PENELITIAN TAFSIR
A. PENGERTIAN TAFSIR
Tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian . Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan) kata taf’il, diambil dari kata al-tafsir yang berarti al-bayan (penjelassan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap;dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah yang di gunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Selahjutnya, pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar al-Quran tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al-Jurjani, misalnya, mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya, baik konteks historinya maupun sebab Al-Nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjukan kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Sementara itu imam Al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir ialah ilmu yang membahas kandungan al Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya, Abu Hayan, sebagaimana dikutip Al-Suyuti, mengatakan bahwa tafsir ialah ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal Al Qur’an disertai makna serta hokum-hukum yang terkandung didalamnya. al-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir atau ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw; dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta, hikmah yang terkandung didalamnya.
Dari beberapa definisi diatas kita menemukan tiga ciri utama tafsir, pertama,dilihat dari segi obyek pembahasanya adalah kitabullah (Al-Quran) yang didalamnya terkaundung firman Allah Swt. Yang di turunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad Saw. Melalui malaikat jibril. Kedua, dilihat dari segi tujuanya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkapkan dengan Alquran sehingga dapat di jumpai, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung didalamnya. Ketiga, dilihat dari segi lafad dan kedudukanya adalah hasil penanganan, kajian, dan ijtihat para mufasir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya,sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
Dengan demikian, secara singkat dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam penyelidikan secara seksama terdapat penafsiran Al Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terakit denganya.
Objek pembahasan tafsir, yaitu al-Quran merupakan sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan umat ini. berdasarkan kedudukan dan peran al-Quran tersebut, Quraish Shihab mengatakan jika demikian halnya, pemahaman terhadap ayat –ayat al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan sangat besar bagi maju mundurnya umat, sekaligus dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
B. LATAR BELAKANG PENELITIAN TAFSIR
Dilihat dari segi usianya, penafsiran al-Quran termasuk yang paling tua dibandingkan dengan kegiatan ilmiah lainya dalam Islam pada saat al-Quran ditirunkan lima belas abad yang lalu, Rasulullah Saw. yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) telah menjelaskan arti dan kandungan al-Quran kepada sahabat-sahabatnya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau sama artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya rasulullah, walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui, sebagai akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang rasul Saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandunga al-Quran.
Kalau pada masa rasul saw, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya mereka terpaksa melakukan ijtihat, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali ibn Abi Thalib, Ibn ‘Abas, Ubay bin Ka’ab dan Ibn Mas’ud.
Sementara itu ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Quran kepada tokoh-tokoh Ablul-kitab (kaum yahudi dan nasrani) yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Akhbar. Inilah yang selanjutnya merupakan benih lahirnya Israiliat.
Disamping itu, para tokah tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan diatas mempunyai murid-murid dari para tabi’in khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal, sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota tersebut, saparti (a) Sa’id bin Jubair, Mujahit bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibn ‘Abbas; (b) Muhammad bin ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah yang ketika itu barguru kepada Ubay bin Ka’ab, dan (c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya’bi, di Irak yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Gabungan dari ketiga sumber diatas, yaitu penafsiran rasulullah saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in dikelompokkan menjadi satu kelompok yang selanjutnya dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dua sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini bahasa hadis – hadis telah beredar sedemikian pesatnya dan bermunculanlah hadist-hadist palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. sementara itu, perubahan-perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad Saw, para sahabat dan tabi’in.
Pada mulanya, usaha penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang terkandung oleh satu kosa kata. Namun, sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihat dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran, sehingga bermuncullah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keaneka ragaman tersebut ditunjang pula oleh al-Quran, yang keadaanya seperti di katakan oleh ’Abdullah Darras dalam Al-Naba’ al-Azhim: ” Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.”
Berdasarkan pada adanya upaya penafsiran al-Quran dari sejak zaman Rasulullah Saw. hingga dewasa ini, serta adanya sifat dari kandungan al-Quran yang terus-menerus memancarkan cahaya kebenaran itulah yang mendorong timbulnya dua kegiatan, pertama, kegiatan penelitian di sekitar produk-produk penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu. dan kedua, kegiatan penafsiran al-Quran itu sendiri.
C. MODEL-MODEL PENELITIAN TAFSIR
Dalam kajian kepustakaan dapat dijumpai berbagai hasil penelitaan para pakar al-Quran terdapat produk tafsir yang dilakukan generasi terdahulu. Masing-masing peneliti telah mengembangkan model-model penelitian tafsir tersebut lengkap dengan hasil-hasilnya. Berikut ini akan kita kemukakan beberapa model penafsiran al-Quran yang dilakukan para ulama tafsir, sebagai berikut:
1. Corak Quraish Shihab
H.M. Quraish Shihab (lahir th.1944)-pakar di bidang Tafsir dan Hadis se-Asia Tenggara-, telah banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya ulama terdahulu di bidang tafsir. Ia, misalnya, telah meneliti tafsir karangan Muhammad Abduh dan H. Rasyid Ridla, dengan judul Studi kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1944. Model penelitian tafsir yang di kembangkan oleh H.M. Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analisis, dan perbandingan. Yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lainya. Data-data yang dihasilkan dari berbagai literatur tersebut kemudian dideskripsikan secara lengkap dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kategorisasi dan perbandingan.
Hasil penelitian H.M Quraish Shihab terhadap Tafsir al-Manar Muhammad Abduh, misalnya menyatakan bahwa Syaih Muhammad Abduh (1849-1909) adalah seorang ahli tafsir yang banyak mengandalkan akal, menganut prinsip tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tadak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci dalam alquran. Ketika menafsirkan firman Allah dalam al-Quran surat 101 ayat 6-7 tentang ”timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian”, Abduh menulis ”Cara Tuhan dalam menimbang perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu,tiada kecuali atas dasar apa yang diketahuioleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui, maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya hanya kepada Allah Swt. Atas dasar keimanan. Bahkan,’Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya sebagaimana sikap yang ditempuh sahabat ’Umar bin Khathab ketika membaca abba dalam surat Abasa (QS 80: 32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-nya.
Selanjutnya, dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir. Antara lain tentang: (1) periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir, (2) corak-corak penafsiran, (3) macam-macam matode penafsiran al-Quran. Berbagai aspek yang berkaitan dengan penafsiran al-Quran ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut;
a. Periodisasi Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir
Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi penulisanya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat dibagi ke dalam tiga periode.
Periode 1, yaitu masa Rasulullah, sahabat dan permulaan tabi’in, di mana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan.
Periode 2, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan ’Umar bin Abdul ’Aziz (99-101 H.) di mana tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi al-ma’tsur.
Periode 3, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli menduga dimulai oleh Al-Farra (w.207 H.) dengan kitabnya berjudul ma’ani al-Quran.
Periodesasi tersebut masih dapat ditambahkan lagi dengan periode keempat, yaitu periode munculnya para peneliti tafsir yang membukukan hasil penelitianya itu, sehingga dapat membantu masyarakat mengenal karya-karya tafsir yang ditulis oleh ulama pada periode sebelumnya dengan mudah.
b. Corak penafsiran
Berdasarkan hasil penelitianya. Quraish shihab mengatakan bahwa corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: (a) corak bahasa sastra yang timbul akibat kelemahan-kelemahan orang arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang kaistimewaan dan kedalaman arti kandungan alquran di bidang ini. (b) Corak Filsafat dan Teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka. (c) corak Penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat Alquran sejalan dengan perkembangan ilmu. (d) Corak Fiqih atau Hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
c. Macam – macam Metode Penafsiran AlQur’an
1) Corak Ma’tsur (Riwayat)
Ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shaheh menurut urutan yang telah disebutkan dimuka dalam syarat-syarat mufassir. Yaitu menafsirkan Qur’an dengan Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan shahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat.
