SUGENG RAWUH DATENG GUBUK ONLINE RAZY SAMUDRA: Blog ini kami sajikan untuk pengunjung, guna saling menambah khazanah keilmuan

Wednesday, April 22, 2015

MENJADI ISHARI



MENJADI ISHARI

Sepeninggal Hadrotus Syeih KH Abdurrokhim Bin Abdul hadi  ( 1952 ) kepemimpinan Jam’iyyah ini diteruskan oleh Putra sulung Beliau yaitu KH. MUHAMMAD Bin ABDURROKHIM dan dibantu oleh saudara-saudaranya yang lain, pada masa kepemimpinan beliau inilah  jam’iyyah Hadroh ini resmi berganti nama menjadi ISHARI  yaitu pada tanggal 15 Rajab 1378 H / 23 Januari 1959. Hal tersebut dilakukan karena bermunculan kelompok kelompok Hadroh dengan Nama yang berbeda-beda, seperti misalnya Jam’iyyah Hadroh Al Mu’awanah, Jam’iyyah Hadroh Al Musthofa dan lain –lain, maka agar tidak terjadi perpecahan dalam sebuah kegiatan yang isi dan kerja kegiatannya sama serta lahir dari sumber yang sama selanjutnya nama-nama jam’iyyah Hadroh ini disatukan dengan satu nama yaitu “ ISHARI “ kepanjangan dari Ikatan Seni Hadroh Republik Indonesia.  Penggunaan kata republik ini selain bertujuan seperti tersebut diatas juga bertujuan agar kumpulan kesenian ini tidak disusupi oleh gerakan kaum Komunis (PKI) yang pada saat itu diceritakan sudah mulai ada tanda – tanda orang- orang PKI ikut dalam kegiatan Jam’iyyah ini.

Atas usulan para Ulama di NU seperti KH.Makhrus Ali Lirboyo, KH Bisyri Sansuri Jombang, KH Idham Kholid Cirebon, KH A Syaiku Jakarta, KH Syaifuddin Zuhri, dan khususnya Ulama di Kabupaten Pasuruan seperti, , KH. Ahmad Jufri Besuk kejayan, KH Mas Imam Pasuruan, KH Abdulloh Bin Yasin Pasuruan, dan lain lain, serta atas perintah Rois Am PBNU pada saat itu, yaitu Hadrotus Syeikh KH. ABDUL WAHHAB HASBULLOH. Dan demi melestarikan keberlangsungan jamiyah ini, maka para ulama NU pada tahun 1959 tepatnya pada tanggal 23 Januari 1959 M. atau bertepatan dengan tanggal 15 Rojab 1378 H. Setelah mendapatkan persetujuan dari KH Muhammad bin Abdurrokhim mendeklarasikan ISHARI sebagai wadah Jam’iyyah Hadroh, bertempat di Pasuruan dan menjadikannya sebagai salah satu organisasi didalam pembinaan Syuriah NU setelah ditetapkan di Muktamar NU ke 23 di Solo Tahun 1962 (lihat AD/ART NU hasil muktamar ke 23 Solo).
Dan seiring berjalannya masa, keberadaan Organisasi ini tetap dalam pembinaan lembaga tersebut sampai dengan ditetapkannya ISHARI sebagai salah satu Badan Otonom Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU  ke 29 tahun 1994 di Cipasung Jawa Barat (baca AD/ART NU hasil muktamar ke 28 Cipasung), oleh karena setiap BANOM NU harus memiliki peratuaran dan struktur tersendiri. dan sebagai respon menyikapi keputusan NU itu, maka pada Tahun 1995 ISHARI melaksanakan MUNAS untuk yang pertamakalinya di Kabupaten Lamongan sehingga dihasilkanlah PD/PRT ISHARI serta terbentuknya Pimpinan pusat ISHARI yang bermarkas di Surabaya dan Al-hamdulillah hal tersebut adalah merupakan MUNAS yang pertama kali.

Dikarenakan keterbatasan dibidang pengembangan organisasi serta lemahnya kordinasi antar konsitusi  maka keberadaan ISHARI tidak menjadi berkembang dan hanya tumbuh subur di wilayah Jawa Timur sehingga (Menurut pendapat Pimpinan di struktur NU), ISHARI tidak memenuhi syarat sebagai salah satu Badan Otonom di NU, sehingga pada Muktamar NU ke 30 tahun 1999 di Lirboyo Kediri Jawa Timur, ISHARI  di masukkan dalam salah satu pembinaan LSB (Lembaga seni Budaya NU). (lihat AD/ART NU Hasil Muktamar NU ke 30 Lirboyo kediri). Ironi memang disatu sisi ISHARI pada saat mulai menata dengan adanya keputusan MUNAS ISHARI disisi lain sebagai induk Organisasi justru NU menempatkan Posisi ISHARI menjadi satu dengan kesenian-kesenian lain baik dibawah pembinaan LSB NU, dengan demikian (Menurut sudut Pandang Pimpinan NU) maka semua Hasil MUNAS ISHARI Tahun 1995 termasuk didalamnya PD/PRT ISHARI dan Pimpinan Pusat sudah gugur demi hukum dan dianulir oleh Keputusan Muktamar NU Lirboyo.
Dan atas upaya serta usulan Pimpinan ISHARI Wilayah jawa Timur kepada NU yang memandang bahwa tidak relevan apabila ISHARI berada dibawah pembinaan LSB NU, karena ISHARI adalah bukan hanya sekedar kumpulan seni tapi merupakan perpaduan antara seni dengan Ubudiyyah, dan usulan tersebut direspon positif oleh NU pada Muktamar NU ke 31 tahun 2004 di Boyolali dengan memasukkan ISHARI dalam pembinaan Lembaga Ahlit Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An nahdiyyah (Lihat AD/ART NU hasil Muktamar ke 30 Boyolali). Namun lagi-lagi ironi bagi ISHARI karena perubahan tersebut tidak tersosialisasi dengan baik dan bahkan tidak ada juklak juknis yang termaktub bagaimana mengatur pola hubungan antara ISHARI dan Thoriqoh, baik itu di Organisasi NU maupun di Thoriqoh. Ketidak pastian hubungan dan pola pengaturan antara ISHARI dan Thoriqoh itu terus berlanjut sampai sekarang, dan bahkan pada Muktamar NU ke 32 tahun 2009 di Makassar justru tidak muncul kalimat pembinaan Thoriqoh kepada ISHARI (Lihat AD/ART NU ke 32 makasar) sebagaimana termaktub jelas dalam AD/ART NU hasil Muktamar Boyolali. Apabila dicermati dengan seksama ada dua perubahan mendasar terhadap posisi Thoriqoh didalam Organisasi NU
a)      Pada hasil Muktamar NU ke 31 tahun 2004 di Boyolali, Posisi Thoriqoh adalah Lembaga sedangkan di Muktamar NU ke 32 tahun 2009 di Makassar posisi Thoriqoh menjadi BANOM.
b)     Pada hasil Muktamar NU ke 31 tahun 2004 pada fungsi dan tugasnya Thoriqoh termasuk juga membina ISHARI sedangkan pada Hasil Muktamar NU ke 32 di Makasar tidak lagi termaktub bahwa Thoriqoh adalah pembina ISHARI.
Kesimpulan
1.      Kalau keputusan perubahan dalam muktamar NU itu menganulir keputusan Muktamar sebelumya sebagaimana keputusan di Lirboyo menganulir keputusan di Cipasung. maka dengan demikian sudah tidak ada kejelasan hubungan secara organisasi antara NU dengan ISHARI juga dengan Thoriqoh karena sudah dianulir oleh Hasil Keputusan Muktamar NU ke 32 di Makasar. dan tidak adanya hubungan ke organisasian ini lebih diperkuat lagi dengan Hasil keputusan Muktamar ke XI Jam’iyyah Ahlit Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah tahun 2012 di PP Al Munawwariyyah Malang dimana ISHARI tidak tertulis sebagai salah satu Lajnah di Organisasi tersebut ( Lihat PD/PRT hasil Keputusan Muktamar Thoriqoh Tahun 2012 di Malang terbitan Gedung Kanzus Sholawat Pekalongan).
2.      Memang ada interpretasi bahwa tidak termaktubnya kalimat “ termasuk juga ISHARI “ pada tugas dan Fungsi Jam’iyyah Alit Thoriqoh al Mu’tabaroh  An Nahdliyyah hasil keputusan Muktamar NU Makassar, karena memang sudah in claude pada hasil Muktamar NU  Boyolali sehingga (menurut Pendapat ini ) ISHARI tetap dalam Pembinaan Thoriqoh, akan tetapi hal tersebut menjadi kabur karena ternyata tidak terdapat juklak  juknis pengaturan dari Jam’iyyah Thoriqoh terhadap ISHARI yang tentunya dalam perumusannya  harus melibatkan Pimpinan ISHARI,
3.      Sehingga hubungan NU dengan ISHARI yang ada saat ini (sebelum adanya penjelasan yang pasti) menurut interpretasi kita (warga ISHARI) adalah hubungan emosional kultur yaitu, pertama, Organisasi ISHARI didirikan dan digagas Oleh Para ulama NU setelah mendapatkan restu dari para putrera KH Abdurrokhim dan yang kedua, NU dan ISHARI sama-sama berazaskan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.

Disaat dalam posisi yang tidak menguntungkan sebagaimana tersebut diatas, serta dengan adanya keinginan melestarikan dan mengkukuhkan Organisasi ISHARI agar tidak lenyap dan tidak terombang ambing, maka Pimpinan Wilayah ISHARI Jawa Timur berinsiatif mendaftarkan Jam’iyyah ini ke kementerian Hukum dan Ham dan Al Hamdulillah telah diterbitkan badan Hukum akta Pendirian Organisasi ISHARI dengan Nomor ANU 138.AN.01.07 Tahun 2012 tertanggal 27 Juli 2012.

0 komentar: