SUGENG RAWUH DATENG GUBUK ONLINE RAZY SAMUDRA: Blog ini kami sajikan untuk pengunjung, guna saling menambah khazanah keilmuan

Monday, May 7, 2012

TEORI PEMBELAJARAN “SAMA BISA” TERHADAP ANAK DIDIK Oleh : FAHRU ROZI, M.Pd.I

TEORI PEMBELAJARAN “SAMA BISA” TERHADAP ANAK DIDIK 
Oleh : FAHRU ROZI, M.Pd.I 
A. PENDAHULUAN
a. Latar belakang masalah Anak adalah amanat dari Allah SWT yang dititipkan kepada semua orang tua. Hanya manusia pilihannyalah yang diberi kepercayaan untuk memikul amanat tersebut,dengan berbagai pertimbangan yang Allah sendiri yang tahu, sebagai mana ketika kita menitipkan barang milik kita pasti kita punya kriteria orang yang bisa menjaga barang kita dengan penuh amanah. Tidak mungkin kita titipkan sepeda motor kepada orang yang pekerjaanya mencuri sepeda motor. Orang tua dalam lingkup keluarga, guru guru serta pemerintah adalah merupakan kepanjangan tangan dari Allah agar supaya mereka menjaga amanat dari Allah yang berupa anak, untuk diberi kasih sayang, perhatian serta pendidikan yang bisa menghantarkanya kearah kesuksesan baik dunianya maupun akheratnya. Bahkan ketika ada orang yang berkhiyanat dalam arti tidak mau ataupun enggan menerima amanat itu maka ia dapat dikatagorikan orang yang munafiq ( hadist nabi tanda tanda orang munafik). Tentunya ini sangat tidak kita harapkan karena jelas jelas akan di laknat oleh Allah. Oleh karena itu orang tua, sekolah (para guru) serta pemerintah memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam mendidik anak. Sebagi mana perintah langsung dari Allah yang maksudnya ” jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka” (Al Qur’an) serta larangan Allah ” janganlah engkau tinggalkan generasi dalam keadaan lemah” (Al Qur’an). Dari kedua ayat itu betul betul Allah sangat memperhatikan perkembanga anak sebagai generasi penerus dimuka bumi ini ( khalifah fil ard ) harus betul betul kuat di segala aspek kehidupanya. Kuat pengetahuanya ( knowledge ) ketrampilan ( skill ) serta kuat nilai nilai normatifnya ( value ). Untuk mencapai tujuan yang luhur ini perlu adanya rumusan sebuah teori pembelajaran terhadap anak didik secara benar. Baik kebenaran itu ikut aliran rasionalisme, empirisme, romantisisme maupun mistisisme. Dari sumber kebenaran rasionalisme dan empirisme melahirkan yang namanya karya ilmiyah sedangkan romantisisme dengan mistisisme melahirkan sumber kebenaran berupa keyakinan. (baca filsafat ilmu Jujun S. Suriasumantri hal : 45 ) Dalam sebuah hadist, nabi menjelaskan bahwa semua orang itu adalah merugi kecuali orang yang berbuat, iapun masih merugi kecuali disertai ilmu (teori) iapun masih merugi kecuali disertai ikhlas. Dari hadist nabi ini dapat kita ambil pelajaran bahwa pembelajaran terhadap anak tanpa teori yang benar maka akan merugikan anak itu sendiri. Dalam mendidik anak harus betul betul bisa memilah serta memilihkan ilmu apa atau kata kata apa yang seharusnya layak disampaikan dan didengarkan kepada anak, serta kapan anak harus mendapatkan ilmu itu. Ini sangat penting untuk kita kaji karena berawal dari fakta kejadian keluarga sahabat saya dan mungkin juga terjadi pada keluarga lain serta pada lingkungan sekolah pada umumnya. Saya mempunyai seorang sahabat yang bercerita tentang anaknya, dia memiliki anak laki laki yang baru berusia 6 tahun.saat ini anaknya sudah sekolah di taman kanak kanak ( TK ). Suatu pagi ketika habis bangun tidur anaknya lari ke halaman rumahnya untuk buang air kecil di tempat itu. Melihat kejadian itu istri dia langsung menegor anaknya sambil mengatakan ” hai nak jangan kencing disitu itu salah” pada kejadian yang lain anaknya ikut menonton acara televisi akrobat yang pemainnya hanya memakai pakaian yang tidak pantas dilihat anak seusia dia. Dia matikan TV nya lalu ibunya bilang ” ndak boleh melihat acara itu berdosa lho nak !”Ibunya bilang pada anaknya.. Dari dua kejadian tersebut dapat kita temukan 2 kata ”salah” dan ”dosa” ini adalah contoh kata kata yang sama sama punya tujuan mendidik anak agar tidak mengerjakan perbuatan yang tidak terpuji, namun dalam penerapanya terhadap anak kapan dia layak mendengarkan kata kata benar dan salah, baik dan buruk, indah dan jelek., serta dosa dan pahala. Sebagai seorang pendidik baik dia sebagai orang tua, apalagi seorang guru maka betul betul dia harus bisa menerapkan kata kata tersebut diatas terhadap anak didiknya. Karena jika salah penerapannya,maka akan berdampak tidak baik terhadap anak, seperti contoh yang saya kemukakan diatas, kata dosa dan kata salah jika diterapkan pada anak yang masih balita ( bayi lima tahun ) contohnya maka bisa bisa anak selalu takut berbuat akhirnya anak akan mati kreatifitasnya. Padahal ada orang bijak bilang ” cobalah dan perhatikan niscaya kamu akan mengerti” b. Rumusan masalah Dari latar belakang masalah tersebut diatas kiranya penulis dapat menarik dua masalah pembelajaran anak, yang sangat membutuhkan solusi pamacahan masalah. Yaitu: 1. Apakah teori pembelajaran anak yang tepat untuk diajarkan kepada anak/siswa ? 2. Kapankah waktunya anak boleh menerima kata kata dosa atau pahala,benar atau salah, baik atau buruk serta indah atau jelek ? 
B. FAKTA / REALITAS Fakta dilapangan kita mulai dari kasus individu keluarga saya, yang telah saya paparkan pada latar belakang masalah. Disitu jelas tidak ada pemilahan antara kata salah, dosa, buruk maupun jelek. Ini terjadi disebabkan karena dibangku sekolah belum pernah bahkan tidak pernah didapat dari guru guru, yang ketika melarang murid muridnya terkadang menggunakan kata dosa, salah, buruk atau jelek padahal masalahnya sama. Menurut asumsi saya kasus ini tidak hanya terjadi pada khusus keluarga sahabat saya,mungkin juga terjadi pada keluarga atau lembaga pendidikan ( sekolah ) yang lain. Oleh sebab itu lewat tulisan ini perlu kiranya kita carikan solusi agar tidak berlarut larut dan berkepanjangan, dan juga tidak menimpa pada anak bangsa secara umum. C. KONSEP KONSEP PEMBELAJARAN 1. Teori Belajar Piaget Piaget merupakan salah satu pioner konstruktivis, ia berpendapat bahwa anak membangun sendiri pengetahuannya dari pengalamannya sendiri dengan lingkungan. Dalam pandangan Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator dan buku sebagai pemberi informasi. Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan yaitu 1) memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada hasil tersebut. Pengalaman - pengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan jika guru penuh perhatian terhadap Pendekatan yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud, 2) mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi ( ready made knowledge ) anak didorong menentukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan, 3) memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbungan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu - individu ke dalam bentuk kelompok - kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal, 4) mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan - gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung, perkembangannya dapat disimulasi 2. Teori Belajar Vygostky Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing - masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas - tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap - tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu 1) menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi - strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing - masing zone of proximal development mereka; 2) Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep - konsep dan pemecahan masalah. 3. Teori Belajar dari Perspektif Konstruktivis Secara umum yang disebut konstruktivisme menekankan kontribusi seseorang pembelajar dalam memberikan arti, serta belajar sesuatu melalui aktivitas individu dan sosial. Tidak ada satupun teori belajar tentang konstruktivisme, namun terdapat beberapa pendekatan konstruktivis, misalnya pendekatan yang khusus dalam pendidikan matematik dan sains. Beberapa pemikir konstruktivis seperti Vigotsky menekankan berbagi dan konstruksi sosial dalam pembentukan pengetahuan (konstruktivisme sosial); sedangkan yang lain seperti Piaget melihat konstruksi individu lah yang utama (konstruktivisme individu). a. Konstrukstivisme Individu Para psikolog konstruktivis yang tertarik dengan