Kalau kita mengamati metode penafsiaran sahabat-sahabat Nabi Saw, ditemukan bahwa pada dasarnya_setelah gagal menemukan penjelasan Nabi Saw, mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini, misalnya Umar ibn Al-Khattab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah QS. An Nahl; 47: yang artinya:
”Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa) . Maka Sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan artinya adalah ”pengurangan”. Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-islam. Umar kekita itu dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami al-Quran.
Setelah masa sahabat pun, para tabi’in dan atba al-tabi’in, masih mengandalkan metode metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya. Kalaulah kita berpendapat bahwa al-farra’(w.207) merupakan orang pertama yang mendektekan tafsirnya ma’aniy Qur’an, dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w.310 H) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.
Metode Ma’tsur (riwayat) tersebut memiliki keistemewaan antarar lain
(a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran
(b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika meyampaikan pesan-pesannya
(c) Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektifitas berlebiahan.
Sedangakan kelemahan antara lain;
(a) Terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian kebahasaan dan kesuasateraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Quran menjadi kabur dicelah uraian tersebut.
(b) Seringkali konteks turunnya ayat (Uraian asbabul-nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
2) Metode penalaran;pendekatan dan corak-coraknya
Banyak cara, pendekatna dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasannya apabila kita bermaksud menelusurinya satu per satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efesien, bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir yang bercorak penalaran ini kepada empat macam metode, yaitu tablily, ijmaly muqorin dan maudlu’iy. Keempat macam metode penafsiran yang bertitik tolak pada penalaran ini dapat dikemukakan sebagai berikut;
a) Metode Tablily
Metode tablily atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode Tajzi’iy adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Quran debagaimana tercantum di dalam mushhaf. Dalam hubungan ini mufassir mulai dari ayat-ke ayat berikutnya, atau dari surat ke surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai dengan yang termaktub di dalam mushhaf. Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufassir tajzi’iy/tahlily diuraikan. Yaitu bermula dari kosakata, Asbab al-Nuzul, Munasabat, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.
Setelah semua langkah yang tersebut di atas sudah ditempuh, mufassir tahlily lalu menjelaskan seluruh aspek dari semua penafsiran mengenai isi dan maksud ayat al-Quran tersebut.
Kelebihan metode ini antara lain adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Penafsirannya menyangkut segala aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir dalam setiap ayat. Analisis ayat dilakukan secara mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan dan kecenderungan mufassir. Metode ini, walaupun dinilai luas, namun tidak menyelesaikan pokik bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain.
Cara penafsiran ayat-ayat dalam Tafsir al-Kasysyaf karangan Al-Zamkhsyari dan Tafsir al-kabir karangan Al-Razi, biasanya dijadikan sebagai contoh untuk memahami tafsir dengan cara tahlily. Berikut ini, antara lain contoh tersebut dalam ayat 164 surat Al-Nisa yang artinya:
” Dan (Kami Telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh Telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung”.
Dapat kita lihat tafsirnya dalam kedua kitab tafsir di atas. Al-zamakhsyari, dengan melakuan penafsiran kosakata, mengartikan lafal kallama dengan al-jarh.Dengan demikian, ayat tersebut diberi arti dan ”Allah telah melukai Musa dengan kuku ujian dan cobaan-cobaan hidup”. Untuk ayat dan lafal yang sama, Al-Razi tetap memakai arti umum, yaitu berbicara. Sehingga penafsiran yang selama ini dikenal, yaitu bahwa Allah berbicara kepada Musa As.
b) Metode Ijmali
Metode Ijmali atau disebut juga dengan metode global adalah cara menafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Dalam praktiknya metode ini sering terintegrasi dengan metode tahlily karena itu seringkali metode ini tidak dibahas secara tersendiri. Dengan metode ini seorang mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat tersebut secara garis besar saja.
c) Metode Muqarrin
Metode muqarin adalah suatu metode tafsir al Qur’an yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat al Qur’an yang satu dengan yang lain nya, yaitu ayat-ayat yang mmpunyai kemiripan redaksi dlm dua atau lebih kusus yang berbeda, dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, dan atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis-hadis nabi Muhammad SAW., yang tampak bertentangan, serta mbandingkan pendapat-pendapat ulama’ tafsir menyangkut penafsiran al-Qur’an.
Sejalan dengan karangka tersebut diatas, maka prosedur penafsiran dengan cara muqarrin tersebut dilakukan sebagai berikut.
1) Menginfentarisasi ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemripan redaksi;
2) Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut;
3) Mengadakan penafsiran. Contoh:
”Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Anfal; 10)
”Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Ali Imran; 126)
Dua ayat tersebut redaksinya kelihatan mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum Muslimin ketika melawan musuh-musuhnya, namun berbeda pada hal-hal sebagai berikut. Surat Al Anfal (1) mendahulukan kata dari pada (2) memakai kata (3) berbicara mengenai perang Badar. Surat Ali Imran: (1) memakai kata (2) berbicara tentang perang Uhud.
Keterdahuluan kata dan penambahan kata dalam ayat pertama diduga keras sebagai tauhid terhadap kandungan utama ayat, yakni bantuan Allah pada perang Badar, mengingat perang itu yang pertama, dan jumlah kaum Muslimin sedikit.
Dalam perang Uhud, tauhid itu tidak diperkukan, sebab pengalaman perang sudah ada, dan umat Islam sudah banyak, dan pemakaian kata disini menandakan kegembiraan itu hanya untuk sahabat, bukan kegembiraaan abadi seperti kasus ayat pertama.
d) Metode Maudlu’iy,
Salah satu pesan dari Ali bin Abi Thalib adalah: ”Ajaklah al Quran berbicara atau biarkan ia menguraikan maksudnya”. Pesan ini antara lain pengharusan penafsiran merujuk kepada al Qur’an dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode maudlu’iy dimana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang di tetapkan sebelumnya. Kemudian penafsiran membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebutsehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Adanya metode penafsiran dengan cara tematik tersebut, menurut Quraish Shihab berasal dari Mahmud Syaltout. Dalam hubungan ini Quraish Shihab mengatakan, bahwa pada bulan juli 1960, Syaikh Mahmud Syaltout menyusun kitap tafsir berjudul Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syatibi (w.1388 M.) yaitu bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut. Berdasarkan ide Al-Syatibi tersebut, syaltout tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat, atau bagian- bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.
Namun menurut Quraish Shihab, apa yang di tempuh oleh Syaltout belum menjadikan pembahaan tentang petunjuk Al Qur’an di paparkan dalam bnentuk menyeluruh, karna seperti di kemukakan di atas, bahwa satu masalah dapat di temukan dalam berbagai surat.atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan mewnyeluruh. Ide ini di mesir dikembangkan lebih lanjut oleh Prof. Dr. Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan.Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode Maudlu’iy, gaya Mahmud Syaltout diatas.
Berdasarkan data tersebut, Quraish Shihab sampai pada kesimpulan bahwa metode maudlu’iy mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuanya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al Qur’an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunya,kemudian menjelaskan pengrtian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al Qur’an secara utuh tentang masalah yang di bahas itu.
Berbagai metode penafsiran al Qur’an tersebut bagi Quraish shihab bukan hanya sekedar teori atau pengetahuan belaka sebagaimana pada umumnya yang di miliki para pakar, tetapi telah di praktekannya dalam kegiatan menafsirkan al Qur’an. Ia misalnya menulis buku mahkota tuntunan ilahi (terbitan untagama tanpa tahun) yang isinya adalah tafsir surat al-Fatihah. Sementara bukunya yang lain seperti membumikan al Quran, yang di terbitkan mizan di tahun 90-an berisi pembahasan tentang berbagai masalah sosial kemasyarakatan dengan menggunakan metode tematik.
2. Model Ahmad Al-Syarbasi
Pada tahun 1985 Ahmad Al-Syarbasi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis sebagaimana halnya yang di lakukan Quraish Shihab, sedangkan sumber yang di gunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang di tulis para ulama tafsir, seperti Ibn Jarir al-Thabari, al-Zamakhsyari, Jalalludin al-Suyuthi, al-Raghib al-Ashfahani, al-Syatibi, Haji Khalifah. Hasil penelitiannya itu mencakup tiga bidang, pertama, mengenai sejarah penafsiran al Qur’an yang di bagi ke dalam tafsir pada masa sahabat nabi, kedua mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi, tafsir politik, ketiga, mengenai gerakan pembaruan di bidang tafsir.
Menurutnya, tafsir pada zaman rasulullah saw. Pada awal masa pertumbuhan Islam di susun pendek ringkas karena penguasaan bahasa arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat al Qur’an. Pada masa-masa sesudah itu penguasaan bahasa Arab yang murni tadi mengalami kerusakan akibat percampuran masyarakat Arab dengan bangsa-bangsa lain, yaitu ketika pemeluk Islam berkembang luas keberbagai negeri. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang-orang arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti ilmu nahwu (gramatika) dan balaghah (retorika). Di samping itu mereka juga mulai menulis tafsir al Qur’an untuk di jadikan pedoman bagi kaum muslimin. Dengan adanya tafsir itu umat Islam dapat memahami banyak hal yang samar dan sulit untuk di tangkap maksudnya.
Lebih lanjut al-Syarbasi mengatakan, tentu saja pertama-tama kita harus mengambil tafsir dari rasulullah saw. Maudhu’ Melalui riwayat-riwayat hadist yang tidak ada keraguan atas kebenarannya, ini sangat perlu ditkankan, karena banyak hadist (palsu-buatan). Setelah kita pegang tafsir yang berasal dari nabi, barulah kita cari tafsir-tafsir dari para sahabat beliau.
Tentang tafsir ilmiah, Ahmad al-Syarbasi mengatakan, sudah dapat kita pastikan bahwa dalam al Qur’an tidak terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam kenyataan ilmiah. Ini merupakan satu segi dari kedudukanya sebagai mukjizat. Munculnya istilah tafsir ilmiah yang dikemukakan oleh al-Syarbashi tersebut antara lain di dasarkan pada kitab tafsir al-Razi. Dalam kaitan ini ia mengatakan bahwa dalam kitab tafsir al-Razi banyak bagiannya yang dapat di anggap ilmiah, sama halnya dengan kitab tafsir Muhammad bin Ahmad al-Iskandari dengan judul panjang, yaitu Kasyful Asrar Al-Nuraniyah Al-Quranniyah Fi Ma Yata’allaqu Bi Arwah Al-Samawiyah Wa Al-Ardliyah. Demikian juga kitab-kitab tafsir yang lain seperti Muqaranatu Ba’dhi Mababith Al-Hai’ab Bi Al-Warid Fi Al-Nusbubusby Syar’iyyah, karya Abdullah Pasha Fikri: kitab tafsir al- Jawahir karya syaikh Tantawi Jauhari, dan kitab-kitab tafsir lainya yang cenderung menafsirkan al Qur’an secara ilmiah.
Selanjutnya, tentang tafsir sufi, al-Syarbashi mengatakan ada kaum sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf al Qur’an dan berusaha menerangkan hubungannya yang satu dengan yang lainya, adanya tafsir sufi tersebut, al-Syarbasi mendasarkan kepada kitab-kitab tafsir yang di karang para ulama sufi, untuk itu ia mengutip pendapat-pendapat al-Thusi yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah dapat di jangkau dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, segala sesuatu yang telah dapat di pahami dan segala sesuatu yang telah di ungkapkan serta di ketahui oleh manusia, semua itu berasal dari dua huruf yang terdapat pada permulaan kitabullah, yaitu bismillah dan al-hamdullilah karena keduannya bemakna billah (karena allah) dan lillah (bagi allah). Ilmu dan pengetahuan apa saja yang dimiliki manusia atau apa saja yang di miliki manusia atau apa saja yang telah dapat mengerti oleh menusia tindaklah ada dengan sendirinnya, melainkan adanya karena Allah dan bagi Allah.
Mengenai tafsir politik, al-Syarbashi mendasarkanya pada pendapat-pendapat kaum Khawarij dan lainnya yang terlibat dalam politik dalam memahami ayat-ayat al Qur’an. Menurut mereka terdapat ayat-ayat al Qur’an yang berkenaan dengan perilaku dan peran politik yang di mainkan oleh kelompok yang bertikai. Misal yang artinya: di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya demi keridlaan Allah.
••
”Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”
(Qs al-Baqarah, 207).
Menurut kaum khawarij, ayat tersebut di turunkan berkenaan dengan Ibn Muljam, orang yang membunuh Ali bin Abi Tholib. selanjutnya ,
•
”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS Al-Hujarat. 9).
Menurut kaum Khawarij ayat tersebut di turunkan Allah berkaitan dengan terjadinya peperangan antara golongan Ali bin Abi Tholib dan golongan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Selanjutnya, mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir, Ahmad al-Syarbashi mendasarkan pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad ke 20. ia menyebutkan Sayyid Rasid Ridha - murid Syeikh Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya kedalam masalah al-manar. Itu merupakan langkah pertama. langkah selanjutnya, ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang di beri nama Tafsir Al-Manar, yaitu kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut al Syarbashi, Muhammad Abduh telah berusaha menghubungkan ajaran – ajaran al Qur’an dengan kehidupan masyarakat disamping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi, dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.
Methode tafsir yang digunakan Muhammad Abduh dalam tafsrinya itu adalah menafsirkan alQur’an dengan alQur’an, hadist-hadits shahih serta tetap berpegang pada makna menurut pengrtian bahasa Arab. Hal ini dilakukan karena Syaikh Muhammad Abduh memandang bahwa teks induk al Qur’an sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi dan menyempurnakan.
3. Model Syaikh Muhammad al Ghazali
Syaikh muhammad al-Ghazali di kenal sebagai tokoh pemikir Islam abad modern yang produktif. Banyak hasil penelitian yang di lakukan, termasuk dalam bidang tafsir al Qur’an. Sebagaimana para peniliti tafsir lainya, Muhammad al-Ghazali menempuh cara penelitian tafsir lainya, Muhammad al-Ghazali menempuh cara penilitian tafsir yang bercorak eksploratif, deskriptif, dan analisis dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang di tulis ulama terdahulu.
Salah satu hasil penelitian yang di lakukan oleh Muhammad al-Ghazali adalah berjudul berdialog dengan al Qur’an, ayat-ayat kauniyah dalam al Qur’an, bagaimana memahami al Qur’an, peran ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dalam memahami al Qur’an.
Tentang macam-macam metode memahami al Qur’an, al-Ghazali membaginya kedalam metode klasik dan metode modern dalam memahami al Qur’an, menurutnya dalam berbagai kajian tafsir, kita banyak menemukan metode memahami al Qur’an berawal dari ulama generasi terdahulu. Mereka telaah berusaha memahami kandungan al Qur’an, sehingga lahirlah apa yang kita kenal dengan metode memahami al Qur’an. kajian ini berkisar pada usaha-usaha menemukan nilai-nilai sastra, fiqih, kalam, aspek sufistik filosofinya, pendidikan dan sebagainya dengan mengunakan metode yang telah ada, dapatkah kita menggunakannya pada zaman sekarang?
Demikian pertanyaan yang di ajukan Imam al-Ghazali setelah ia menemukan berbagai metode yang di gunakan para ulama terdahulu dalam memahami al Qur’an, Muhammad al-Ghozali, misalnya, menyebutkan metode kajian teologis, sufistik, dan filosofis yang di anggap cukup radikal dan menyentuh masalah-masalah hukum.
Berbagai macam metode atau kajian yang di kemukakan Muhammad al-Ghazali tersebut oleh ulama lainya di sebut sebagai pendekatan, dan bukan metode. Hal ini terjadi karena sebagai sebuah disiplin ilmu biasanya memiliki metode. Dalam hubungan ini Muhammad al Ghazali kelihatannya ingin mengatakan bahwa metode yang terdapat dalam berbagai disiplin ilmu tersebut ingin digunakan dalam memahami al Qur’an.
Selanjutnya, Muhammad alGhazali mengemukakan adanya metode modern dalam memahami al Qur’an. Metode Modern ini timbul sebagai akibat dari adanya kelemahan pada berbagai metode yang telah disebutkan diatas. Dalam hal ini, Muhammad al Ghazali menginformasikan adanya pendekatan atsariyah atau Tafsir bi al Ma’tsur. Menurutnya, kajian ini dapat kita lihat dalam kitab tafsir ibn katsir, kitab tafsir yang populer. Metode ini pernah digunakan oleh ibn Jarir al Thabary, tetapi menurut Muhammad al Ghazali metode ini perlu mendapat kritik karena ayat-ayat dalam kajian tersebut banyak dikaitkan dengan hadits-hadits Dha’if, sehingga apa yang diharapkan dari sebuah tafsir al Qur’an dengan pemikiran Qur’any, tampaknya belum begitu terlihat. Sayyid Kutub dalam sebuah karyanya, Fi Dzilal al Qur’an misalnya, dinilai oleh Muhammad al Ghazali, hanya mengutip nas-nas saja dari tafsir ibn Katsir, sedangkan hadits-haditsnya tidak diikuti secara lengkap, ia mengutip nas-nasnya saja. Hal ini dimaksudkan agar beliau dapat menemukan pikiran-pikiran yang baru yang orisinil.
Selanjutnya, Muhammad al Ghazali mengemukakan ada juga tafsir yang bercorak dialogis, seperti yang pernah dilakukan oleh al Razi dalam tafsirnya al Tafsir al Kabir. Menurutnya tafsir ini banyak menyajikan tema-tema menarik, namun sebagian dari tema tafsir tersebut sudah keluar dari batasan tafsir itu sendiri, yang menjadi acuan kebanyakan penafsir al Qur’an.
Berangkat dari adanya berbagai kelemahan yang terkandung dalam metode penafsiran masa lalu, terutama jika dikaitkan dengan keharusan memberikan jawaban terhadap berbagai masalah kontemporer dan modern, Muhammad al Ghazali sampai pada suatu saran antara lain: ”kita inginkan sa’at ini adalah karya-karya keIslaman yang menambah tajamnya pandangan Islam dan bertolak dari pandangan Islam yang benar dan berdiri diatas argumen yang memiliki hubungan dengan al Qur’an. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pikiran manusia adalah relatif dan spekulatif, bisa benar juga bisa salah. Keduanya memiliki bobot yang sama dalam sebuah kegiatan pemikiran. Selain, kita juga tidak menutup mata terhadap adanya manfa’at atau fungsi serta sumbangan pemikiran keagamaan lainnya, bila itu semua menggunakan metode yang tepat”. Itulah sebagian kesimpulan dan saran yang diajukan Muhammad al Ghazali dalam penelitiannya.
4. Model Penelitian lainnya.
Selanjutnya, dijumpai pula penelitian yang dilakukan para ulama terhadap aspek-aspek tertentu dari al Qur’an. Diantaranya ada yang memfokuskan penelitiannya terhadap kemu’jizatan al Qur’an, metode-metode, kaidah-kaidah dalam menafsirkan al Qur’an, kunci-kunci untuk memahami al Qur’an, serta ada pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah penafsiran al Qur’an yang khusus yang terjadi pada abad ke-empat.
Selanjutnya, Amin Abdullah dalam bukunya berjudul study Agama juga telah melakukan penelitian deskriptif secara sederhana terhadap perkembangan tafsir. Amin Abdullah mengatakan, jika dilihat secara garis besar perjalanan sejarah penulisan tafsir pada abad pertengahan, agaknya tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa dominasi penulisan tafsir al Qur’an secara leksiografis (lughawi) tampak lebih menonjol. Tafsir karya Shihab al Din al Khaffaji (1659) memusatkan perhatian pada analisis gramatika dan analisis sintaksis atas ayat-ayat al Qur’an. Juga karya al Baydhawi (1286), yang hingga sekarang masih digunakan dipesantren-pesantren, memusatkan perhatian pada penafsiran al Qur’an corak leksiografis seperti itu.
Tafsir modern karya ’Aisyah Abd Rahman bint al Syati’ al Tafsir al Bayan li alQur’an al Karim yang oleh silabus jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan KaliJaga halaman 151 disebut tafsir al’Asri, juga masih punya kesan kuat corak leksiografis.
Amin Abdullah lebih lanjut mengatakan, meskipun begitu, masih perlu digaris bawah karya Tafsir Mutakhir ini kaya dengan metode komperatif didalam memahami dan menafsirkan arti suatu kosakata al Qur’an. Binti al Syati’ selalu melihat ulang bagaimana penafsiran dan pemahaman para penafsir terdahulunya al Thabari, al Naisaburi, al Razi, al Suyuthi, al Zamakhsyari, Ibn Qayyim, M. Abduh dan lain-lainnya. Sebelum beliau mengemukakan pendapatnya sendiri diakhir suatu bahasan.
Tanpa harus mengecilkan jasa besar tafsir bercorak leksikografis, corak penafsiran seperti itu dapat membawa kita kepada pemahaman al Qur’an yang kurang utuh karena belum mencerminkan suatu kesatuan pemahaman yang utuh dan terpadu dari ajaran al Qur’an yang fundamental. Karya tafsir yang menonjolkan I’jaz umpamanya, akan membuat kita terpesona akan keindahan bahasa al Qur’an, tetapi belum dapat menguak nilai-nilai spiritual dan sosio moral al Qur’an untuk kehidupan sehari-hari manusia. Begitu juga penonjolan Asbab al Nuzul bila terlepas dari nilai-nilai fundamental universal yang ingin ditonjolkan-sudah barang tentu bermanfa’at untuk mempelajari latarbelakang sejarah turunnya ayat perayat, tetapi juga mengandung minus keterkaitan dan keterpaduan antara ajaran al Qur’an yang bersifat universal dan transendental bagi kehidupan manusia dimanapun mereka berada.
FAHRU ROZI
A. PENGERTIAN TAFSIR
Tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian . Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan) kata taf’il, diambil dari kata al-tafsir yang berarti al-bayan (penjelassan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap;dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah yang di gunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Selahjutnya, pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar al-Quran tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al-Jurjani, misalnya, mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya, baik konteks historinya maupun sebab Al-Nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjukan kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Sementara itu imam Al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir ialah ilmu yang membahas kandungan al Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya, Abu Hayan, sebagaimana dikutip Al-Suyuti, mengatakan bahwa tafsir ialah ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal Al Qur’an disertai makna serta hokum-hukum yang terkandung didalamnya. al-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir atau ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw; dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta, hikmah yang terkandung didalamnya.
Dari beberapa definisi diatas kita menemukan tiga ciri utama tafsir, pertama,dilihat dari segi obyek pembahasanya adalah kitabullah (Al-Quran) yang didalamnya terkaundung firman Allah Swt. Yang di turunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad Saw. Melalui malaikat jibril. Kedua, dilihat dari segi tujuanya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkapkan dengan Alquran sehingga dapat di jumpai, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung didalamnya. Ketiga, dilihat dari segi lafad dan kedudukanya adalah hasil penanganan, kajian, dan ijtihat para mufasir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya,sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
Dengan demikian, secara singkat dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam penyelidikan secara seksama terdapat penafsiran Al Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terakit denganya.
Objek pembahasan tafsir, yaitu al-Quran merupakan sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan umat ini. berdasarkan kedudukan dan peran al-Quran tersebut, Quraish Shihab mengatakan jika demikian halnya, pemahaman terhadap ayat –ayat al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan sangat besar bagi maju mundurnya umat, sekaligus dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
B. LATAR BELAKANG PENELITIAN TAFSIR
Dilihat dari segi usianya, penafsiran al-Quran termasuk yang paling tua dibandingkan dengan kegiatan ilmiah lainya dalam Islam pada saat al-Quran ditirunkan lima belas abad yang lalu, Rasulullah Saw. yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) telah menjelaskan arti dan kandungan al-Quran kepada sahabat-sahabatnya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau sama artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya rasulullah, walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui, sebagai akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang rasul Saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandunga al-Quran.
Kalau pada masa rasul saw, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya mereka terpaksa melakukan ijtihat, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali ibn Abi Thalib, Ibn ‘Abas, Ubay bin Ka’ab dan Ibn Mas’ud.
Sementara itu ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Quran kepada tokoh-tokoh Ablul-kitab (kaum yahudi dan nasrani) yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Akhbar. Inilah yang selanjutnya merupakan benih lahirnya Israiliat.
Disamping itu, para tokah tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan diatas mempunyai murid-murid dari para tabi’in khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal, sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota tersebut, saparti (a) Sa’id bin Jubair, Mujahit bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibn ‘Abbas; (b) Muhammad bin ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah yang ketika itu barguru kepada Ubay bin Ka’ab, dan (c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya’bi, di Irak yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Gabungan dari ketiga sumber diatas, yaitu penafsiran rasulullah saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in dikelompokkan menjadi satu kelompok yang selanjutnya dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dua sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini bahasa hadis – hadis telah beredar sedemikian pesatnya dan bermunculanlah hadist-hadist palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. sementara itu, perubahan-perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad Saw, para sahabat dan tabi’in.
Pada mulanya, usaha penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang terkandung oleh satu kosa kata. Namun, sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihat dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran, sehingga bermuncullah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keaneka ragaman tersebut ditunjang pula oleh al-Quran, yang keadaanya seperti di katakan oleh ’Abdullah Darras dalam Al-Naba’ al-Azhim: ” Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.”
Berdasarkan pada adanya upaya penafsiran al-Quran dari sejak zaman Rasulullah Saw. hingga dewasa ini, serta adanya sifat dari kandungan al-Quran yang terus-menerus memancarkan cahaya kebenaran itulah yang mendorong timbulnya dua kegiatan, pertama, kegiatan penelitian di sekitar produk-produk penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu. dan kedua, kegiatan penafsiran al-Quran itu sendiri.
C. MODEL-MODEL PENELITIAN TAFSIR
Dalam kajian kepustakaan dapat dijumpai berbagai hasil penelitaan para pakar al-Quran terdapat produk tafsir yang dilakukan generasi terdahulu. Masing-masing peneliti telah mengembangkan model-model penelitian tafsir tersebut lengkap dengan hasil-hasilnya. Berikut ini akan kita kemukakan beberapa model penafsiran al-Quran yang dilakukan para ulama tafsir, sebagai berikut:
1. Corak Quraish Shihab
H.M. Quraish Shihab (lahir th.1944)-pakar di bidang Tafsir dan Hadis se-Asia Tenggara-, telah banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya ulama terdahulu di bidang tafsir. Ia, misalnya, telah meneliti tafsir karangan Muhammad Abduh dan H. Rasyid Ridla, dengan judul Studi kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1944. Model penelitian tafsir yang di kembangkan oleh H.M. Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analisis, dan perbandingan. Yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lainya. Data-data yang dihasilkan dari berbagai literatur tersebut kemudian dideskripsikan secara lengkap dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kategorisasi dan perbandingan.
Hasil penelitian H.M Quraish Shihab terhadap Tafsir al-Manar Muhammad Abduh, misalnya menyatakan bahwa Syaih Muhammad Abduh (1849-1909) adalah seorang ahli tafsir yang banyak mengandalkan akal, menganut prinsip tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tadak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci dalam alquran. Ketika menafsirkan firman Allah dalam al-Quran surat 101 ayat 6-7 tentang ”timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian”, Abduh menulis ”Cara Tuhan dalam menimbang perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu,tiada kecuali atas dasar apa yang diketahuioleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui, maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya hanya kepada Allah Swt. Atas dasar keimanan. Bahkan,’Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya sebagaimana sikap yang ditempuh sahabat ’Umar bin Khathab ketika membaca abba dalam surat Abasa (QS 80: 32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-nya.
Selanjutnya, dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir. Antara lain tentang: (1) periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir, (2) corak-corak penafsiran, (3) macam-macam matode penafsiran al-Quran. Berbagai aspek yang berkaitan dengan penafsiran al-Quran ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut;
a. Periodisasi Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir
Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi penulisanya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat dibagi ke dalam tiga periode.
Periode 1, yaitu masa Rasulullah, sahabat dan permulaan tabi’in, di mana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan.
Periode 2, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan ’Umar bin Abdul ’Aziz (99-101 H.) di mana tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi al-ma’tsur.
Periode 3, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli menduga dimulai oleh Al-Farra (w.207 H.) dengan kitabnya berjudul ma’ani al-Quran.
Periodesasi tersebut masih dapat ditambahkan lagi dengan periode keempat, yaitu periode munculnya para peneliti tafsir yang membukukan hasil penelitianya itu, sehingga dapat membantu masyarakat mengenal karya-karya tafsir yang ditulis oleh ulama pada periode sebelumnya dengan mudah.
b. Corak penafsiran
Berdasarkan hasil penelitianya. Quraish shihab mengatakan bahwa corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: (a) corak bahasa sastra yang timbul akibat kelemahan-kelemahan orang arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang kaistimewaan dan kedalaman arti kandungan alquran di bidang ini. (b) Corak Filsafat dan Teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka. (c) corak Penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat Alquran sejalan dengan perkembangan ilmu. (d) Corak Fiqih atau Hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
c. Macam – macam Metode Penafsiran AlQur’an
1) Corak Ma’tsur (Riwayat)
Ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shaheh menurut urutan yang telah disebutkan dimuka dalam syarat-syarat mufassir. Yaitu menafsirkan Qur’an dengan Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan shahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat.
Kalau kita mengamati metode penafsiaran sahabat-sahabat Nabi Saw, ditemukan bahwa pada dasarnya_setelah gagal menemukan penjelasan Nabi Saw, mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini, misalnya Umar ibn Al-Khattab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah QS. An Nahl; 47: yang artinya:
”Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa) . Maka Sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan artinya adalah ”pengurangan”. Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-islam. Umar kekita itu dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami al-Quran.
Setelah masa sahabat pun, para tabi’in dan atba al-tabi’in, masih mengandalkan metode metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya. Kalaulah kita berpendapat bahwa al-farra’(w.207) merupakan orang pertama yang mendektekan tafsirnya ma’aniy Qur’an, dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w.310 H) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.
Metode Ma’tsur (riwayat) tersebut memiliki keistemewaan antarar lain
(a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran
(b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika meyampaikan pesan-pesannya
(c) Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektifitas berlebiahan.
Sedangakan kelemahan antara lain;
(a) Terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian kebahasaan dan kesuasateraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Quran menjadi kabur dicelah uraian tersebut.
(b) Seringkali konteks turunnya ayat (Uraian asbabul-nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
2) Metode penalaran;pendekatan dan corak-coraknya
Banyak cara, pendekatna dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasannya apabila kita bermaksud menelusurinya satu per satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efesien, bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir yang bercorak penalaran ini kepada empat macam metode, yaitu tablily, ijmaly muqorin dan maudlu’iy. Keempat macam metode penafsiran yang bertitik tolak pada penalaran ini dapat dikemukakan sebagai berikut;
a) Metode Tablily
Metode tablily atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode Tajzi’iy adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Quran debagaimana tercantum di dalam mushhaf. Dalam hubungan ini mufassir mulai dari ayat-ke ayat berikutnya, atau dari surat ke surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai dengan yang termaktub di dalam mushhaf. Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufassir tajzi’iy/tahlily diuraikan. Yaitu bermula dari kosakata, Asbab al-Nuzul, Munasabat, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.
Setelah semua langkah yang tersebut di atas sudah ditempuh, mufassir tahlily lalu menjelaskan seluruh aspek dari semua penafsiran mengenai isi dan maksud ayat al-Quran tersebut.
Kelebihan metode ini antara lain adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Penafsirannya menyangkut segala aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir dalam setiap ayat. Analisis ayat dilakukan secara mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan dan kecenderungan mufassir. Metode ini, walaupun dinilai luas, namun tidak menyelesaikan pokik bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain.
Cara penafsiran ayat-ayat dalam Tafsir al-Kasysyaf karangan Al-Zamkhsyari dan Tafsir al-kabir karangan Al-Razi, biasanya dijadikan sebagai contoh untuk memahami tafsir dengan cara tahlily. Berikut ini, antara lain contoh tersebut dalam ayat 164 surat Al-Nisa yang artinya:
” Dan (Kami Telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh Telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung”.
Dapat kita lihat tafsirnya dalam kedua kitab tafsir di atas. Al-zamakhsyari, dengan melakuan penafsiran kosakata, mengartikan lafal kallama dengan al-jarh.Dengan demikian, ayat tersebut diberi arti dan ”Allah telah melukai Musa dengan kuku ujian dan cobaan-cobaan hidup”. Untuk ayat dan lafal yang sama, Al-Razi tetap memakai arti umum, yaitu berbicara. Sehingga penafsiran yang selama ini dikenal, yaitu bahwa Allah berbicara kepada Musa As.
b) Metode Ijmali
Metode Ijmali atau disebut juga dengan metode global adalah cara menafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Dalam praktiknya metode ini sering terintegrasi dengan metode tahlily karena itu seringkali metode ini tidak dibahas secara tersendiri. Dengan metode ini seorang mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat tersebut secara garis besar saja.
c) Metode Muqarrin
Metode muqarin adalah suatu metode tafsir al Qur’an yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat al Qur’an yang satu dengan yang lain nya, yaitu ayat-ayat yang mmpunyai kemiripan redaksi dlm dua atau lebih kusus yang berbeda, dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, dan atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis-hadis nabi Muhammad SAW., yang tampak bertentangan, serta mbandingkan pendapat-pendapat ulama’ tafsir menyangkut penafsiran al-Qur’an.
Sejalan dengan karangka tersebut diatas, maka prosedur penafsiran dengan cara muqarrin tersebut dilakukan sebagai berikut.
1) Menginfentarisasi ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemripan redaksi;
2) Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut;
3) Mengadakan penafsiran. Contoh:
”Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Anfal; 10)
”Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Ali Imran; 126)
Dua ayat tersebut redaksinya kelihatan mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum Muslimin ketika melawan musuh-musuhnya, namun berbeda pada hal-hal sebagai berikut. Surat Al Anfal (1) mendahulukan kata dari pada (2) memakai kata (3) berbicara mengenai perang Badar. Surat Ali Imran: (1) memakai kata (2) berbicara tentang perang Uhud.
Keterdahuluan kata dan penambahan kata dalam ayat pertama diduga keras sebagai tauhid terhadap kandungan utama ayat, yakni bantuan Allah pada perang Badar, mengingat perang itu yang pertama, dan jumlah kaum Muslimin sedikit.
Dalam perang Uhud, tauhid itu tidak diperkukan, sebab pengalaman perang sudah ada, dan umat Islam sudah banyak, dan pemakaian kata disini menandakan kegembiraan itu hanya untuk sahabat, bukan kegembiraaan abadi seperti kasus ayat pertama.
d) Metode Maudlu’iy,
Salah satu pesan dari Ali bin Abi Thalib adalah: ”Ajaklah al Quran berbicara atau biarkan ia menguraikan maksudnya”. Pesan ini antara lain pengharusan penafsiran merujuk kepada al Qur’an dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode maudlu’iy dimana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang di tetapkan sebelumnya. Kemudian penafsiran membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebutsehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Adanya metode penafsiran dengan cara tematik tersebut, menurut Quraish Shihab berasal dari Mahmud Syaltout. Dalam hubungan ini Quraish Shihab mengatakan, bahwa pada bulan juli 1960, Syaikh Mahmud Syaltout menyusun kitap tafsir berjudul Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syatibi (w.1388 M.) yaitu bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut. Berdasarkan ide Al-Syatibi tersebut, syaltout tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat, atau bagian- bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.
Namun menurut Quraish Shihab, apa yang di tempuh oleh Syaltout belum menjadikan pembahaan tentang petunjuk Al Qur’an di paparkan dalam bnentuk menyeluruh, karna seperti di kemukakan di atas, bahwa satu masalah dapat di temukan dalam berbagai surat.atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan mewnyeluruh. Ide ini di mesir dikembangkan lebih lanjut oleh Prof. Dr. Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan.Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode Maudlu’iy, gaya Mahmud Syaltout diatas.
Berdasarkan data tersebut, Quraish Shihab sampai pada kesimpulan bahwa metode maudlu’iy mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuanya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al Qur’an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunya,kemudian menjelaskan pengrtian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al Qur’an secara utuh tentang masalah yang di bahas itu.
Berbagai metode penafsiran al Qur’an tersebut bagi Quraish shihab bukan hanya sekedar teori atau pengetahuan belaka sebagaimana pada umumnya yang di miliki para pakar, tetapi telah di praktekannya dalam kegiatan menafsirkan al Qur’an. Ia misalnya menulis buku mahkota tuntunan ilahi (terbitan untagama tanpa tahun) yang isinya adalah tafsir surat al-Fatihah. Sementara bukunya yang lain seperti membumikan al Quran, yang di terbitkan mizan di tahun 90-an berisi pembahasan tentang berbagai masalah sosial kemasyarakatan dengan menggunakan metode tematik.
2. Model Ahmad Al-Syarbasi
Pada tahun 1985 Ahmad Al-Syarbasi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis sebagaimana halnya yang di lakukan Quraish Shihab, sedangkan sumber yang di gunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang di tulis para ulama tafsir, seperti Ibn Jarir al-Thabari, al-Zamakhsyari, Jalalludin al-Suyuthi, al-Raghib al-Ashfahani, al-Syatibi, Haji Khalifah. Hasil penelitiannya itu mencakup tiga bidang, pertama, mengenai sejarah penafsiran al Qur’an yang di bagi ke dalam tafsir pada masa sahabat nabi, kedua mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi, tafsir politik, ketiga, mengenai gerakan pembaruan di bidang tafsir.
Menurutnya, tafsir pada zaman rasulullah saw. Pada awal masa pertumbuhan Islam di susun pendek ringkas karena penguasaan bahasa arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat al Qur’an. Pada masa-masa sesudah itu penguasaan bahasa Arab yang murni tadi mengalami kerusakan akibat percampuran masyarakat Arab dengan bangsa-bangsa lain, yaitu ketika pemeluk Islam berkembang luas keberbagai negeri. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang-orang arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti ilmu nahwu (gramatika) dan balaghah (retorika). Di samping itu mereka juga mulai menulis tafsir al Qur’an untuk di jadikan pedoman bagi kaum muslimin. Dengan adanya tafsir itu umat Islam dapat memahami banyak hal yang samar dan sulit untuk di tangkap maksudnya.
Lebih lanjut al-Syarbasi mengatakan, tentu saja pertama-tama kita harus mengambil tafsir dari rasulullah saw. Maudhu’ Melalui riwayat-riwayat hadist yang tidak ada keraguan atas kebenarannya, ini sangat perlu ditkankan, karena banyak hadist (palsu-buatan). Setelah kita pegang tafsir yang berasal dari nabi, barulah kita cari tafsir-tafsir dari para sahabat beliau.
Tentang tafsir ilmiah, Ahmad al-Syarbasi mengatakan, sudah dapat kita pastikan bahwa dalam al Qur’an tidak terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam kenyataan ilmiah. Ini merupakan satu segi dari kedudukanya sebagai mukjizat. Munculnya istilah tafsir ilmiah yang dikemukakan oleh al-Syarbashi tersebut antara lain di dasarkan pada kitab tafsir al-Razi. Dalam kaitan ini ia mengatakan bahwa dalam kitab tafsir al-Razi banyak bagiannya yang dapat di anggap ilmiah, sama halnya dengan kitab tafsir Muhammad bin Ahmad al-Iskandari dengan judul panjang, yaitu Kasyful Asrar Al-Nuraniyah Al-Quranniyah Fi Ma Yata’allaqu Bi Arwah Al-Samawiyah Wa Al-Ardliyah. Demikian juga kitab-kitab tafsir yang lain seperti Muqaranatu Ba’dhi Mababith Al-Hai’ab Bi Al-Warid Fi Al-Nusbubusby Syar’iyyah, karya Abdullah Pasha Fikri: kitab tafsir al- Jawahir karya syaikh Tantawi Jauhari, dan kitab-kitab tafsir lainya yang cenderung menafsirkan al Qur’an secara ilmiah.
Selanjutnya, tentang tafsir sufi, al-Syarbashi mengatakan ada kaum sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf al Qur’an dan berusaha menerangkan hubungannya yang satu dengan yang lainya, adanya tafsir sufi tersebut, al-Syarbasi mendasarkan kepada kitab-kitab tafsir yang di karang para ulama sufi, untuk itu ia mengutip pendapat-pendapat al-Thusi yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah dapat di jangkau dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, segala sesuatu yang telah dapat di pahami dan segala sesuatu yang telah di ungkapkan serta di ketahui oleh manusia, semua itu berasal dari dua huruf yang terdapat pada permulaan kitabullah, yaitu bismillah dan al-hamdullilah karena keduannya bemakna billah (karena allah) dan lillah (bagi allah). Ilmu dan pengetahuan apa saja yang dimiliki manusia atau apa saja yang di miliki manusia atau apa saja yang telah dapat mengerti oleh menusia tindaklah ada dengan sendirinnya, melainkan adanya karena Allah dan bagi Allah.
Mengenai tafsir politik, al-Syarbashi mendasarkanya pada pendapat-pendapat kaum Khawarij dan lainnya yang terlibat dalam politik dalam memahami ayat-ayat al Qur’an. Menurut mereka terdapat ayat-ayat al Qur’an yang berkenaan dengan perilaku dan peran politik yang di mainkan oleh kelompok yang bertikai. Misal yang artinya: di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya demi keridlaan Allah.
••
”Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”
(Qs al-Baqarah, 207).
Menurut kaum khawarij, ayat tersebut di turunkan berkenaan dengan Ibn Muljam, orang yang membunuh Ali bin Abi Tholib. selanjutnya ,
•
”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS Al-Hujarat. 9).
Menurut kaum Khawarij ayat tersebut di turunkan Allah berkaitan dengan terjadinya peperangan antara golongan Ali bin Abi Tholib dan golongan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Selanjutnya, mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir, Ahmad al-Syarbashi mendasarkan pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad ke 20. ia menyebutkan Sayyid Rasid Ridha - murid Syeikh Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya kedalam masalah al-manar. Itu merupakan langkah pertama. langkah selanjutnya, ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang di beri nama Tafsir Al-Manar, yaitu kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut al Syarbashi, Muhammad Abduh telah berusaha menghubungkan ajaran – ajaran al Qur’an dengan kehidupan masyarakat disamping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi, dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.
Methode tafsir yang digunakan Muhammad Abduh dalam tafsrinya itu adalah menafsirkan alQur’an dengan alQur’an, hadist-hadits shahih serta tetap berpegang pada makna menurut pengrtian bahasa Arab. Hal ini dilakukan karena Syaikh Muhammad Abduh memandang bahwa teks induk al Qur’an sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi dan menyempurnakan.
3. Model Syaikh Muhammad al Ghazali
Syaikh muhammad al-Ghazali di kenal sebagai tokoh pemikir Islam abad modern yang produktif. Banyak hasil penelitian yang di lakukan, termasuk dalam bidang tafsir al Qur’an. Sebagaimana para peniliti tafsir lainya, Muhammad al-Ghazali menempuh cara penelitian tafsir lainya, Muhammad al-Ghazali menempuh cara penilitian tafsir yang bercorak eksploratif, deskriptif, dan analisis dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang di tulis ulama terdahulu.
Salah satu hasil penelitian yang di lakukan oleh Muhammad al-Ghazali adalah berjudul berdialog dengan al Qur’an, ayat-ayat kauniyah dalam al Qur’an, bagaimana memahami al Qur’an, peran ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dalam memahami al Qur’an.
Tentang macam-macam metode memahami al Qur’an, al-Ghazali membaginya kedalam metode klasik dan metode modern dalam memahami al Qur’an, menurutnya dalam berbagai kajian tafsir, kita banyak menemukan metode memahami al Qur’an berawal dari ulama generasi terdahulu. Mereka telaah berusaha memahami kandungan al Qur’an, sehingga lahirlah apa yang kita kenal dengan metode memahami al Qur’an. kajian ini berkisar pada usaha-usaha menemukan nilai-nilai sastra, fiqih, kalam, aspek sufistik filosofinya, pendidikan dan sebagainya dengan mengunakan metode yang telah ada, dapatkah kita menggunakannya pada zaman sekarang?
Demikian pertanyaan yang di ajukan Imam al-Ghazali setelah ia menemukan berbagai metode yang di gunakan para ulama terdahulu dalam memahami al Qur’an, Muhammad al-Ghozali, misalnya, menyebutkan metode kajian teologis, sufistik, dan filosofis yang di anggap cukup radikal dan menyentuh masalah-masalah hukum.
Berbagai macam metode atau kajian yang di kemukakan Muhammad al-Ghazali tersebut oleh ulama lainya di sebut sebagai pendekatan, dan bukan metode. Hal ini terjadi karena sebagai sebuah disiplin ilmu biasanya memiliki metode. Dalam hubungan ini Muhammad al Ghazali kelihatannya ingin mengatakan bahwa metode yang terdapat dalam berbagai disiplin ilmu tersebut ingin digunakan dalam memahami al Qur’an.
Selanjutnya, Muhammad alGhazali mengemukakan adanya metode modern dalam memahami al Qur’an. Metode Modern ini timbul sebagai akibat dari adanya kelemahan pada berbagai metode yang telah disebutkan diatas. Dalam hal ini, Muhammad al Ghazali menginformasikan adanya pendekatan atsariyah atau Tafsir bi al Ma’tsur. Menurutnya, kajian ini dapat kita lihat dalam kitab tafsir ibn katsir, kitab tafsir yang populer. Metode ini pernah digunakan oleh ibn Jarir al Thabary, tetapi menurut Muhammad al Ghazali metode ini perlu mendapat kritik karena ayat-ayat dalam kajian tersebut banyak dikaitkan dengan hadits-hadits Dha’if, sehingga apa yang diharapkan dari sebuah tafsir al Qur’an dengan pemikiran Qur’any, tampaknya belum begitu terlihat. Sayyid Kutub dalam sebuah karyanya, Fi Dzilal al Qur’an misalnya, dinilai oleh Muhammad al Ghazali, hanya mengutip nas-nas saja dari tafsir ibn Katsir, sedangkan hadits-haditsnya tidak diikuti secara lengkap, ia mengutip nas-nasnya saja. Hal ini dimaksudkan agar beliau dapat menemukan pikiran-pikiran yang baru yang orisinil.
Selanjutnya, Muhammad al Ghazali mengemukakan ada juga tafsir yang bercorak dialogis, seperti yang pernah dilakukan oleh al Razi dalam tafsirnya al Tafsir al Kabir. Menurutnya tafsir ini banyak menyajikan tema-tema menarik, namun sebagian dari tema tafsir tersebut sudah keluar dari batasan tafsir itu sendiri, yang menjadi acuan kebanyakan penafsir al Qur’an.
Berangkat dari adanya berbagai kelemahan yang terkandung dalam metode penafsiran masa lalu, terutama jika dikaitkan dengan keharusan memberikan jawaban terhadap berbagai masalah kontemporer dan modern, Muhammad al Ghazali sampai pada suatu saran antara lain: ”kita inginkan sa’at ini adalah karya-karya keIslaman yang menambah tajamnya pandangan Islam dan bertolak dari pandangan Islam yang benar dan berdiri diatas argumen yang memiliki hubungan dengan al Qur’an. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pikiran manusia adalah relatif dan spekulatif, bisa benar juga bisa salah. Keduanya memiliki bobot yang sama dalam sebuah kegiatan pemikiran. Selain, kita juga tidak menutup mata terhadap adanya manfa’at atau fungsi serta sumbangan pemikiran keagamaan lainnya, bila itu semua menggunakan metode yang tepat”. Itulah sebagian kesimpulan dan saran yang diajukan Muhammad al Ghazali dalam penelitiannya.
4. Model Penelitian lainnya.
Selanjutnya, dijumpai pula penelitian yang dilakukan para ulama terhadap aspek-aspek tertentu dari al Qur’an. Diantaranya ada yang memfokuskan penelitiannya terhadap kemu’jizatan al Qur’an, metode-metode, kaidah-kaidah dalam menafsirkan al Qur’an, kunci-kunci untuk memahami al Qur’an, serta ada pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah penafsiran al Qur’an yang khusus yang terjadi pada abad ke-empat.
Selanjutnya, Amin Abdullah dalam bukunya berjudul study Agama juga telah melakukan penelitian deskriptif secara sederhana terhadap perkembangan tafsir. Amin Abdullah mengatakan, jika dilihat secara garis besar perjalanan sejarah penulisan tafsir pada abad pertengahan, agaknya tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa dominasi penulisan tafsir al Qur’an secara leksiografis (lughawi) tampak lebih menonjol. Tafsir karya Shihab al Din al Khaffaji (1659) memusatkan perhatian pada analisis gramatika dan analisis sintaksis atas ayat-ayat al Qur’an. Juga karya al Baydhawi (1286), yang hingga sekarang masih digunakan dipesantren-pesantren, memusatkan perhatian pada penafsiran al Qur’an corak leksiografis seperti itu.
Tafsir modern karya ’Aisyah Abd Rahman bint al Syati’ al Tafsir al Bayan li alQur’an al Karim yang oleh silabus jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan KaliJaga halaman 151 disebut tafsir al’Asri, juga masih punya kesan kuat corak leksiografis.
Amin Abdullah lebih lanjut mengatakan, meskipun begitu, masih perlu digaris bawah karya Tafsir Mutakhir ini kaya dengan metode komperatif didalam memahami dan menafsirkan arti suatu kosakata al Qur’an. Binti al Syati’ selalu melihat ulang bagaimana penafsiran dan pemahaman para penafsir terdahulunya al Thabari, al Naisaburi, al Razi, al Suyuthi, al Zamakhsyari, Ibn Qayyim, M. Abduh dan lain-lainnya. Sebelum beliau mengemukakan pendapatnya sendiri diakhir suatu bahasan.
Tanpa harus mengecilkan jasa besar tafsir bercorak leksikografis, corak penafsiran seperti itu dapat membawa kita kepada pemahaman al Qur’an yang kurang utuh karena belum mencerminkan suatu kesatuan pemahaman yang utuh dan terpadu dari ajaran al Qur’an yang fundamental. Karya tafsir yang menonjolkan I’jaz umpamanya, akan membuat kita terpesona akan keindahan bahasa al Qur’an, tetapi belum dapat menguak nilai-nilai spiritual dan sosio moral al Qur’an untuk kehidupan sehari-hari manusia. Begitu juga penonjolan Asbab al Nuzul bila terlepas dari nilai-nilai fundamental universal yang ingin ditonjolkan-sudah barang tentu bermanfa’at untuk mempelajari latarbelakang sejarah turunnya ayat perayat, tetapi juga mengandung minus keterkaitan dan keterpaduan antara ajaran al Qur’an yang bersifat universal dan transendental bagi kehidupan manusia dimanapun mereka berada.
FAHRU ROZI
0 komentar:
Post a Comment