MENJADI ISHARI
Sepeninggal Hadrotus Syeih KH Abdurrokhim Bin Abdul hadi ( 1952 ) kepemimpinan Jam’iyyah ini
diteruskan oleh Putra sulung Beliau yaitu KH. MUHAMMAD Bin ABDURROKHIM dan
dibantu oleh saudara-saudaranya yang lain, pada masa kepemimpinan beliau inilah
jam’iyyah Hadroh ini resmi
berganti nama menjadi ISHARI yaitu pada tanggal
15 Rajab 1378 H / 23 Januari 1959. Hal tersebut dilakukan karena bermunculan
kelompok kelompok Hadroh dengan Nama yang berbeda-beda, seperti misalnya
Jam’iyyah Hadroh Al Mu’awanah, Jam’iyyah Hadroh Al Musthofa dan lain –lain,
maka agar tidak terjadi perpecahan dalam sebuah kegiatan yang isi dan kerja
kegiatannya sama serta lahir dari sumber yang sama selanjutnya nama-nama jam’iyyah
Hadroh ini disatukan dengan satu nama yaitu “ ISHARI “ kepanjangan dari
Ikatan Seni Hadroh Republik Indonesia. Penggunaan
kata republik ini selain bertujuan seperti tersebut diatas juga bertujuan agar
kumpulan kesenian ini tidak disusupi oleh gerakan kaum Komunis (PKI) yang pada
saat itu diceritakan sudah mulai ada tanda – tanda orang- orang PKI ikut dalam
kegiatan Jam’iyyah ini.
Atas usulan para Ulama di NU seperti KH.Makhrus Ali Lirboyo,
KH Bisyri Sansuri Jombang, KH Idham Kholid Cirebon, KH A Syaiku
Jakarta, KH Syaifuddin Zuhri, dan khususnya Ulama di Kabupaten Pasuruan seperti,
, KH. Ahmad Jufri Besuk kejayan, KH Mas Imam Pasuruan, KH
Abdulloh Bin Yasin Pasuruan, dan lain lain, serta atas perintah Rois Am
PBNU pada saat itu, yaitu Hadrotus Syeikh KH. ABDUL WAHHAB HASBULLOH.
Dan demi melestarikan keberlangsungan jamiyah ini, maka para ulama NU pada tahun
1959 tepatnya pada tanggal 23 Januari 1959 M. atau bertepatan dengan tanggal 15
Rojab 1378 H. Setelah
mendapatkan persetujuan dari KH Muhammad bin Abdurrokhim mendeklarasikan ISHARI sebagai
wadah Jam’iyyah Hadroh, bertempat di Pasuruan
dan menjadikannya sebagai salah satu organisasi didalam pembinaan Syuriah NU
setelah ditetapkan di Muktamar NU ke 23 di Solo Tahun 1962 (lihat AD/ART NU
hasil muktamar ke 23 Solo).
Dan seiring berjalannya
masa, keberadaan Organisasi ini tetap dalam pembinaan lembaga tersebut sampai
dengan ditetapkannya ISHARI sebagai salah satu Badan Otonom Nahdlatul Ulama
pada Muktamar NU ke 29 tahun 1994 di
Cipasung Jawa Barat (baca AD/ART NU hasil muktamar ke 28 Cipasung), oleh karena
setiap BANOM NU harus memiliki peratuaran dan struktur tersendiri. dan sebagai
respon menyikapi keputusan NU itu, maka pada Tahun 1995 ISHARI melaksanakan
MUNAS untuk yang pertamakalinya di Kabupaten Lamongan sehingga dihasilkanlah PD/PRT
ISHARI serta terbentuknya Pimpinan pusat ISHARI yang bermarkas di Surabaya dan
Al-hamdulillah hal tersebut adalah merupakan MUNAS yang pertama kali.
Dikarenakan keterbatasan
dibidang pengembangan organisasi serta lemahnya kordinasi antar konsitusi maka keberadaan ISHARI tidak menjadi
berkembang dan hanya tumbuh subur di wilayah Jawa Timur sehingga (Menurut
pendapat Pimpinan di struktur NU), ISHARI tidak memenuhi syarat sebagai salah
satu Badan Otonom di NU, sehingga pada Muktamar NU ke 30 tahun 1999 di Lirboyo
Kediri Jawa Timur, ISHARI di masukkan
dalam salah satu pembinaan LSB (Lembaga seni Budaya NU). (lihat AD/ART NU Hasil
Muktamar NU ke 30 Lirboyo kediri). Ironi memang disatu sisi ISHARI pada saat
mulai menata dengan adanya keputusan MUNAS ISHARI disisi lain sebagai induk
Organisasi justru NU menempatkan Posisi ISHARI menjadi satu dengan
kesenian-kesenian lain baik dibawah pembinaan LSB NU, dengan demikian (Menurut
sudut Pandang Pimpinan NU) maka semua Hasil MUNAS ISHARI Tahun 1995 termasuk
didalamnya PD/PRT ISHARI dan Pimpinan Pusat sudah gugur demi hukum dan dianulir
oleh Keputusan Muktamar NU Lirboyo.
