SUGENG RAWUH DATENG GUBUK ONLINE RAZY SAMUDRA: Blog ini kami sajikan untuk pengunjung, guna saling menambah khazanah keilmuan

Mencoba berbagai gaya

Gambar tersebut diambil dari berbagai macam kegiatan sik asik di MAN 2 Bojonegoro, Adventure ke Pacitan, Ponorogo, Wonogiri, Magetan dll.

Launching Website PW ISHARI Jatim

Rakorwil 2 PW ISHARI Jatim di PP. Sunan Kali Jaga Jabung Malang, tanggal 6-7 Maret 2015.

ISTIHLAL dan KAJIAN ASWAJA

ISTIHLAL DAN KAJIAN ASWAJA oleh Majelis Pembina Taman Pendidikan Al Qur'an An Nahdliyah th 2013 di ISLAMIC CENTRE Bojonegoro.

PERESMIAN GEDUNG TPQ/MADIN AS SALAM Bulu

Peresmian Gedung TPQ/Madin AS SALAM Bulu Balen Bojonegoro pada tanggal 28 Mei 2014.

WISUDA SANTRI TPQ

Wisuda Santri Taman Pendidikan Al Qur'an An Nahdliyah Cabang Bojonegoro di Islamic Centre Bojonegoro.

Friday, August 6, 2010

AGAMA PADA MASA REMAJA

A. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja
Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian:
1. Fase Pueral
Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak- anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang.
2. Fase Negative
Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.
3. Fase Pubertas
Masa ini yang dinamakan dengan Masa Adolesen
Dalam pembahasan ini , Luella Cole sebagaimana disitir kembali oleh Hanna Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian:
1. Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki)
2. Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki- laki)
3. Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki- laki)
4. Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki- laki)
B. Perasaan Beragama Pada Remaja
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat- sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan, ketidak adilan, penderitaan, kezaliman, persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan tuhan sama sekali.
Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang yang tergantung pada perubahan- perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan allah misalnya, kadang- kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam ketika ia takut gagal atau merasa berdosa.
C. Motivasi Beragama Pada Remaja
Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi beragama dibagi menjadi empat motivasi, yaitu:
1. Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan, baik frustasi karena kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasi social, frustasi moral maupun frustasi karena kematian.
2. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
3. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahu manusia.
4. Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.
D. Sikap Remaja Dalam Beragama
Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:
1. Percaya ikut- ikutan
Percaya ikut- ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.
2. Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah- masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagaio suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
a. Dalam bentuk positif
semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
b. Dalam bentuk negatif
Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah- masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
3. Percaya, tetapi agak ragu- ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
a. Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
b. Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.
4. Tidak percaya atau cenderung ateis
Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.
E. Faktor- Faktor Keberagamaan
Robert H. Thouless mengemukakan empat faktor keberagamaan yang dimasukkan dalam kelompok utama, yaitu:
? Pengaruh- pengaruh sosial
? Berbagai pengalaman
? Kebutuhan
? Proses pemikiran
Factor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi- tradisi sosial dan tekanan- tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan agama adalah kebutuhan- kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan agama. Kebutuhan- kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian, antara lain kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk memperoleh harga diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya kematian.
Faktor terakhir adalah pemikiran yang agaknya relevan untuk masa remaja, karena disadari bahwa masa remaja mulai kritis dalam menyikapi soal- soal keagamaan, terutama bagi mereka yang mempunyai keyakinan secara sadar dan bersikap terbuka. Mereka akan mengkritik guru agama mereka yang tidak rasional dalam menjelaskan ajaran- ajaran agama islam, khususnya bagi remaja yang selalu ingin tahu dengan pertanyaan- pertanyaan kritisnya. Meski demikian, sikap kritis remaja juga tidak menafikkan faktor- faktor lainnya, seperti faktor berbagai pengalaman.

AGAMA PADA MASA ANAK

A. Perkembangan Jiwa Beragama
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:
1. Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
2. Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
3. Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4. Umur 12 – 21 tahun, periode social atau masa pemuda.
5. Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.
Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 - 6 tahun.
5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 - 10 atau 11 tahun.
6. Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 - 13 tahun
7. Masa Remaja Awal, umur 13 - 17 tahun. Masa remaja akhir 17 - 21 tahun.
8. Masa Dewasa Awal, umur 21 - 40 tahun.
9. Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas.
B. Agama Pada Masa Anak- Anak
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh.
Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.
C. Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b. Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a. Fase dalam kandungan
untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
b. Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
c. Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
d. Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
4. Sifat agama pada anak
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
a. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
b. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa.
Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
c. Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
d. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
e. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting.
Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
f. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.


Fahru Rozi, S.Pd.I

Thursday, August 5, 2010

Makalah Penelitian Tafsir Qur'an

PENELITIAN TAFSIR

A. PENGERTIAN TAFSIR
Tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian . Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan) kata taf’il, diambil dari kata al-tafsir yang berarti al-bayan (penjelassan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap;dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah yang di gunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Selahjutnya, pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar al-Quran tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al-Jurjani, misalnya, mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya, baik konteks historinya maupun sebab Al-Nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjukan kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Sementara itu imam Al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir ialah ilmu yang membahas kandungan al Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya, Abu Hayan, sebagaimana dikutip Al-Suyuti, mengatakan bahwa tafsir ialah ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal Al Qur’an disertai makna serta hokum-hukum yang terkandung didalamnya. al-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir atau ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw; dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta, hikmah yang terkandung didalamnya.
Dari beberapa definisi diatas kita menemukan tiga ciri utama tafsir, pertama,dilihat dari segi obyek pembahasanya adalah kitabullah (Al-Quran) yang didalamnya terkaundung firman Allah Swt. Yang di turunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad Saw. Melalui malaikat jibril. Kedua, dilihat dari segi tujuanya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkapkan dengan Alquran sehingga dapat di jumpai, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung didalamnya. Ketiga, dilihat dari segi lafad dan kedudukanya adalah hasil penanganan, kajian, dan ijtihat para mufasir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya,sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
Dengan demikian, secara singkat dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam penyelidikan secara seksama terdapat penafsiran Al Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terakit denganya.
Objek pembahasan tafsir, yaitu al-Quran merupakan sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan umat ini. berdasarkan kedudukan dan peran al-Quran tersebut, Quraish Shihab mengatakan jika demikian halnya, pemahaman terhadap ayat –ayat al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan sangat besar bagi maju mundurnya umat, sekaligus dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.

B. LATAR BELAKANG PENELITIAN TAFSIR
Dilihat dari segi usianya, penafsiran al-Quran termasuk yang paling tua dibandingkan dengan kegiatan ilmiah lainya dalam Islam pada saat al-Quran ditirunkan lima belas abad yang lalu, Rasulullah Saw. yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) telah menjelaskan arti dan kandungan al-Quran kepada sahabat-sahabatnya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau sama artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya rasulullah, walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui, sebagai akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang rasul Saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandunga al-Quran.
Kalau pada masa rasul saw, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya mereka terpaksa melakukan ijtihat, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali ibn Abi Thalib, Ibn ‘Abas, Ubay bin Ka’ab dan Ibn Mas’ud.
Sementara itu ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Quran kepada tokoh-tokoh Ablul-kitab (kaum yahudi dan nasrani) yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Akhbar. Inilah yang selanjutnya merupakan benih lahirnya Israiliat.
Disamping itu, para tokah tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan diatas mempunyai murid-murid dari para tabi’in khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal, sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota tersebut, saparti (a) Sa’id bin Jubair, Mujahit bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibn ‘Abbas; (b) Muhammad bin ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah yang ketika itu barguru kepada Ubay bin Ka’ab, dan (c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya’bi, di Irak yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Gabungan dari ketiga sumber diatas, yaitu penafsiran rasulullah saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in dikelompokkan menjadi satu kelompok yang selanjutnya dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dua sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini bahasa hadis – hadis telah beredar sedemikian pesatnya dan bermunculanlah hadist-hadist palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. sementara itu, perubahan-perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad Saw, para sahabat dan tabi’in.
Pada mulanya, usaha penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang terkandung oleh satu kosa kata. Namun, sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihat dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran, sehingga bermuncullah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keaneka ragaman tersebut ditunjang pula oleh al-Quran, yang keadaanya seperti di katakan oleh ’Abdullah Darras dalam Al-Naba’ al-Azhim: ” Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.”
Berdasarkan pada adanya upaya penafsiran al-Quran dari sejak zaman Rasulullah Saw. hingga dewasa ini, serta adanya sifat dari kandungan al-Quran yang terus-menerus memancarkan cahaya kebenaran itulah yang mendorong timbulnya dua kegiatan, pertama, kegiatan penelitian di sekitar produk-produk penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu. dan kedua, kegiatan penafsiran al-Quran itu sendiri.

C. MODEL-MODEL PENELITIAN TAFSIR
Dalam kajian kepustakaan dapat dijumpai berbagai hasil penelitaan para pakar al-Quran terdapat produk tafsir yang dilakukan generasi terdahulu. Masing-masing peneliti telah mengembangkan model-model penelitian tafsir tersebut lengkap dengan hasil-hasilnya. Berikut ini akan kita kemukakan beberapa model penafsiran al-Quran yang dilakukan para ulama tafsir, sebagai berikut:

1. Corak Quraish Shihab
H.M. Quraish Shihab (lahir th.1944)-pakar di bidang Tafsir dan Hadis se-Asia Tenggara-, telah banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya ulama terdahulu di bidang tafsir. Ia, misalnya, telah meneliti tafsir karangan Muhammad Abduh dan H. Rasyid Ridla, dengan judul Studi kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1944. Model penelitian tafsir yang di kembangkan oleh H.M. Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analisis, dan perbandingan. Yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lainya. Data-data yang dihasilkan dari berbagai literatur tersebut kemudian dideskripsikan secara lengkap dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kategorisasi dan perbandingan.
Hasil penelitian H.M Quraish Shihab terhadap Tafsir al-Manar Muhammad Abduh, misalnya menyatakan bahwa Syaih Muhammad Abduh (1849-1909) adalah seorang ahli tafsir yang banyak mengandalkan akal, menganut prinsip tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tadak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci dalam alquran. Ketika menafsirkan firman Allah dalam al-Quran surat 101 ayat 6-7 tentang ”timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian”, Abduh menulis ”Cara Tuhan dalam menimbang perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu,tiada kecuali atas dasar apa yang diketahuioleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui, maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya hanya kepada Allah Swt. Atas dasar keimanan. Bahkan,’Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya sebagaimana sikap yang ditempuh sahabat ’Umar bin Khathab ketika membaca abba dalam surat Abasa (QS 80: 32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-nya.
Selanjutnya, dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir. Antara lain tentang: (1) periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir, (2) corak-corak penafsiran, (3) macam-macam matode penafsiran al-Quran. Berbagai aspek yang berkaitan dengan penafsiran al-Quran ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut;

a. Periodisasi Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir
Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi penulisanya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat dibagi ke dalam tiga periode.
Periode 1, yaitu masa Rasulullah, sahabat dan permulaan tabi’in, di mana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan.
Periode 2, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan ’Umar bin Abdul ’Aziz (99-101 H.) di mana tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi al-ma’tsur.
Periode 3, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli menduga dimulai oleh Al-Farra (w.207 H.) dengan kitabnya berjudul ma’ani al-Quran.
Periodesasi tersebut masih dapat ditambahkan lagi dengan periode keempat, yaitu periode munculnya para peneliti tafsir yang membukukan hasil penelitianya itu, sehingga dapat membantu masyarakat mengenal karya-karya tafsir yang ditulis oleh ulama pada periode sebelumnya dengan mudah.

b. Corak penafsiran
Berdasarkan hasil penelitianya. Quraish shihab mengatakan bahwa corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: (a) corak bahasa sastra yang timbul akibat kelemahan-kelemahan orang arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang kaistimewaan dan kedalaman arti kandungan alquran di bidang ini. (b) Corak Filsafat dan Teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka. (c) corak Penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat Alquran sejalan dengan perkembangan ilmu. (d) Corak Fiqih atau Hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
c. Macam – macam Metode Penafsiran AlQur’an
1) Corak Ma’tsur (Riwayat)
Ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shaheh menurut urutan yang telah disebutkan dimuka dalam syarat-syarat mufassir. Yaitu menafsirkan Qur’an dengan Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan shahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat.

Kalau kita mengamati metode penafsiaran sahabat-sahabat Nabi Saw, ditemukan bahwa pada dasarnya_setelah gagal menemukan penjelasan Nabi Saw, mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini, misalnya Umar ibn Al-Khattab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah QS. An Nahl; 47: yang artinya:
”Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa) . Maka Sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan artinya adalah ”pengurangan”. Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-islam. Umar kekita itu dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami al-Quran.
Setelah masa sahabat pun, para tabi’in dan atba al-tabi’in, masih mengandalkan metode metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya. Kalaulah kita berpendapat bahwa al-farra’(w.207) merupakan orang pertama yang mendektekan tafsirnya ma’aniy Qur’an, dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w.310 H) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.
Metode Ma’tsur (riwayat) tersebut memiliki keistemewaan antarar lain
(a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran
(b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika meyampaikan pesan-pesannya
(c) Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektifitas berlebiahan.
Sedangakan kelemahan antara lain;
(a) Terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian kebahasaan dan kesuasateraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Quran menjadi kabur dicelah uraian tersebut.
(b) Seringkali konteks turunnya ayat (Uraian asbabul-nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
2) Metode penalaran;pendekatan dan corak-coraknya
Banyak cara, pendekatna dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasannya apabila kita bermaksud menelusurinya satu per satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efesien, bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir yang bercorak penalaran ini kepada empat macam metode, yaitu tablily, ijmaly muqorin dan maudlu’iy. Keempat macam metode penafsiran yang bertitik tolak pada penalaran ini dapat dikemukakan sebagai berikut;
a) Metode Tablily
Metode tablily atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode Tajzi’iy adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Quran debagaimana tercantum di dalam mushhaf. Dalam hubungan ini mufassir mulai dari ayat-ke ayat berikutnya, atau dari surat ke surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai dengan yang termaktub di dalam mushhaf. Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufassir tajzi’iy/tahlily diuraikan. Yaitu bermula dari kosakata, Asbab al-Nuzul, Munasabat, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.
Setelah semua langkah yang tersebut di atas sudah ditempuh, mufassir tahlily lalu menjelaskan seluruh aspek dari semua penafsiran mengenai isi dan maksud ayat al-Quran tersebut.
Kelebihan metode ini antara lain adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Penafsirannya menyangkut segala aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir dalam setiap ayat. Analisis ayat dilakukan secara mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan dan kecenderungan mufassir. Metode ini, walaupun dinilai luas, namun tidak menyelesaikan pokik bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain.
Cara penafsiran ayat-ayat dalam Tafsir al-Kasysyaf karangan Al-Zamkhsyari dan Tafsir al-kabir karangan Al-Razi, biasanya dijadikan sebagai contoh untuk memahami tafsir dengan cara tahlily. Berikut ini, antara lain contoh tersebut dalam ayat 164 surat Al-Nisa yang artinya:
” Dan (Kami Telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh Telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung”.

Dapat kita lihat tafsirnya dalam kedua kitab tafsir di atas. Al-zamakhsyari, dengan melakuan penafsiran kosakata, mengartikan lafal kallama dengan al-jarh.Dengan demikian, ayat tersebut diberi arti dan ”Allah telah melukai Musa dengan kuku ujian dan cobaan-cobaan hidup”. Untuk ayat dan lafal yang sama, Al-Razi tetap memakai arti umum, yaitu berbicara. Sehingga penafsiran yang selama ini dikenal, yaitu bahwa Allah berbicara kepada Musa As.

b) Metode Ijmali
Metode Ijmali atau disebut juga dengan metode global adalah cara menafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Dalam praktiknya metode ini sering terintegrasi dengan metode tahlily karena itu seringkali metode ini tidak dibahas secara tersendiri. Dengan metode ini seorang mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat tersebut secara garis besar saja.
c) Metode Muqarrin
Metode muqarin adalah suatu metode tafsir al Qur’an yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat al Qur’an yang satu dengan yang lain nya, yaitu ayat-ayat yang mmpunyai kemiripan redaksi dlm dua atau lebih kusus yang berbeda, dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, dan atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis-hadis nabi Muhammad SAW., yang tampak bertentangan, serta mbandingkan pendapat-pendapat ulama’ tafsir menyangkut penafsiran al-Qur’an.
Sejalan dengan karangka tersebut diatas, maka prosedur penafsiran dengan cara muqarrin tersebut dilakukan sebagai berikut.
1) Menginfentarisasi ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemripan redaksi;
2) Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut;
3) Mengadakan penafsiran. Contoh:

”Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Anfal; 10)


”Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Ali Imran; 126)

Dua ayat tersebut redaksinya kelihatan mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum Muslimin ketika melawan musuh-musuhnya, namun berbeda pada hal-hal sebagai berikut. Surat Al Anfal (1) mendahulukan kata  dari pada  (2) memakai kata  (3) berbicara mengenai perang Badar. Surat Ali Imran: (1) memakai kata  (2) berbicara tentang perang Uhud.
Keterdahuluan kata  dan penambahan kata  dalam ayat pertama diduga keras sebagai tauhid terhadap kandungan utama ayat, yakni bantuan Allah pada perang Badar, mengingat perang itu yang pertama, dan jumlah kaum Muslimin sedikit.
Dalam perang Uhud, tauhid itu tidak diperkukan, sebab pengalaman perang sudah ada, dan umat Islam sudah banyak, dan pemakaian kata disini menandakan kegembiraan itu hanya untuk sahabat, bukan kegembiraaan abadi seperti kasus ayat pertama.

d) Metode Maudlu’iy,
Salah satu pesan dari Ali bin Abi Thalib adalah: ”Ajaklah al Quran berbicara atau biarkan ia menguraikan maksudnya”. Pesan ini antara lain pengharusan penafsiran merujuk kepada al Qur’an dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode maudlu’iy dimana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang di tetapkan sebelumnya. Kemudian penafsiran membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebutsehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Adanya metode penafsiran dengan cara tematik tersebut, menurut Quraish Shihab berasal dari Mahmud Syaltout. Dalam hubungan ini Quraish Shihab mengatakan, bahwa pada bulan juli 1960, Syaikh Mahmud Syaltout menyusun kitap tafsir berjudul Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syatibi (w.1388 M.) yaitu bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut. Berdasarkan ide Al-Syatibi tersebut, syaltout tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat, atau bagian- bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.
Namun menurut Quraish Shihab, apa yang di tempuh oleh Syaltout belum menjadikan pembahaan tentang petunjuk Al Qur’an di paparkan dalam bnentuk menyeluruh, karna seperti di kemukakan di atas, bahwa satu masalah dapat di temukan dalam berbagai surat.atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan mewnyeluruh. Ide ini di mesir dikembangkan lebih lanjut oleh Prof. Dr. Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan.Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode Maudlu’iy, gaya Mahmud Syaltout diatas.
Berdasarkan data tersebut, Quraish Shihab sampai pada kesimpulan bahwa metode maudlu’iy mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuanya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al Qur’an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunya,kemudian menjelaskan pengrtian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al Qur’an secara utuh tentang masalah yang di bahas itu.
Berbagai metode penafsiran al Qur’an tersebut bagi Quraish shihab bukan hanya sekedar teori atau pengetahuan belaka sebagaimana pada umumnya yang di miliki para pakar, tetapi telah di praktekannya dalam kegiatan menafsirkan al Qur’an. Ia misalnya menulis buku mahkota tuntunan ilahi (terbitan untagama tanpa tahun) yang isinya adalah tafsir surat al-Fatihah. Sementara bukunya yang lain seperti membumikan al Quran, yang di terbitkan mizan di tahun 90-an berisi pembahasan tentang berbagai masalah sosial kemasyarakatan dengan menggunakan metode tematik.

2. Model Ahmad Al-Syarbasi
Pada tahun 1985 Ahmad Al-Syarbasi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis sebagaimana halnya yang di lakukan Quraish Shihab, sedangkan sumber yang di gunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang di tulis para ulama tafsir, seperti Ibn Jarir al-Thabari, al-Zamakhsyari, Jalalludin al-Suyuthi, al-Raghib al-Ashfahani, al-Syatibi, Haji Khalifah. Hasil penelitiannya itu mencakup tiga bidang, pertama, mengenai sejarah penafsiran al Qur’an yang di bagi ke dalam tafsir pada masa sahabat nabi, kedua mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi, tafsir politik, ketiga, mengenai gerakan pembaruan di bidang tafsir.
Menurutnya, tafsir pada zaman rasulullah saw. Pada awal masa pertumbuhan Islam di susun pendek ringkas karena penguasaan bahasa arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat al Qur’an. Pada masa-masa sesudah itu penguasaan bahasa Arab yang murni tadi mengalami kerusakan akibat percampuran masyarakat Arab dengan bangsa-bangsa lain, yaitu ketika pemeluk Islam berkembang luas keberbagai negeri. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang-orang arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti ilmu nahwu (gramatika) dan balaghah (retorika). Di samping itu mereka juga mulai menulis tafsir al Qur’an untuk di jadikan pedoman bagi kaum muslimin. Dengan adanya tafsir itu umat Islam dapat memahami banyak hal yang samar dan sulit untuk di tangkap maksudnya.
Lebih lanjut al-Syarbasi mengatakan, tentu saja pertama-tama kita harus mengambil tafsir dari rasulullah saw. Maudhu’ Melalui riwayat-riwayat hadist yang tidak ada keraguan atas kebenarannya, ini sangat perlu ditkankan, karena banyak hadist (palsu-buatan). Setelah kita pegang tafsir yang berasal dari nabi, barulah kita cari tafsir-tafsir dari para sahabat beliau.
Tentang tafsir ilmiah, Ahmad al-Syarbasi mengatakan, sudah dapat kita pastikan bahwa dalam al Qur’an tidak terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam kenyataan ilmiah. Ini merupakan satu segi dari kedudukanya sebagai mukjizat. Munculnya istilah tafsir ilmiah yang dikemukakan oleh al-Syarbashi tersebut antara lain di dasarkan pada kitab tafsir al-Razi. Dalam kaitan ini ia mengatakan bahwa dalam kitab tafsir al-Razi banyak bagiannya yang dapat di anggap ilmiah, sama halnya dengan kitab tafsir Muhammad bin Ahmad al-Iskandari dengan judul panjang, yaitu Kasyful Asrar Al-Nuraniyah Al-Quranniyah Fi Ma Yata’allaqu Bi Arwah Al-Samawiyah Wa Al-Ardliyah. Demikian juga kitab-kitab tafsir yang lain seperti Muqaranatu Ba’dhi Mababith Al-Hai’ab Bi Al-Warid Fi Al-Nusbubusby Syar’iyyah, karya Abdullah Pasha Fikri: kitab tafsir al- Jawahir karya syaikh Tantawi Jauhari, dan kitab-kitab tafsir lainya yang cenderung menafsirkan al Qur’an secara ilmiah.
Selanjutnya, tentang tafsir sufi, al-Syarbashi mengatakan ada kaum sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf al Qur’an dan berusaha menerangkan hubungannya yang satu dengan yang lainya, adanya tafsir sufi tersebut, al-Syarbasi mendasarkan kepada kitab-kitab tafsir yang di karang para ulama sufi, untuk itu ia mengutip pendapat-pendapat al-Thusi yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah dapat di jangkau dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, segala sesuatu yang telah dapat di pahami dan segala sesuatu yang telah di ungkapkan serta di ketahui oleh manusia, semua itu berasal dari dua huruf yang terdapat pada permulaan kitabullah, yaitu bismillah dan al-hamdullilah karena keduannya bemakna billah (karena allah) dan lillah (bagi allah). Ilmu dan pengetahuan apa saja yang dimiliki manusia atau apa saja yang di miliki manusia atau apa saja yang telah dapat mengerti oleh menusia tindaklah ada dengan sendirinnya, melainkan adanya karena Allah dan bagi Allah.
Mengenai tafsir politik, al-Syarbashi mendasarkanya pada pendapat-pendapat kaum Khawarij dan lainnya yang terlibat dalam politik dalam memahami ayat-ayat al Qur’an. Menurut mereka terdapat ayat-ayat al Qur’an yang berkenaan dengan perilaku dan peran politik yang di mainkan oleh kelompok yang bertikai. Misal yang artinya: di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya demi keridlaan Allah.
 ••           
”Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”
(Qs al-Baqarah, 207).

Menurut kaum khawarij, ayat tersebut di turunkan berkenaan dengan Ibn Muljam, orang yang membunuh Ali bin Abi Tholib. selanjutnya ,
                             •    
”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS Al-Hujarat. 9).

Menurut kaum Khawarij ayat tersebut di turunkan Allah berkaitan dengan terjadinya peperangan antara golongan Ali bin Abi Tholib dan golongan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Selanjutnya, mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir, Ahmad al-Syarbashi mendasarkan pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad ke 20. ia menyebutkan Sayyid Rasid Ridha - murid Syeikh Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya kedalam masalah al-manar. Itu merupakan langkah pertama. langkah selanjutnya, ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang di beri nama Tafsir Al-Manar, yaitu kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut al Syarbashi, Muhammad Abduh telah berusaha menghubungkan ajaran – ajaran al Qur’an dengan kehidupan masyarakat disamping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi, dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.
Methode tafsir yang digunakan Muhammad Abduh dalam tafsrinya itu adalah menafsirkan alQur’an dengan alQur’an, hadist-hadits shahih serta tetap berpegang pada makna menurut pengrtian bahasa Arab. Hal ini dilakukan karena Syaikh Muhammad Abduh memandang bahwa teks induk al Qur’an sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi dan menyempurnakan.

3. Model Syaikh Muhammad al Ghazali
Syaikh muhammad al-Ghazali di kenal sebagai tokoh pemikir Islam abad modern yang produktif. Banyak hasil penelitian yang di lakukan, termasuk dalam bidang tafsir al Qur’an. Sebagaimana para peniliti tafsir lainya, Muhammad al-Ghazali menempuh cara penelitian tafsir lainya, Muhammad al-Ghazali menempuh cara penilitian tafsir yang bercorak eksploratif, deskriptif, dan analisis dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang di tulis ulama terdahulu.
Salah satu hasil penelitian yang di lakukan oleh Muhammad al-Ghazali adalah berjudul berdialog dengan al Qur’an, ayat-ayat kauniyah dalam al Qur’an, bagaimana memahami al Qur’an, peran ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dalam memahami al Qur’an.
Tentang macam-macam metode memahami al Qur’an, al-Ghazali membaginya kedalam metode klasik dan metode modern dalam memahami al Qur’an, menurutnya dalam berbagai kajian tafsir, kita banyak menemukan metode memahami al Qur’an berawal dari ulama generasi terdahulu. Mereka telaah berusaha memahami kandungan al Qur’an, sehingga lahirlah apa yang kita kenal dengan metode memahami al Qur’an. kajian ini berkisar pada usaha-usaha menemukan nilai-nilai sastra, fiqih, kalam, aspek sufistik filosofinya, pendidikan dan sebagainya dengan mengunakan metode yang telah ada, dapatkah kita menggunakannya pada zaman sekarang?
Demikian pertanyaan yang di ajukan Imam al-Ghazali setelah ia menemukan berbagai metode yang di gunakan para ulama terdahulu dalam memahami al Qur’an, Muhammad al-Ghozali, misalnya, menyebutkan metode kajian teologis, sufistik, dan filosofis yang di anggap cukup radikal dan menyentuh masalah-masalah hukum.
Berbagai macam metode atau kajian yang di kemukakan Muhammad al-Ghazali tersebut oleh ulama lainya di sebut sebagai pendekatan, dan bukan metode. Hal ini terjadi karena sebagai sebuah disiplin ilmu biasanya memiliki metode. Dalam hubungan ini Muhammad al Ghazali kelihatannya ingin mengatakan bahwa metode yang terdapat dalam berbagai disiplin ilmu tersebut ingin digunakan dalam memahami al Qur’an.
Selanjutnya, Muhammad alGhazali mengemukakan adanya metode modern dalam memahami al Qur’an. Metode Modern ini timbul sebagai akibat dari adanya kelemahan pada berbagai metode yang telah disebutkan diatas. Dalam hal ini, Muhammad al Ghazali menginformasikan adanya pendekatan atsariyah atau Tafsir bi al Ma’tsur. Menurutnya, kajian ini dapat kita lihat dalam kitab tafsir ibn katsir, kitab tafsir yang populer. Metode ini pernah digunakan oleh ibn Jarir al Thabary, tetapi menurut Muhammad al Ghazali metode ini perlu mendapat kritik karena ayat-ayat dalam kajian tersebut banyak dikaitkan dengan hadits-hadits Dha’if, sehingga apa yang diharapkan dari sebuah tafsir al Qur’an dengan pemikiran Qur’any, tampaknya belum begitu terlihat. Sayyid Kutub dalam sebuah karyanya, Fi Dzilal al Qur’an misalnya, dinilai oleh Muhammad al Ghazali, hanya mengutip nas-nas saja dari tafsir ibn Katsir, sedangkan hadits-haditsnya tidak diikuti secara lengkap, ia mengutip nas-nasnya saja. Hal ini dimaksudkan agar beliau dapat menemukan pikiran-pikiran yang baru yang orisinil.
Selanjutnya, Muhammad al Ghazali mengemukakan ada juga tafsir yang bercorak dialogis, seperti yang pernah dilakukan oleh al Razi dalam tafsirnya al Tafsir al Kabir. Menurutnya tafsir ini banyak menyajikan tema-tema menarik, namun sebagian dari tema tafsir tersebut sudah keluar dari batasan tafsir itu sendiri, yang menjadi acuan kebanyakan penafsir al Qur’an.
Berangkat dari adanya berbagai kelemahan yang terkandung dalam metode penafsiran masa lalu, terutama jika dikaitkan dengan keharusan memberikan jawaban terhadap berbagai masalah kontemporer dan modern, Muhammad al Ghazali sampai pada suatu saran antara lain: ”kita inginkan sa’at ini adalah karya-karya keIslaman yang menambah tajamnya pandangan Islam dan bertolak dari pandangan Islam yang benar dan berdiri diatas argumen yang memiliki hubungan dengan al Qur’an. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pikiran manusia adalah relatif dan spekulatif, bisa benar juga bisa salah. Keduanya memiliki bobot yang sama dalam sebuah kegiatan pemikiran. Selain, kita juga tidak menutup mata terhadap adanya manfa’at atau fungsi serta sumbangan pemikiran keagamaan lainnya, bila itu semua menggunakan metode yang tepat”. Itulah sebagian kesimpulan dan saran yang diajukan Muhammad al Ghazali dalam penelitiannya.

4. Model Penelitian lainnya.
Selanjutnya, dijumpai pula penelitian yang dilakukan para ulama terhadap aspek-aspek tertentu dari al Qur’an. Diantaranya ada yang memfokuskan penelitiannya terhadap kemu’jizatan al Qur’an, metode-metode, kaidah-kaidah dalam menafsirkan al Qur’an, kunci-kunci untuk memahami al Qur’an, serta ada pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah penafsiran al Qur’an yang khusus yang terjadi pada abad ke-empat.
Selanjutnya, Amin Abdullah dalam bukunya berjudul study Agama juga telah melakukan penelitian deskriptif secara sederhana terhadap perkembangan tafsir. Amin Abdullah mengatakan, jika dilihat secara garis besar perjalanan sejarah penulisan tafsir pada abad pertengahan, agaknya tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa dominasi penulisan tafsir al Qur’an secara leksiografis (lughawi) tampak lebih menonjol. Tafsir karya Shihab al Din al Khaffaji (1659) memusatkan perhatian pada analisis gramatika dan analisis sintaksis atas ayat-ayat al Qur’an. Juga karya al Baydhawi (1286), yang hingga sekarang masih digunakan dipesantren-pesantren, memusatkan perhatian pada penafsiran al Qur’an corak leksiografis seperti itu.
Tafsir modern karya ’Aisyah Abd Rahman bint al Syati’ al Tafsir al Bayan li alQur’an al Karim yang oleh silabus jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan KaliJaga halaman 151 disebut tafsir al’Asri, juga masih punya kesan kuat corak leksiografis.
Amin Abdullah lebih lanjut mengatakan, meskipun begitu, masih perlu digaris bawah karya Tafsir Mutakhir ini kaya dengan metode komperatif didalam memahami dan menafsirkan arti suatu kosakata al Qur’an. Binti al Syati’ selalu melihat ulang bagaimana penafsiran dan pemahaman para penafsir terdahulunya al Thabari, al Naisaburi, al Razi, al Suyuthi, al Zamakhsyari, Ibn Qayyim, M. Abduh dan lain-lainnya. Sebelum beliau mengemukakan pendapatnya sendiri diakhir suatu bahasan.
Tanpa harus mengecilkan jasa besar tafsir bercorak leksikografis, corak penafsiran seperti itu dapat membawa kita kepada pemahaman al Qur’an yang kurang utuh karena belum mencerminkan suatu kesatuan pemahaman yang utuh dan terpadu dari ajaran al Qur’an yang fundamental. Karya tafsir yang menonjolkan I’jaz umpamanya, akan membuat kita terpesona akan keindahan bahasa al Qur’an, tetapi belum dapat menguak nilai-nilai spiritual dan sosio moral al Qur’an untuk kehidupan sehari-hari manusia. Begitu juga penonjolan Asbab al Nuzul bila terlepas dari nilai-nilai fundamental universal yang ingin ditonjolkan-sudah barang tentu bermanfa’at untuk mempelajari latarbelakang sejarah turunnya ayat perayat, tetapi juga mengandung minus keterkaitan dan keterpaduan antara ajaran al Qur’an yang bersifat universal dan transendental bagi kehidupan manusia dimanapun mereka berada.


FAHRU ROZI

Proposal Skirpsi

PROPOSAL SKPRIPSI
STUDY KOMPARASI PRESTASI BELAJAR MAPEL BAHASA ARAB ANTARA SISWA DARI MTs DENGAN SISWA DARI SMP DI MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 BOJONEGORO TAHUN 2008






Oleh:
F A H R U R O Z I
NIM : 2004.5501.1023
NIMKO : 2004.4.055.0001.1.00951


Disetujui Oleh:
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II





Drs. Z. KASIJAN Drs. MOH. SALAMUN

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
SUNAN GIRI BOJONEGORO
2008

STUDY KOMPARASI PRESTASI BELAJAR MAPEL BAHASA ARAB ANTARA SISWA DARI MTs DENGAN SISWA DARI SMP DI MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 BOJONEGORO TAHUN 2008

A. Latar Belakang Masalah
إنا أنزلنه قرانا عربيا لعلكم تعقلون (يوسف: ٢)
“Sesunguhnya kami (Allah SWT) menurunkannya berupa al Qur’an dengan bahsa Arab, agar kamu memahaminya”. (Q.S. Yusuf 12:2)1
Bahasa Arab mempunyai peranan penting bagi umat islam. Karena sebagaimana telah kita ketahui bahwa al Qur’an adalah sebagi wahyu Allah yang diturunkan dalam bahasa Arab, maka hendaknya kita sebagai umat Islam berusaha memahami dan bahkan dengan usaha keras untuk memahami bahsa Arab. Dengan memahami dan mengusai bahasa Arab tentunya akan memudahkan bagi kita dalam memahami makna yang terkandung di dalam al Qur’an. Dengan demikian mengembangkan bahsa Arab berarti menghidupkan al Qur’an dan berarti pula menyi’arkan syi’ar – syiar agama Islam. Sebagaimana firma Allah SWT:
ذلك ومن يعظم شعائر الله فإنها من تقوى القلوب (الحج: ٣٢)
“Demikianlah (perintah) Allah dan barang siapa mengagungkan syiar – syiar Allah sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati ”. (QS. Al Hajj 22:23)2
Berdasarkan ayat diatas tersebut, maka kita sebai umat Islam setidaknya merasa terpanggil untuk mempelajari, mengembangkan, memasyarakatkan dan mengajarkan bahsa Arab tersebut dengan sepenuh hati.
Berpijak dari fenomena diatas, Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro mempunyai tujuan membentuk siswa – siswinya menjadi umat yang sholeh dan sholehah selain menjadi siswa – siswi yang terampil dalam bidang elektronik, otomotif dan tata busana, sehingga terbentuklah insan yang terampil yang berbudi luhur yang siap terjun dimasyarakat dengan bekal agama yang kuat serta didukung dengan ketrampilan yang dimiliki.
Adapun Visi dan Misi MAN 2 Bojonegoro adalah:
1. Visi MAN 2 Bojonegoro
Secara garis besar mampunyai Visi “Menjadi Generasi Muslim Yang Prestatif dan Kompetitif”. Dan ada beberapa hal yang menjadi Indikator disini antara lain:
a. Berprestasi dan berkompetisi dalam membina generasi muslim yang berimtaq (iman dan taqwa) kokoh dan berakhlaqul karimah
b. Berprestasi dan berkompetisi dalam bidang akademik dan non akademik.
c. Berprestasi dan berkompetisi untuk melanjutkan keperguruan tinggi
d. Berprestasi dan berkompetisi lomba karya ilmiyah, olah raga dan seni.
e. Berprestasi dan berkompetisi dalam penguasaan ketrampilan hidup.
2. Misi MAN 2 Bojonegoro
a. Menerapkan nilai – nilai Islam dalam kehiduoan sehari – hari di dalam dan di luar sekolah.
b. Melaksanakan pendidikan, pembelajaran, dan pelatihan secara komprehensif.
c. Menumbuhkan budaya berprestasi dan berkompetisi secara berimbang.
d. Mendorong dan membantu siswa mengenal potensi diri agar berkembang secara optimal.
e. Menerapkan manajemen partisipatif dan melibatkan seluruh warga dan komite sekolah. (sumber: hasil observasi dan dokumentasi)
Menengok dari Visi dan Misi MAN 2 Bojonegoro terutama pendidikan agama dan umum dan untuk merealisasikan tujuan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro terutama tentang penggunaan bahasa, maka pengajaran bahasa harus terus dibina dan dikembangkan secara insentif. Yakni dengan cara, sejak permulaan pelajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris secara aktif dengan didukung Laboratorium Bahasa. Artinya bahasa tersebut ditegaskan untuk digunakan dalam tiap pergaulan, dalam kegiatan intra maupum ekstra, sampai menjadi bahasa pengantar dalam beberapa mata pelajaran. Tetapi hanya sebagian dari siswa – siswi yang paham akan bahasa Arab, dikarenakan pembelajaran yang tidak sama antara satu siswa dengan yang lain, yakni sebagian berasal dari Madrasah Tsanawiyyah (MTs) dengan jam pelajaran agama terkhusus bahasa Arab yang lebih banyak dibanding dengan siswa dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan jam pelajaran agama sedikit.
Dari sinilah penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana hasil prestasi siswa kelas X dalam bidang studi bahasa Arab, mengingat mereka tidak berasal dari sekolah yang sama, akan tetapi mereka satu gabungan dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan Madrasah Tsanawiyyah (MTs). Disini penulis memfokuskan pada kelas X, karena kelas tersebut adalah kelas awal dari beberapa kelas yang harus ditempuh di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro. Dengan demikian dapat dilihat prestasi belajar mereka selama disekolah tersebut, terutama dalam bidang studi bahasa Arab.
Selanjutnya setelah mengetahui hal – hal tersebut penulis tertarik untuk membandingkan prestasi belajar mereka yang berasal dari kedua sekolah asal yang berbeda, yang mana menurut hemat penulis masalah ini di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro belum ada yang meneliti.
B. Penegasan Judul dan Pembatasan Masalah
1. Penegasan Judul
Judul Skripsi adalah “STUDY KOMPARASI PRESTASI BELAJAR MAPEL BAHASA ARAB ANTARA SISWA DARI MTs DENGAN SISWA DARI SMP DI MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 BOJONEGORO.”
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai judul ini, maka penulis jelaskan beberapa istilah penting sehingga dapat dipahami dan dimengerti.
a. Komparasi
Kata “Komparasi” sesuai judul skripsi ini adalah berasal dari kata “Comparative” yang mempunyai arti perbandingan. Dalam buku Prosedur Penelitian karangan Suharsimi Arikunto, disebutkan oleh Dra. Aswarni Sudjud, M.Sc. bahwa:
“Penelitian komparasi akan dapat menemukan persamaan – persamaan dan perbedaan – perbedaan tentang benda – benda, tentang orang, tentang prosedur, kerja, tentang ide – ide kritik terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ide atau suatu prosedur kerja.” 3
Dalam kaitannya dengan skripsi ini, komparasi berarti membandingkan dari segi perbedaannya dan pesamaannya.
b. Prestasi Belajar
“Pretasi adalah hasil yang telah dicapai”.4 Sedangkan belajar adalah :
“Suatu aktifitas mental/ psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan – perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap, perubahan itu bersifat relatif, konstan dan berbekas”.5
Jadi yang dimaksud dengan pretasi belajar adalah hasil yang telah dicapai dari perbuatan belajar yang mengandung kognitif, efekti, dan psikomotor. Dalam skripsi ini yang dimaksud adalah hasil belajar yang telah dicapai oleh para siswa yang sudah berupa nilai angka.
c. Bidang studi bahasa Arab
Yaitu salah satu bidang studi yang di ajarkan di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro dan pada kurikulum termasuk program inti.
d. Siswa dari MTs dengan SMP
Yaitu siswa yang diterima atau masuk di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro ini dari lulusan MTs dan SMP dengan masa belajar selama 3 tahun disekolah masing – masing.
e. Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro
Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro adalah lembaga pendidikan menengah umum bercirikhas Islam. Sebagai alih fungsi dari Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Bojonegoro, dengan SK Menteri Agama Republik Indonesia Nomor; 42 Tahun 1992.
Sedangkan Kurikulum yang dikembangkan adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), muatan lokal, dan pengembangan diri secara integratife antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama.
Selain mengembangkan potensi akademik berdasarkan kompetensi dasar dan standar kompetensi kelulusan sebagai jembatan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi, juga dikembangkan program ketrampilan antara lain otomotif, elektro, dan tata busana sebagai ketrampilan bagi para siswa terutama yang ingin menekuni dunia kerja.
2. Pembatasan Masalah
Yang dimaksud dengan prestasi balajar bidang Studi bahasa Arab adalah nilai yang diperoleh dari hasil uijian, yakni gabungan dari nilai sub sumatif dan nilai sumatif saja. Sedangkan nilai – nilai yang lain tidak menjadi pembahasan.
Adapun yang penulis teliti adalah siswa – siswi kelas X Periode 2007/2008 yang merupakan kelas awal di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro, dengan latar belakang sekolah asal siswa yang berbeda, yakni dari MTs dengan SMP. Hal ini penulis maksudkan agar mudah dalam menentukan sampel.
C. Alasan Memilih Judul
Ada beberapa alsan yang mendorong penulis untuk memilih judul diatas, antara lain:
1. Bahasa Arab merupakan bahasa pengantar di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro yang sekaligus menjadi mata pelajaran.
2. Adanya perbedaan tentang kurikulum pelajaran di sekolah asal, yakni perbedaan alokasi waktu mata pelajaran dan kurikulum yang tidak sama antara siswa dari MTs dengan siswa dari SMP
3. Dengan kenyataan yang ada tentang latar belakang pendidikan disekolah asal yang berbeda, sehingga siswa – siswi kelas X di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro mempunyai bekal pengetahuan yang berbeda, terkhusus pada mata pelajaran bahasa Arab. Dengan adanya perbedaan tersebut, penulis terdorong untuk menelitinya berkaitan dengan prestasinya dalam bidang mata pelajaran bahasa Arab.
4. Sepengetahuan penulis masalah tersebut belum ada yang meneliti.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah prestasi belajar mata pelajaran bahasa Arab siswa – siswi dari MTs di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro?
2. Bagaimana pula prestasi belajar mata pelajaran bahasa Arab siswa – siswi dari SMP di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro?
3. Apakah ada perbedaan prestasi belajar mata pelajaran bahasa Arab antara siswa dari MTs dengan siswa dari SMP di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro?
4. Jika ada atau tidak ada perbedaan, faktor – faktor apa sajakah yang mempengaruhi?
E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui prestasi belajar mata pelajaran bahasa Arab siswa – siswi dari MTs di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro.
b. Untuk mengetahui prestasi belajar mata pelajaran bahasa Arab siswa – siswi dari SMP di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro.
c. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan prestasi belajar mata pelajaran bahasa Arab antara siswa dari MTs dengan siswa dari SMP di MAN 2 Bojonegoro
d. Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi jika ada atau tidak adanya perbedaan.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis
1). Menambah khazanah keilmuan khususnya tentang prestasi belajar dan faktor – faktor yang mempengaruhi.
2). Sebagai langkah terapan dari sebagian ilmu yang penulis peroleh dari bangku kuliah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
b. Secara praktis
1). Menambah bahan masukan bagi MAN 2 Bojonegoro dalam meningkatkan mutu dan kualitas proses belajar mengajar.
2). Bagi penulis berguna untuk memenuhi salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan studi dan meraih gelar sarjana dalam bidang Pendidikan Agama Islam di Fakultas Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Giri Bojonegoro.
F. Hipotesis
“Hipotesa adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul”.6
Dari pengertian diatas tersebut maka hipotesa merupakan dugaan sementara yang bisa jadi benar dan bisa juga salah. Jika hipotesa terbukti benar maka akan diterima, begitu pula sebaliknya jika hipotesa salah maka akan ditolak. Dengan begitu penerimaan dan penolakan hipotesa tergantung pada hasil penyelidikan terhadap fakta – fakta yang dikumpulkan. Adapun penulis ajukan dalam penelitian ini ada dua, yaitu:
1. Hipotesa alternatif (Ha)
Ada perbedaan yang signifikan prestasi belajar mata pelajaran bahasa Arab antara siswa dari MTs dengan siswa dari SMP di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro.
2. Hipotesa nol (Ho)
Tidak ada perbedaan yang signifikan prestasi belajar mata pelajaran bahasa Arab antara siswa dari MTs dengan siswa dari SMP di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bojonegoro.
G. Metodologi Penelitian
1. Pola Penelitian
Dalam Penyusunan skripsi ini penulis menggunakan pola penelitian yang bersifat komparatif yaitu berusaha mencari pemecahan melalui analisa tentang perhubungan – perhubungan sebab akibat, yakni melalui faktor – faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan satu faktor dengan yang lain”.7 Akan tetapi “studi komparatif ini mempunyai pula kelemahan-kelemahan tertentu, di antaranya yang utama ialah tidak mudahnya tidak mudahnya untuk senantiasa mengenal faktor-faktor penyebab.”8
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui hal – hal yang berhubungnan dengan prestasi belajar siswa dalam bidang mata pelajaran bahasa Arab, baik dari siswa MTs maupun dari siswa SMP. Selanjutnya peneliti membandingkan kedua nilai dari antara siswa dari MTs dengan siswa SMP, untuk mengetahui ada ataukah tidak ada perbedaan antara keduanya.
2. Populasi, Sampling dan Sampel Penelitian
a. Populasi
“Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian”.9 Adapun yang menjadi subyek populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa siswi kelas X MAN 2 Bojonegoro periode 2007/2008. Mengingat kelas ini adalah kelas awal bagi siswa baik dari MTs maupun SMP, yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur (barometer) kemampuan setiap siswa dalam mencapai prestasi belajar, sehingga dapat dijadikan penyemangat (motivator) untuk lebih giat belajar, berlomba – lomba meningkatkan prestasi belajar ditahun berikutnya, terkhusus pada mata pelajaran bahasa Arab. Dan dari data penelitian yang diperoleh, populasi berjumlah 368 siswa, dengan rincian dari MTs sebanyak 136 siswa dan dari SMP sebanyak 232 siswa. (sumber: hasil observasi dan dokumentasi)
b. Sampling
Sampling adalah tehnik atau metode pengambilan sampel dari populasi. Menurrut Marzuki dalam bukunya Methododologi Riset, dijelaskan sebagai berikut:
Sampling hanya mencatat atau menyelidiki sebagian obyek, gejala atau peristiwperistiwa; tidak seluruhnya. Sebagian individu yang zdiselidiki itu disebut sampel dan methodenya disebut Samplinhg; sedang hasil yang diperoleh adalah nilai – nilaikarakteristik karekteristik perkiraan (estimate value) yaitu tak bermaksud mereduksi obyek penelitiasnnya tetapi ingin mengadakan generalisasi terhadap hasil – hasilnya.10

Adapun tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah:
1) Purposive Sampling
Dalam Purposive sampling pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri – ciri atau sifat – sifat tertentu yang dipandang mempunayi sangkut paut yang erat dengan ciri – ciri atau sifat – sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.11

Mengingat sifat penelitian ini ingin mengetahui perbandingan prestasi belajar dari dua jalur, yaitu dari MTs dan SMP, maka tehnik sampling yang digunakan adlaah purposive samp[ling dengan menetapkan bahwa sampel yang diambil terletak pada kelas X periode 2007/2008 . Karena mengingat kelas X adalah kelas dimana kedua jalur yang berbeda tersebut memulai ialah kelas awal, sehingga prestasi belajar dikelas ini dapat dilihat sebagai ukuran prestasi belajar dari kedua jalur tersebut sehingga siswa – siswi dapat meningkatkan semangat belajar demi meraih prestasi yang lebih tinggi terkhusus pada Mapel bahasa Arab di MAN 2 Bojonegoro.
2) Propotional Stratified Random Sampling
“Yaitu pengambilan sampel dengan memperhatikan stratum – stratum dalam populasi, memperhatikan pertimbangan atau proporsi individu dalam tiap – tiap stratum, dan menggunakan randomisasi”.12
Dari data yang diperoleh, jumlah siswa kelas X tahun ajaran 2007/2008 adalah 368 siswa, yang terbagi dalam 8 kelas yang berstrata: A, B, C, D, E, F, G, H Kelas A adalah kelas strata tertinggi pretasi belajarnya dimasing – masing sekolah asal sedangkan kelas H adalah sebaliknya. Jumlah siswa tersebut relatif banyak jika melihat kemampuan peneliti yang terbatas, sehingga perlu diambil sampel. Dengan tehnik ini, setiap kelas yang rata- rata beranggotakan 46 siswa diambil 50% -nya yang mengandung unsur siswa dari MTs dan SMP secara seimbang (proporsional), dengan menggunakan random undian.
c. Sampel Penelitian
“Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti”.13 Pengambilan sampel ini sangat diperlukan dalam suatu penelitian, mengingat terbatasnya tenaga, biaya, waktu, dan kemampuan peneliti.
Dalam penentuan sampel ini, oleh Suharsimi Arikunto dijelaskan sebagai berikut:
Untuk sekedar ancer – ancer, maka apabila subyeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya lebih dari 100, maka dapat diambil antara 10 – 15 % atau 20 – 25 % atau lebih.14

Berpijak dari uraian diatas, maka dalam skripsi ini peneliti hanya mengambil 11% dari seluruh jumlah populasi, sehingga sampel yang diambil sebanyak 40,48 siswa, dan jumlah tersebut di bulatkan menjadi 40 siswa yang berlatar belakang dari MTs dan SMP. Sedangkan untuk pengambilan sampel secara proporsional maka peniliti mengambil 50% dari jumlah sampel yang ada, sehingga jumlah sampel siswa dari MTs sebanyak 20 siswa dan 20 siswa berasal dari SMP.
3. Sumber Data, Variabel Penelitian dan Pengukurannya
a. Sumber Data
“Sumber data adalah subyek darimana data diperoleh”.15 Dalam penelitian ini terdapat dua macam sumber data sebagai berikut:
1). Sumber data primer (pokok)
Siswa siswi MAN 2 Bojonegoro sebagai responden dalam penelitian ini, yakni siswa siswi kelas X periode 2007/2008
2). Sumber data sekunder (penunjang)
a). Kepala dan Dewan guru MAN 2 Bojonegoro
b). Berbagai catatan atau dokumen yang ada di kantor MAN 2 Bojonegoro
c). Leger nilai yang telah didokumentasikan
d). Buku – buku perpustakaan/ literatur yang berhubungan dengan skripsi ini.
b. Variabel Penelitian
“Variabel penelitian adalah obyek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian”.16 Dalam hal ini Dr. Kartini Kartono berpendapat bahwa, yang dimaksud dengna variabel penelitian adalah suatu kuantitas (jumlah) atau sifat kerakteristik yang mempunyai nilai numerik atau katagori.17
Adapun yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini adalah, kemempuan prestasi belajar mapel bahasa Arab siswa – siswi kelas X yang berasal dari siwa MTs dan SMP. Jadi dalam penelitian ini terdapat satu variabel, yakni “nilai prestasi belajar bahasa Arab” yang berasal dari siwa MTs dan SMP.
c. Pengukuran Variabel
“Pengukuran tidak lain dari penunjukan angka –angka pada suatu variabel “.18 Yang dimaksud adalah penetapan/pemberian angka atau status terhadap obyek penelitian atau fenomena menurut aturan – aturan tertentu.
Adapun pengukuran variabel dalam penelitian ini adalah menggunakan dokumen nilai leger dari sampel penelitian dengan nilai kontinum.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam usaha memperoleh data – data yang penulis perlukan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan beberapa metode, antara lain:
a. Metode Observasi
Yaitu pengamatan dan pencatatan dengan sistimatis terhadap fenomena –fenomena yang di selidiki.19 Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang deskripsi obyek penelitian yang ada hubungannya dengan situasi sekolah, situasi dan kondisi belajar mengajar, serta sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan belajar mengajar di MAN 2 Bojonegoro. Instrumennya adalah pedoman observasi.
b. Metode Interview
Yang dimaksud dengan metode interview yaitu suatu metode dimana interview menghendaki komunikasi langsung antara penyelidik dengan subyek.22 Data yang diperlukan dengan metode ini adalah data – data ynag berhubungan dengan sejarah berdirinya sekolah, letak geografis dan hal – hal yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini. Instrumen yang digunakan pedoman interview.
c. Metode Dokumentasi
Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau varieable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya.21
Dengan metode ini peneliti mengumpulkan data dengan merekam data – data yang ada dalam arsip/ dokumen di kantor MAN 2 Bojonegoro tentang hal – hal yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. Isntrumennya adalah pedoman dokumentasi.
d. Metode Angket Atau Kuesioner
Yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang di gunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal – hal yang ia ketahui.20 ¬Angket yang di gunakan adalah bentuk pilihan ganda atau bentuk tertutup metode ini di gunakan untuk memperoleh data tentang faktor – faktor yang mempengaruhi prestasi siswa dalam bidang studi bahasa arab. Instrumennya adalah daftar angket, telampir.
e. Metode library Reserch
Metode ini biasa disebut dengan riset perpustakaan, yaitu pengumpuln data dengan menelaah buku – buku yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sebagai sumber informasi, dengan cara mengambil berbagai pendapat para ahli yang berkaitan dengan pembahsan skripsi ini.
5. Metode analisa data
Metode analisa data dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
a). Data Kualitatif dianalisa dengan metode sebagai berikut:
1). Metode induksi
Berpikir induktif adalah berangkat dari fakta – fakta yang khusus, peristiwa – peristiwa yang konkrit, kemudian dari fakta – fakta atau peristiwa – peristiwa yang khusus itu ditarik generalisasi – generalisasi yang mempunyai sifat umum.23

Dengan metode ini akan dibahas dari hal – hal yang bersifat khusus, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.
2). Metode Deduksi
Metode Deduksi adalah Proses berfikir yang berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum, kemudian dari pengetahuan yang bersifat umum itu kita hendak meneliti suatu kejadian khusus.
Pengertian diatas berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Sutrisno Hadi, bahwa yang dimaksud dengan berifkir deduktif pada prinsipnya adalah: “Apa saja yang dipandang benar pada semua peristiwa dalam suatu kelas atau jenis berlaku juga sebagai hal yang benar pada semua peristiwa yang termasuk dalam kelas atau jenis itu.”24
Dengan metode ini, maka akan melahirkan penjabaran masalah yang besifat umum dan global, kemudian dikhususkan menjadi penjelasan yang terperinci.
3). Metode Komparasi
Yang dimaksud dengan metode komparasi adalah:

Berusaha mencari pemecahan melalui analisa tentang perhubungan – perhubungan sebab akibat, yakni meneliti faktor – faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena – fenomena yang diselidiki dan membandingkan satu faktor dengan faktor yang lain.25

Metode ini digunakan untuk membandingkan pendapat yang satu dengan pendapat yang lain, kemudian diambil persamaannya atau memilih salah satu pendapat yang dianggap sesuai dengan pembahsan pada skripsi ini.
b). Data kuantitatif dianalisa dengan tehnik analisa Statistik.
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, langkah selanjutnya adalah menganalisa data tersebut. Analisa dapat dilakukan dengan analisa statistik yaitu menganalisa menggunakan rumus-rumus tertentu, dan dapat pula dengan analisa filosofis atau non statistik
Teknik analisis data statistik digunakan untuk menganalisis data kuantitatif. Dalam teknik analisis ini mengunakan rumus analisis product moment sebagai berikut :


∑xy – ( ∑x ) ( ∑y )
N
rxy =
{ ( x 2 – ( ∑x )²} { y 2- ( ∑y )²}
N N
Keterangan :
rxy = koefisien korelasi variabel X dan Y
N = Jumlah sample atau responden yang diteliti
∑xy = Jumlah dari hasil perkalian variable X dan Y
∑x = Jumlah seluruh skor X
∑y = Jumlah seluruh skor Y

H. Sistematika Pembahasan
Susunan skripsi ini di bagi menjadi 4 bab yang sistematikanya sebagai beruikut:
Bab I : Adalah pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang
masalah, rumusan maslah, penegasan judul, tujuan dan kegunaan penelitian, hipotesis, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II : Berisi landasan teori yang membahas tentnag bahasa Arab yang
meliputi; Pengertian bahasa Arab, tujuan mempelajarinya, cabang – cabangnya, teori pengajaran bahasa Arab, dan metodenya, serta hambatan pengajaran bahasa arab. Dilanjutkan dengan tinjauan tentang prestasi belajar yang meliputi; pengertian prestasi belajar, faktor – faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, cara – cara meningkatkan prestasi belajar yang baik, dan juga membahas hubungan transfer belajar siswa dari MTs dan SMP dalam prestasi belajar bahasa Arab.
Bab III : Berisi laporan hasil penelitian yang berupa gambaran umum
obyek penelitian yang meliputi; Sejarah singkat berdirinya MAN 2 Bojonegoro, letak geografis, dasar dan tujuan pendidikan, dan kurikulum yang dipakai di MAN 2 Bojonegoro. Dalam bab ini juga dibahas tentang penyajian data dan analisa data tentang nilai prestasi belajar Mapel bahasa Arab siswa dari MTs dan SMP, serta faktor – faktor yang mempengaruhi ada tidaknya perbedaan prestasi belajar antara kedua jalur tersebut.
Bab IV : Merupakan bab terakhir dari skripsi ini yang berisi kesimpulan,
saran – saran dan penutup.










I. Tahapan Penelitian
A. Tahapan Persiapan : Mulai ....S.d.......
B. Tahapan Pengumpulan Data : Mulai ....S.d.......
C. Tahapan Pengelolahan dan Analisa Data : Mulai ....S.d.......
D. Tahapan Pembuatan Laporan : Mulai ....S.d.......
Bojonegoro, 29 Januari 2008
Di setujui oleh
Balai Penelitian STAI Sunan Giri Peneliti
Bojonegoro


(Dra. Sri Minarti M.Pd.I) ( F a h r u R o z i )


DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al qur’an, Jakarta, 1990.
Arikunto. Suharsimi DR, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta, Cet. VII, 1992.
Poerwadarminta W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976.
Winkel, W.S. Psikologi Pengajaran, Grasindo, Jakarta, Cet. III, 1991.
Surakhmad Winarno, Prof. Dr. M. Sc. Ed., Pengantar Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung, 1990.
Marzuki, Methodologi Riset, BPFE-UII, Yogyakarta, 1989.
Hadi Sutrisno Prof. Drs., M.A., Metodologi Reserch Jld. 1, Andi Offset, Yogyakarta, 1994.
Kartono Kartini, Dr. Penghantar Methodologi Riset, Alumni Bandung, 1989.
Efendi Sofian, Metode Penelitian Survai, LP 3 ES Jakarta, Cet. I, 1982.
Hadi Sutrisno Prof. Drs., M.A., Metodologi Reserch, Jld.II, Andi Offset, Yogyakarta, 1989
Surakhmad Winarno, Prof. DR. MSc.Ed.,
Sudijono Anas, Drs. Pengantar Statistik Pendidikan, Rajawali Pers, Jakarta, 1992.


RENCANA DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN MOTTO
HALAMAN HALAMAN PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
E. Latar Belakang Masalah
F. Penegasan Judul dan Pembatasan Masalah
G. Alasan Memilih Judul
H. Rumusan Masalah
I. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
J. Hipotesis
K. Sistematika Pembahasan
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Tentang Prestasi Belajar Bahasa Arab
1. Pengertian Tentang Bahasa Arab
2. Bentuk – bentuk Prestasi Belajar Bahasa Arab
3. Prosedur Evaluasi Prestasi Belajar Bahasa Arab
B. Tinjauan Tentang Prestasi Belajar Bahasa Aeab dari MTs dan Dari SMP
1. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Bahasa Arab MTs dan SMP
2. Cara – cara Meningkatkan Prestasi Belajar Bahasa Arab MTs dan SMP
C. Hubungan Transfer Belajar Siswa dari MTs dan Siswa dari SMP dengan Prestasi Belajar Mapel Bahasa Arab
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel
B. Jenis dan Sumber data
C. Metode pengumpulan data
D. Teknik analisa data
BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian
1. Sejarah berdirinya MAN 2 Bojonegoro
2. Letak Geografis
3. Dasar dan Tujuan Pendidikan di MAN 2 Bojonegoro
4. Kurikulum yang dipakai di MAN 2 Bojonegoro
B. Penyajian Data dan Analisa Data
1. Penyajian Data
2. Analisa Data

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran – saran
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN