut dapat dikuasai dan keberkahan ilmu pun ia peroleh. Selain tugas dan kewajiban tersebut, peserta didik juga diharapkan mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun mental sehingga tujuan pendidikan yang ia cita-citakan dapat tercapai secara optimal, efektif dan efisien. 3. Sifat-sifat Ideal Peserta Didik Selain dari tugas dan kewajiban di atas, peserta didik juga mesti memiliki sifat-sifat terpuji dalam kepribadiannya. Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh Samsul Nizar, bahwa sifat-sifat ideal yang mesti dimiliki oleh setiap peserta didik paling tidak meliputi sepuluh hal. a. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta didik akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlaq al-karimah dalam kehidupan sehari-harinya dan berupaya meninggalkan watak dan akhlak yang rendah/tercela sebagai refleksi atas firman Allah dalam Q.S. al-An’am/6: 162 dan adz-Dzariyat/51:56). b. Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan amanah-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal. c. Bersikap tawadhu’ (rendah hati). d. Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. Dengan pendekatan ini, peserta didik akan meihat berbagai pertentangan dan perbedaan pendapat sebagai sebuah dinamika yang bermanfaat untuk menumbuhkan wacara intelektual, bukan sarana saling menuding dan menganggap diri paling benar. e. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun agama. f. Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang sulit (abstrak); atau dari ilmu yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang fardhu kifayah (Q.S. a;l-Fath/48: 19). g. Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya. Dengan cara ini, peserta didik akan memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. h. Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari. i. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi. j. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi kesematan hidup dunia dan akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia pada umumnya. Dari beberapa pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa seorang peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam tidak hanya menuntut dan menguasai ilmu tertentu secara teoritis an sich, akan tetapi lebih dari itu ia harus berupaya untuk mensucikan dirinya sehingga ilmu yang akan ia peroleh memberi manfaat baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat mengutamakan akhlak seorang peserta didik. Akhlak tersebut harus diawali dari niat peserta didik itu sendiri, dimana niat menuntut ilmu tersebut haruslah semata-mata karena Allah SWT, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dijadikan prioritas utama. Selain itu, peserta didik harus menuntut ilmu berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi. Dengan konsep semacam ini, maka peserta didik akan menuntut ilmu sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip pendidikan Islam itu sendiri yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan sunnah serta berorientasi kepada dunia dan akhirat secara integral dan seimbang. D. Rekomendasi Demikian pentingnya pendidik dan peserta didik, maka kedua komponen ini harus menjalankan tugas dan memahami perannya masing-masing sebagaimana yang dijelaskan di atas. Dalam konteks pelaksanaan pendidikan di Indonesia, pendidik, baik guru maupun dosen memang telah mendapat perhatian dari pemerintah, terbukti dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Namun, pendidik harus menyadari bahwa pendidik tidak hanya sekedar profesi formal yang bertanggung jawab dalam menyampaikan materi sebaik-baiknya, dengan perencanaan pembelajaran yang matang dan menerapan metode yang baik. Hal yang lebih penting adalah pendidik seharusnya sebagai figur-central (uswatun hasanah) bagi peserta didiknya. Apalagi adanya pergerseran nilai yang semakin tajam di era globalisasi ini, prinsip pragmatisme dan materialisme selalu menjadi pertimbangan—terkadang menjadi pertimbangan utama—dalam setiap profesi, termasuk profesi guru. Berkualitas tidaknya suatu pembelajaran hanya diukur dengan seberapa besar materi yang ia dapatkan. Oleh karena itu, prinsip keikhlasan dan keteladan