Dan atas upaya serta
usulan Pimpinan ISHARI Wilayah jawa Timur kepada NU yang memandang bahwa tidak
relevan apabila ISHARI berada dibawah pembinaan LSB NU, karena ISHARI adalah
bukan hanya sekedar kumpulan seni tapi merupakan perpaduan antara seni dengan Ubudiyyah, dan usulan tersebut direspon
positif oleh NU pada Muktamar NU ke 31 tahun 2004 di Boyolali dengan memasukkan
ISHARI dalam pembinaan Lembaga Ahlit Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An nahdiyyah (Lihat
AD/ART NU hasil Muktamar ke 30 Boyolali). Namun lagi-lagi ironi bagi ISHARI
karena perubahan tersebut tidak tersosialisasi dengan baik dan bahkan tidak ada
juklak juknis yang termaktub bagaimana mengatur pola hubungan antara ISHARI dan
Thoriqoh, baik itu di Organisasi NU maupun di Thoriqoh. Ketidak pastian
hubungan dan pola pengaturan antara ISHARI dan Thoriqoh itu terus berlanjut
sampai sekarang, dan bahkan pada Muktamar NU ke 32 tahun 2009 di Makassar justru tidak muncul kalimat pembinaan Thoriqoh kepada ISHARI (Lihat
AD/ART NU ke 32 makasar) sebagaimana termaktub jelas dalam AD/ART NU hasil
Muktamar Boyolali. Apabila dicermati dengan seksama
ada dua perubahan mendasar terhadap posisi Thoriqoh didalam Organisasi NU
a)
Pada hasil Muktamar NU ke
31 tahun 2004 di Boyolali, Posisi Thoriqoh adalah Lembaga sedangkan di Muktamar
NU ke 32 tahun 2009 di Makassar posisi Thoriqoh menjadi BANOM.
b)
Pada hasil Muktamar NU ke
31 tahun 2004 pada fungsi dan tugasnya Thoriqoh termasuk juga membina ISHARI
sedangkan pada Hasil Muktamar NU ke 32 di Makasar tidak lagi termaktub bahwa
Thoriqoh adalah pembina ISHARI.
Kesimpulan
1.
Kalau keputusan perubahan
dalam muktamar NU itu menganulir keputusan Muktamar sebelumya sebagaimana
keputusan di Lirboyo menganulir keputusan di Cipasung. maka dengan demikian
sudah tidak ada kejelasan hubungan secara
organisasi antara NU dengan ISHARI juga dengan Thoriqoh karena sudah dianulir
oleh Hasil Keputusan Muktamar NU ke 32 di Makasar. dan tidak adanya hubungan ke organisasian ini lebih diperkuat lagi dengan
Hasil keputusan Muktamar ke XI Jam’iyyah Ahlit Thoriqoh Al Mu’tabaroh An
Nahdliyyah tahun 2012 di PP Al Munawwariyyah Malang dimana ISHARI tidak
tertulis sebagai salah satu Lajnah di Organisasi tersebut ( Lihat PD/PRT hasil
Keputusan Muktamar Thoriqoh Tahun 2012 di Malang terbitan Gedung Kanzus
Sholawat Pekalongan).
2.
Memang ada interpretasi
bahwa tidak termaktubnya kalimat “ termasuk juga ISHARI “ pada tugas dan Fungsi
Jam’iyyah Alit Thoriqoh al Mu’tabaroh An
Nahdliyyah hasil keputusan Muktamar NU Makassar, karena memang sudah in claude
pada hasil Muktamar NU Boyolali sehingga
(menurut Pendapat ini ) ISHARI tetap dalam Pembinaan Thoriqoh, akan tetapi hal
tersebut menjadi kabur karena ternyata tidak terdapat juklak juknis pengaturan dari Jam’iyyah Thoriqoh
terhadap ISHARI yang tentunya dalam perumusannya harus melibatkan Pimpinan ISHARI,
3.
Sehingga hubungan NU
dengan ISHARI yang ada saat ini (sebelum adanya penjelasan yang pasti) menurut interpretasi
kita (warga ISHARI) adalah hubungan emosional kultur yaitu, pertama, Organisasi
ISHARI didirikan dan digagas Oleh Para ulama NU setelah mendapatkan restu dari
para putrera KH Abdurrokhim dan yang kedua, NU dan ISHARI sama-sama
berazaskan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Disaat dalam posisi yang
tidak menguntungkan sebagaimana
tersebut diatas, serta dengan adanya keinginan melestarikan dan mengkukuhkan Organisasi
ISHARI agar tidak lenyap dan tidak terombang ambing, maka Pimpinan Wilayah ISHARI Jawa
Timur berinsiatif mendaftarkan Jam’iyyah ini ke kementerian Hukum dan Ham dan Al
Hamdulillah telah diterbitkan badan Hukum akta
Pendirian Organisasi ISHARI dengan Nomor ANU 138.AN.01.07 Tahun 2012 tertanggal 27
Juli 2012.