POSISI IMAM DAN ARAH KEPALA JENAZAH
PADA PELAKSANAAN SHALAT JENAZAH
I. Posisi imam pada shalat jenazah
Posisi imam pada shalat jenazah tergantung kepada jenis kelamin
jenazah itu sendiri. Oleh karena itu, posisinya terbagi kepada dua, yaitu
jenazah berjenis kelamin laki-laki, posisi imam berdiri bertepatan pada
kepalanya, sedangkan jenazah berjenis kelamin perempuan, posisi imam berdiri
bertepatan pada pinggangnya. Ini sesuai dengan keterangan ulama mengenai ini,
antara lain :
a. Imam al-Nawawi mengatakan :
“Imam atau yang shalat secara sendiri berdiri di sisi kepala
jenazah laki-laki dan di sisi pinggul jenazah perempuan.”[1]
b. Sayyed Abdurrahman Ba’Alawi mengatakan :
“Sunnah berdiri di sisi kepala laki-laki dan pinggul perempuan,
meskipun mayat dalam keadaan tertutup atau dalam kubur.”[2]
c. Abu Hasan al-‘Imrany al-Syafi’i al-Yamany mengatakan :
“Mengenai sunnah posisi imam pada shalat jenazah laki-laki ada
dua wajh (pendapat pengikut Syafi’i), yaitu : pertama, pendapat Syaikh Abi
Hamid, yaitu berdiri di sisi kepalanya. Kedua, pendapat Abu Ali al-Thabary,
yaitu berdiri di dadanya. Adapun jenazah perempuan tidak terjadi perbedaan
pengikut Syafi’i tentangnya, yaitu imam berdiri bertepatan dengan pinggulnya
demikian khuntsa berdiri bertepatan dengan pinggulnya seperti perempuan.”[3]
Dalil fatwa di atas antara lain :
1. Hadits Abu Ghalib, beliau berkata :
صليت مع أنس بن مالك على جنازة رجل فقام
حيال رأسه ثم جاءوا بجنازة امرأة من قريش فقالوا يا أبا حمزة ! صل عليها فقام حيال
وسط السرير فقال له العلاء بن زياد هكذا رأيت النبي صلى الله عليه و سلم قام على
الجنازة مقامك منها ومن الرجل مقامكم منه ؟ قال نعم فلما فرغ قال احفظوا
Artinya : Aku shalat jenazah bersama Anas bin Malik atas seorang laik-laki,
beliau berdiri bertepatan pada hadapan kepala jenazah, kemudian mereka membawa
jenazah seorang perempuan Quraisy, mereka mengatakan : “Ya Abu Hamzah (Anas bin
Malik), shalatlah atasnya.” Lalu Anas bin Malik berdiri di hadapan pertengahan
pusar perempuan itu. Al-‘Ila’ bin Ziyad (yang hadir pada ketika itu) bertanya
kepada Anas, “Apakah seperti ini engkau melihat Nabi SAW berdiri di hadapan
jenazah pada posisi berdiri engkau untuk seorang perempuan dan posisi berdiri
kalian untuk laki-laki ?” Anas bin Malik menjawab : “Ya”. Manakala Anas sudah
selesai, beliau berkata : “Ingatlah itu”(H.R. Turmidzi, beliau mengatakan,
hadits Anas ini hadits hasan)[4]
2. Hadits Sumarah bin Jundub, beliau berkata :
صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله
عليه وسلم عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِي نِفَاسِهَا فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا
Artinya : Aku shalat dibelakang Nabi SAW atas jenazah perempuan yang meninggal
pada waktu ia bernifas, Nabi SAW berdiri bertepatan pada pertengahannya
(sekitar pinggangnya) (H.R. Bukhari)[5]
II. Arah kepala jenazah pada shalat jenazah
Ulama Syafi’iyah mutaakhirin berpendapat bahwa posisi kepala
jenazah laki-laki berada di arah kiri imam atau orang shalat secara sendiri,
sedangkan posisi kepala jenazah perempuan diletakkan pada arah kanannya. Posisi
seperti ini supaya bagian yang terbesar dari jenazah berada pada arah kanan,
karena arah kanan adalah arah yang mulia pada syara’.
Berikut ini keterangan para ulama Syafi’iyah mengenai arah
kepala jenazah pada shalat jenazah, yakni sebagai berikut :
1. Pernyataan al-Barmawi :
“Bagian mayat terbesar diposisikan pada kanan orang yang
menshalatinya. Karena itu, maka kepala jenazah laki-laki diposisikan pada arah
kiri orang yang menshalatinya dan mayat perempuan pada posisi sebaliknya.”[6]
2. Dalam Hasyiah al-Bujairumy ‘ala Fath al-Wahab disebutkan :
“Diposisikan kepala jenazah laki-laki pada arah kiri imam dan
bagian yang terbesarnya pada arah kanan imam, hal ini berbeda dengan yang biasa
dilakukan masyarakat saat ini. Adapun mayat perempuan dan banci, maka imam
memposisikan dirinya di dekat pinggul janazah, sedangkan kepala janazah
diletakkan pada posisi arah kanan imam sebagaimana biasa dilakukan orang-orang
saat ini. Demikian dari ‘Ali Syibra al-Malusi.”[7]
Namun Syekh Isma’il ‘Utsman al-Zain al-Yamany (1352-1414 H),
seorang ulama Syafi’iyah asal Yaman yang terkenal di Timur Tengah pada abad ini
lebih cenderung berpendapat tidak membedakan posisi kepala jenazah laki-laki
atau perempuan ketika dishalati yaitu pada arah kanan imam atau orang shalat
secara sendiri. Dalam rangka membela pendapatnya ini, beliau telah mengarang
sebuah risalah kecil dengan judul, “Tahqiq al-Maqam fi Mauqif al-Mushalli ‘ala
al-Janazah binnisbah lil Munfarid wal Imam”. Argumentasi yang beliau sebutkan
dalam kitab tersebut antara lain, shalat Rasulullah SAW terhadap janazah
laki-laki dan perempuan yang sudah dikuburkan, dimana Rasulullah berdiri di
sisi kepala laki-laki dan pinggul perempuan. Karena shalat Rasulullah tersebut
dilakukan pada jenazah yang telah dikuburkan, tentu posisi arah kepalanya
adalah sebelah kanan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Adapun keterangan
bahwa Rasulullah pernah menshalati jenazah yang sudah dalam kuburan adalah
keterangan Abu Hurairah yang menjelaskan sebagai berikut :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه
- فِي قِصَّةِ اَلْمَرْأَةِ اَلَّتِي كَانَتْ تَقُمُّ اَلْمَسْجِدَ- قَالَ: -
فَسَأَلَ عَنْهَا اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالُوا: مَاتَتْ,
فَقَالَ: "أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي"? فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا
أَمْرَهَا فَقَالَ: "دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهَا", فَدَلُّوهُ, فَصَلَّى
عَلَيْهَا
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. tentang kisah seorang perempuan yang sering
menyapu masjid. Nabi SAW lalu bertanya tentang keberadaan perempuan tersebut.
Orang-orang pun menjawab, “Dia telah meninggal!” Beliaupun bersabda, “Kenapa
kalian tidak memberi kabar kepadaku? (Seolah-olah mereka menganggap remeh
urusan perempuan tersebut). Tunjukkanlah kuburannya padaku!” Beliau kemudian
mendatangi kuburan perempuan itu kemudian menshalatinya.” (Muttafaqun
‘alaihi)[8]
[1]
Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak bersama Syarah al-Mahalli pada hamisy
Qalyubi wal Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal.
336-337
[2] Sayyed Abdurrahman Ba’Alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Usaha Keluarga,
Semarang, Hal. 94
[3] Abu Hasan al-‘Imrany al-Syafi’i al-Yamany, Bayan fi Mazhab Syafi’i, Darul
Minhaj, Juz. III, Hal. 59-60
[4] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 249
[5] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 111, No.
Hadits : 1332
[6] Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala Fathul al-Wahab, Maktabah
Syamilah, Juz. II, Hal. 188
[7] Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala Fath al-Wahab, Darul Fikri, Beirut, Juz.
I, Hal. 484
[8] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal.
119