seharunya lebih mendapat perhatian bagi guru dalam konteks kekinian. Sikap yang ikhlas bukan berarti tidak membutuhkan materi, tetapi materi bukanlah tujuan utama dan penentu akhir berhasil tidaknya suatu pendidikan. Begitu pula keteladanan, bukan hanya tugas guru yang berkenaan dengan bidang studi akhlak an sich, seperti bidang studi agama dan bidang studi kewarganegaraan; akan tetapi keteladanan harus menjadi kepribadian setiap guru--terlepas apa pun bidang studi yang dibimbingnya—terutama guru yang beragama Islam. Hendaknya, masing-masing guru tersebut telah memiliki kepribadian Islami, sebab keteladanan kepribadian ini sangat menentukan berhasil tidaknya seorang pendidik dalam mempengaruhi pembentukan karakter (caracter bulding) peserta didik yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini tentu bisa mereka miliki, meskipun background pendidikan dari masiang-masing guru tersebut tidak berasal dari lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan Pergutuan Tinggi Agama, akan tetapi di lembaga pendidikan umum pun mereka sudah mendapat pendidikan agama melalaui bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Diperkuat lagi pendidikan keluarga dan masyarakat yang berkenaan dengan pendidikan agama Islam itu sendiri. Oleh karena itu, meskipun kepribadian Islami menjadi tanggung jawab semua guru, akan tetapi guru bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI) tetap mendapat prioritas dan bekerja keras agar mampu mewarnai bidang studi lain di lembaga pendidikan umum. Hanya saja, kebersamaan visi dan misi dari lembaga tersebut sangat dibutuhkan untuk mewujudkan pendidik yang memiliki karakteristik sebagaimana yang diinginkan dalam konsep pendidikan Islam. Pentingnya memperkuat dan mempertegas peran guru dalam membentuk kepribadian peserta didik yang Islami juga tersirat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 6 disebutkan bahwa "kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional…". Sementara dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 pasal 3 ditegaskan pula bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Dari tujuan ini terlihat jelas bahwa mewujudkna menusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkahlak mulia merupakan substansi dari kepribadian yang diinginkan dalam konsep pendidikan Islam itu sendiri. Demikian pula peserta didik, juga diharapkan tidak terjebak pada paham pragmatisme dan materialisme. Ada kecendrungan ketika peserta didik bersikap demikian, maka guru pun kurang dihormati. Guru hanya dianggap sebagai instrumen atau alat dalam pendidikan. Sebagaimana yang dikenal dalam falsafah alat, ia akan digunakan selagi dibutuhkan. Ketika tidak lagi dibutuhkan, maka guru pun tidak dihormati lagi. Untuk itu, peserta didik juga harus memahami apa tugas dan tanggung jawabnya sebagai peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam. peserta didik yang dalam pandangan pendidiakn Islam sering disebut sebagai murid sebenarnya memiliki arti ”orang yang menginginkan”. Artinya, seorang murid atau peserta didik harus menunjukkan sikap yang membutuhkan kehadiran seorang guru. Rasa ”membutuhkan” ini tentu tidak bersifat sesaat ketika ada perlu saja, tetapi dalam pandangan pendidikan Islam, seorang guru tidak hanya dihormati di saat belajar pada sekolah formal saja, sehingga disebut pula bahwa ”tidak ada mantan guru dalam pandangan pendidikan Islam”. Dengan konsep seperti ini maka seorang peserta didik harus menunjukkan sikap kesungguhannya dalam belajar dibarengi dengan adab-nya kepada guru dengan harapan ilmu yang ia peroleh bermanfaat bagi dirinya. Selain itu, peserta didik juga harus menuntut ilmu didasari oleh motivasi awal, yaitu motivasi karena Allah SWT. Dengan motivasi ini, maka selama dalam menuntut ilmu ia harus meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Hal ini pula yang pernah dialami oleh Imam Syafi’i. Suatu ketika ia pernah meminta nasehat kepada gurunya, Imam Waki’ sebagai berikut: “Syakautu ilâ Waki’in sûa hifzi, wa arsyadani ilâ tarki al-maâhi, fa akhbarani bianna al-‘ilma nūrun, wa nur Allahi la yubdalu al-âshi”. Dari nasehat ini, ada dua hal yang perlu digarisbawahi, pertama, untuk memperkuat ingatan diperlukan upaya meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat; dan kedua, ilmu itu adalah cahaya yang tidak akan tampak dan terlahirkan dari orang yang suka berbuat maksiat. Dengan demikian irsyâd merupakan aktivitas pendidikan yang berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak dan kepribadian kepada peserta didik, baik yang berupa etos kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba li Allahi Ta’ala. Jika pendidik dan peserta didik mampu melaksanakan tugas dengan memiliki karakteristik atau sifat-sifat seperti di atas dengan istiqamah, maka proses pembelajaran tidak hanya menyentuh aspek kognitif an sich, tetapi lebih dari itu berbagai potensi peserta didik dapat dikembangkan secara optimal dalam ridha Allah SWT. Agaknya inilah yang disebut denga keberkahan ilmu, tidak sekedar diketahui, tetapi mempengaruhi kepribadiannya sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. E. Penutup Dari uraian mengenai pendidik dan peserta didik dalam perspektif filsafat pendidikan Islam di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, seorang pendidik tidak hanya bertugas untuk mendidik intelektual peserta didik (transfer of knowladge), tetapi pendidik juga bertugas dalam mengembangkan kemampuan intelektual (transformation of knowladge) dan menanamkan nilai-nilai Islam dalam kepribadian peserta didik (internalitation of values). Oleh karena itu, seorang pendidik dituntut memiliki kemampuan sesuai dengan bidangnya sekaligus menjadi uswatun hasanah bagi peserta didiknya. Kedua, dalam konsep pendidikan Islam, peserta didik bisa menjadi objek sekaligus subjek pendidikan. Sebab, peserta didik harus aktif dan dinamis dalam proses pembelajaran; bukan justru pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima tuangan ilmu dari guru begitu saja tanpa daya kritis. Ketiga, peserta didik yang pada dasarnya menginginkan ilmu sangat membutuhkan seorang pendidik. Maka peserta didik harus menunjukkan sikap yang baik dan menghormati pendidiknya sehingga ilmu yang ia peroleh tidak sebatas pengetahuan intelektual an sich, tetapi yang terpenting adalah kemampuan mengiternalisasikan nilai-nilai pengetahuan dalam kepribadiannya serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Tejemahnya. Al-Abrasyi, Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Yakarta: Bulan Bintang, 1974 Al Zarnuji, Ta’limu al Muta’allim, Surabaya, Nurul Huda. Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Hawa, Said, al-Mustakhlash fi Tazkiyatu al-Anfus, Penj. Abdul Amin, dkk, Yakarta: Pena Pundi Aksara, 2008, cet. ke-VI Ibn Majah, Al-Hafizh Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Yazid al-Qazwayani, Sunan Ibn Majah, Kairo: Dar al-Hadis, t.th., Juz I. Ilahi, Fadhl, Muhammad SAW Sang Guru yang Hebat; Sirah Nabi sebagai Guru Berdasarkan al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih, Surabaya: Pustaka eLBA, 2006. al-Jumbulati, Ali, dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Dirasatun Muqaaranatun fit Tarbiyyatil Islamiyyah, Penj. H. M. Arifin, Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Khaldun, Abdurrahman Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldūn; wa Hiya Muqaddimah al-Kitāb al-Musamma Kitāb al-Ibar wa Dīwān al-Mubtada’ wa al-Khabar fī Ayyām al-Arb wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Āsharahum min Dzawī al-Sulthān al-Akbar, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993. Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1980. Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006. an-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Penj. Herry Noer Ali, Bandung: CV. Diponegoro, 1992. Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005. ____________, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid, Jakarta: PT RagaGrafindo Persada, 2001. Nizar, Samsul dan al-Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: PT Ciputat Press, 2005, edisi revisi. Qutb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, Penj. Salman Harun, Bandung: al-Ma’arif. Ramayulis, Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, Padang, Diktat, 2007. ____________, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.