pengetahuan individu, kepercayaan, konsep diri atau identitas adalah mereka yang biasa disebut konstruktivis individual. Riset mereka berusaha mengungkap sisi dalam psikologi manusia dan bagaimana seseorang membentuk struktur emosional atau kognitif dan strateginya. Piaget misalnya mengusulkan tahapan kognitif yang dilakukan oleh semua manusia. Berpikir pada tiap langkah memasukkan tahapan sebelumnya sehingga makin terorganisir dan adaptif dan makin tidak terikat pada kejadian kongkrit. Piaget menjelaskan bagaimana tiap individu mengembangkan schema, yaitu suatu sistem organisasi aksi atau pola pikir yang membuat kita secara mental mencerminkan “berpikir mengenainya”. Dua proses diaplikasikan dalam hal ini yaitu asimilasi dan akomodasi. Melalui asimilasi kita berusaha memahami hal yang baru dengan mengaplikasikan schema yang ada; sedangkan akomodasi terjadi ketika seseorang harus merubah pola berpikirnya untuk merespon terhadap situasi yang baru. Seseorang melakukan adaptasi dalam situasi yang makin kompleks ini dengan menggunakan schema yang masih bisa dianggap layak (asimilasi) atau dengan melakukan perubahan dan menambahkan pada schema-nya sesuatu yang baru karena memang diperlukan (akomodasi). Penjelasan di atas menunjukkan penekanan Piaget terhadap pemahaman yang dibentuk oleh seseorang, sesuatu yang berhubungan dengan logika dan konstruksi pengetahuan universal yang tidak dapat dipelajari secara langsung dari lingkungan. Pengetahuan seperti itu berasal dari hasil refleksi dan koordinasi kemampuan kognitif dan berpikir serta bukan berasal dari pemetaan realitas lingkungan eksternalnya. Hal yang paling mendasar dari penemuan Piaget ini adalah belajar pada siswa tidak harus terjadi hanya karena seorang guru mengajarkan sesuatu padanya, Piaget percaya bahwa belajar terjadi karena siswa memang mengkonstruksi pengetahuan secara aktif darinya, dan ini diperkuat bila siswa mempunyai kontrol dan pilihan tentang hal yang dipelajari. Hal ini tidaklah meniadakan faktor guru dalam proses pembelajaran, justru sebaliknya lah yang terjadi. Pengajaran oleh guru yang mengajak siswa untuk bereksplorasi, melakukan manipulasi, baik dalam bentuk fisik atau secara simbolik, bertanya dan mencari jawaban, membandingkan jawaban dari siswa lain akan lebih membantu siswa dalam belajar dan memahami sesuatu. 
b. Konstruktivisme sosial Berbeda dengan Piaget, Vygotsky percaya bahwa pengetahuan dibentuk secara sosial, yaitu terhadap apa yang masing-masing partisipan kontribusikan dan buat secara bersama-sama. Sehingga perkembangan pengetahuan yang dihasilkan akan berbeda-beda dalam konteks budaya yang berbeda. Interaksi sosial, alat-alat budaya, dan aktivitasnya membentuk perkembangan dan kemampuan belajar individual. Vygotsky melihat bahwa alat-alat budaya (termasuk di dalamnya kertas, mesin cetak, komputer dll) dan alat-alat simbolik (seperti sistem angka, peta, karya seni, bahasa, serta kode dan lambang) memainkan peran penting dalam perkembangan kognitif. Sistem angka romawi misalnya punya keterbatasan untuk operasi perhitungan; berbeda dengan sistem angka arab yang biasa kita gunakan yang mempunyai lambang nol, bisa dibentuk pecahan, nilai positif dan negatif, menyatakan bilangan yang tak terhingga besarnya dan lainnya. Sistem angka yang dipakai adalah alat budaya yang mendukung berpikir, belajar dan perkembangan kognitif. System simbol ini diberikan dari orang dewasa ke anak melalui interaksi formal ataupun informal dan pengajaran. Vygotsky menekankan bahwa semua proses mental tingkat tinggi, seperti berpikir dan pemecahan masalah dimediasi dengan alat-alat psikologi seperti bahasa, lambang dan simbol. Orang dewasa mengajarkan alat-alat ini ke anak dalam kegiatan sehari-hari dan si anak menginternalisasi hal tersebut. Sehingga alat psikologis ini dapat membantu siswa meningkatkan perkembangan mental dan berpikirnya. Pada saat anak berinteraksi dengan orang tua atau teman yang lebih mampu, mereka saling bertukar ide dan cara berpikir tentang representasi dan konsep. Sehingga pengetahuan, ide, sikap dan sistem nilai yang dimiliki anak berkembang seperti halnya cara yang dia pelajari dari lingkungannya. 
c. Bagaimana Pengetahuan dikonstruksi? Untuk dapat menjelaskan bagaimana pengetahuan dibentuk, tiga penjelasan yang bertahap merangkum berbagai pendekatan konstruktivisme ini:Realitas dan kebenaran dari dunia luar mengarahkan pembentukan pengetahuan. Individu merekonstruksi realitas diluarnya dengan membentuk representasi mental secara akurat yang mencerminkan “keadaan apa adanya”. Tahap pertama yang tidak lain model pemrosesan informasi dari teori belajar kognitif. 1. Proses internal dari Piaget yaitu organisasi, asimilasi dan akomodasi mengarahkan pembentukan pengetahuan. Jadinya pengetahuan bukan hanya cermin dari realitas, namun suatu abstraksi yang tumbuh dan berkembang dengan aktivitas kognitif. Pengetahuan bukan sekedar benar atau salah; namun terus tumbuh secara internal yang konsisten dan diorganisasikan seiring dengan perkembangannya. 2. Faktor eksternal dan internal mengarahkan pembentukan pengetahuan. Pengetahuan tumbuh melalui interaksi faktor-faktor internal (kognitif) dan eksternal (lingkungan dan sosial). Deskripsi Vygotsky tentang perkembangan kognitif melalui pengenalan dan pemakaian alat-alat budaya seperti bahasa konsisten dengan pandangan ini. Hal berikutnya dalam pendekaran konstruktivis ini adalah pertanyaan tentang apakah pengetahuan yang dibentuk itu bersifat internal, umum dan dapat ditransfer atau terikat dalam ruang dan waktu pada saat dibentuk. Apa yang dijelaskan oleh Vigotsky bahwa belajar tergantung konteks sosial dan berada dalam lingkup budaya tertentu memang tepat. Namun apa yang disebut benar dalam waktu dan tempat tertentu bisa menjadi salah di tempat dan waktu yang lain, seperti anggapan bahwa bumi itu datar sebelum Colombus. Ide-ide tertentu berguna pada komunitas tertentu, namun tidak bermanfaat apa-apa di komunitas lain. Apa yang disebut pengetahuan baru ditentukan sebagiannya dengan bagaimana ide baru tersebut sesuai dengan praktek yang berlaku pada saat tersebut. Sepanjang waktu, praktek yang ada dipertanyakan dan bisa diganti, namun sebelum itu terjadi praktek yang ada terus dilakukan karena dinilai tetap menguntungkan. Selain itu belajar juga terkondisikan berdasar tempat berlangsungnya kegiatan, biasa yang disebut enkulturasi atau proses mengadopsi norma-norma, perilaku, keahlian, kepercayaan, bahasa, sikap dari satu komunitas tertentu. Jadinya pengetahuan tidak hanya dilihat sebagai struktur kognitif individu saja tetapi sebagai buatan dari komunitas sepanjang waktu. Apa yang dilakukan oleh komunitas, cara bagaimana mereka berinteraksi dan menyelesaikan suatu hal, seperti halnya alat yang dibuat oleh komunitas, membentuk pengetahuan dari komunitas tersebut. Belajar artinya menjadi lebih mampu untuk berpartisipasi dalam kegiatan dan pemakaian alat dan mendapat bagian identitas sebagai anggota komunitas. Dari teori teori pembelajaran diatas yang digagas oleh pemikir pemikir barat yang tentunya landasan berfikir mereka dengan landasan teori kebenaranya dengan teori rasionalisme dan empirisme, tentunya sangat perlu untuk dilengkapi dengan teori kebenaran berupa dogmatis yang secara kwalitas jelas lebih tinggi. Karena sumber kebenaranya adalah dari nash al Qur’an yang diturunkan oleh dzat sang pemilik kebenaran. D. PEMBAHASAN TEORI PEMBELAJARAN ”SAMA BISA” 1. Nama teori pembelajaran. Nama teori pembelajaran ini adalah ” SAMA BISA” dengan memilah dan memilih kata benar atau salah, baik dan buruk , indah dan jelek., serta dosa dan pahala, untuk diterapkan kepada anak ataupun siswa. Dibawah ini akan kami uraikan teori ”SAMA BISA” sebagai berikut : 1. S = Seni ( Estetika ) kali pertama ketika anak yang masih usia dini,dan melihat sesuatu pasti yang terkesan pada dirinya adalah hal hal yang berhubungan dengan seni ( Estetika ). Ketika kita mengajak jalan jalan anak kita selalu yang diperhatikan adalah sesuatu yang yang berwarna warni,contoh anak anak yang berada di mal yang paling digemari adalah jika bisa bermain mandi bola, yang disitu terdapat warna bola yang bermacam macam. Walaupun sesuatu itu bisa membahayakan keselamatan dia. Contoh kasus pada zaman kerajaan mesir raja fir’aun pernah murka gara gara jenggotnya ditarik oleh musa. kemudian ia hendak membunuhnya,lalu istri raja fir’aun memberi saran agar musa disuruh memilih dua hal pilihan orang dewasa, yaitu antara bara api dan susu. Ternyata bara apilah yang dipilih oleh musa. Maka terselamatkan musa dari pembunuhan raja yang dholim itu. Ini membuktikan bahwa seorang anak lebih memilih sesuatu yang mempunyai warna yang mencolok. Kemudian ketika pendidik ingin melarang kepada anak yang masih usia dini maka seharusnya ia memilih kata kata yang sesuai dengan kebutuhan anak itu,yakni memilih kata kata yang cocok dengan seni (estetika) contoh kata jelek yang menjadi lawan kata indah. Bukan dengan kata dosa maupun kata pahala ( agama ). Ataupun bukan kata baik maupun buruk ( moral). 2. A = Alam (what ) adalah tentang alam.Pertanyaan pertanyaan yang sering ditanyakan pertama kali. Maka tunjukkanlah dia nama nama benda yang sebanyak banyaknya,janganlah kita menganggap anak yang banyak bertanya adalah anak yang cerewet yang pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Karena itulah memang kebutuhan dia. 3. M = Manusia ( who ) pertanyaan anak selanjutnya setelah mengetahui apa maka akan dilanjutkan dengan siapa. Contoh siapa dia? Tanya seorang anak yang baru melihat orang asing. maka anak mulai ingin mengenal orang disekitarnaya maka mulai kenalkanlah dia dengan kata baik dan buruk (moral). 4. A = Allah.Tahap selanjutnya anak mulai bertanya siapa yang menciptakan dia dan para manusia.maka mulailah dia kenalkan kata dosa dan pahala ( Agama). 5. B = Budaya. Pada tahap ini anak mulai mengenal lingkungan sekitar mulai dikenalkan tentang budaya. 6. I = Ilmu pengetahuan alam ( IPA ) mulai ajarkanlah tentang pengetahuan. 7. S = Sosial. Ajarilah anak untuk berinteraksi dengan sesama manusia. 8. A = Agama. Pada tahap ini anak sudah harus mengetahui semuanya mulai dari seni,alam, manusia,Allah, IPA,IPS,serta Agama. maka seorang anak sudah bisa mendapatkan kata kata semua baik kata benar atau salah ( knowledge), baik dan buruk ( Etika) , indah dan jelek ( seni )., maupun dosa dan pahala( Agama). Jadi kesimpulanya didalam mendidik anak harus betul betul dirancang secara sistematis sebagai mana teori tersebut diatas agar anak menjadi generasi yang sempurna ( Insan kamil ) manusia yang seutuhnya sebagaimana tujuan pendidikan. 2. Rentangan usia anak Menurut pendapat Elizabeth B. Hurlock dalam andi mappiare ( psikologi remaja ) membagi rentangan usia anak terdiri atas sebelas masa yaitu : Prenatal : Saat konsepsi sampai lahir. 1. Masa neonatus : Lahir sampai akhir minggu 2 setelah lahir. 2. Masa bayi : Akhir minggu 2 sampai akhir tahun kedua. 3. Masa kanak kanak awal : Usia 2 sampai 6 tahun. 4. Masa kanak kanak akhir : 6 tahun sampai 10 / 11 tahun. 5. Pubertas : 10 / 11 tahun sampai 13 / 14 tahun. 6. Masa remaja awal : 13 / 14 tahun sampai 17 tahun. 7. Masa remaja akhir : 17 sampai 21 tahun. 8. Masa Dewasa awal : 21 sampai 40 tahun. 9. Masa setengah baya : 40 sampai 60 tahun. 10. Masa tua : 60 tahun sampai meninggal dunia. Adapun dalam ilmu fiqh dari segi usia manusia secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: 1. anak anak ( shoby) ini adalah masa dimana manusia belum terkena khitob atau beban kewajiban syar’i, anak wanita mulai lahir sampai dengan usia sembilan tahun.anak laki laki mulai lahir sampai 15 tahun. 2. A’qil baligh ( menjelang baligh ) yaitu usia anak yang hampir mendekati baligh. 3. Baligh ( Dewasa ) pada usia ini setiap manusia sudah dikatakan mukhotob artinya sudah terkena beban hokum. Maka ia sudah harus mampu mandiri menanggung beban dosa maupun pahala. E. PENUTUP Akhirnya dari makalah yang singkat ini dapat kami simpulkan sebagai berikut: 1. Manusia adalah makhluk tuhan yang paling sempurna dibanding makhluk yang lain ( fi Ahsani takwim ) baik dhohir maupun bathin maka dalam mendidik anak seharusnya dengan cara cara yang baik pula. Karena menurut penelitian ilmiyah manusia 75 – 80 persenya adalah berupa air. Dan air akan merespan info yang ia terima, jika infonya positif maka ia akan membentuk kristal yang indah.sebaliknya jika info yang ia terima adalah negatif maka ia akan membentuk kristal yang jelek. (Massaru Imoto dalam buku the hidden massage in water). 2. Dalam tahapan tahapan usia anak harus betul betul diperhatikan oleh orang tua maupun pendidik (guru). Kapan ia boleh menerima kata benar atau salah, baik dan buruk , indah dan jelek., serta dosa dan pahala. DAFTAR PUSTAKA Al Qur’an dan terjemah penerbit Depag pusat Mappiare, Andi, Psikologi Remaja, Surabaya, Usaha Nasional, 1982. Hoy, W. K., & Miskel, C. G. (2005). Educational Administration (seventh ed.). New York: McGraw Hill. Dalam indonet Suriasumantri, Jujun, S. Filsafat Ilmu, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. 2001. KMI Gontor Darsul Fiqh Juz Awwal Progoharbowo, teori pembelajaran, Indonet 2008 DAFTAR ISI A.PENDAHULUAN a. Latar belakang masalah ...............................................................................Hal 1 b. Rumusan Masalah …………....………………........................…………..Hal 3 B. FAKTA / REALITAS…….....……………………………………...............…..Hal 3 C. KONSEP PEMBELAJARAN 1. Teori belajar Piaget ........................... …...................................................Hal 4 2. Teori belajar Vygostky ...................................... ......................................Hal 5 3. Teori belajar konstruktivis ....................................................................... Hal 6 a. Kontruktifisme individu ................................................................ Hal 6 b. Konstruktifisme sosial ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,.......,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,. Hal 7 c. Bagaimana pengetahuan dikronstruksi .......................................... Hal 8 4. Teori Dr Paul Sweecker…………………………………..………………Hal 9 D. PEMBAHASAN 1. Nama teori pembelajaran..........................................................................Hal 10 2. Rentangan usia Anak.................................................................................Hal 11 E. PENUTUP............................................................................................................Hal12 F. DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................Hal 13

0 komentar: