SUGENG RAWUH DATENG GUBUK ONLINE RAZY SAMUDRA: Blog ini kami sajikan untuk pengunjung, guna saling menambah khazanah keilmuan

Mencoba berbagai gaya

Gambar tersebut diambil dari berbagai macam kegiatan sik asik di MAN 2 Bojonegoro, Adventure ke Pacitan, Ponorogo, Wonogiri, Magetan dll.

Launching Website PW ISHARI Jatim

Rakorwil 2 PW ISHARI Jatim di PP. Sunan Kali Jaga Jabung Malang, tanggal 6-7 Maret 2015.

ISTIHLAL dan KAJIAN ASWAJA

ISTIHLAL DAN KAJIAN ASWAJA oleh Majelis Pembina Taman Pendidikan Al Qur'an An Nahdliyah th 2013 di ISLAMIC CENTRE Bojonegoro.

PERESMIAN GEDUNG TPQ/MADIN AS SALAM Bulu

Peresmian Gedung TPQ/Madin AS SALAM Bulu Balen Bojonegoro pada tanggal 28 Mei 2014.

WISUDA SANTRI TPQ

Wisuda Santri Taman Pendidikan Al Qur'an An Nahdliyah Cabang Bojonegoro di Islamic Centre Bojonegoro.

Friday, August 6, 2010

FILSAFAT ILMU

A. Pengertian Filsafat Ilmu

Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
• Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
• Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
• A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
• Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
• May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
• Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan
• Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
• Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
• Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
• Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
B. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
• Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
• Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
• Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
• Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
• Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
C.Substansi Filsafat Ilmu
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1.Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
• Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
• Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
• Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
• Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
• Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.
2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
a. Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
b.Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
c.Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d.Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
e.Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
f.Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
3.Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4.Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.
D. Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
• Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
• Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
• Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tri-partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.
Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan logis. Bila etik dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria oprasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah human.manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak merusak lingkungan.


Daftar Pustaka
Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung: PPS-IKIP Bandung.
Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.
Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
Filsafat_Ilmu,
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.
Mantiq, .
Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia
Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan Pembina Sari Insani (Yaasin)

PENGELOLAAN ADMINISTRASI, ORGANISASI DAN MANAJEMEN TAMAN PENDIDIKAN ALQUR’AN AN NAHDLIYAH CABANG BOJONEGORO

> Pengelolaan Administrasi
Dalam pengelolaan sebuah lembaga pendidikan dapat dikatakan berkualitas tidak hanya ditentukan oleh baik suatu metode saja akan tetapi masih harus memperhatikan administrasi dalam pengajaran Al -Qur’an dengan metode Cepat Tanggap Belajar Al – Qur’an dengan metode AN NAHDLIYAH
1) Administrasi Kelembagaan
a. Administrasi Umum
1) Papan Nama
Papan nama TPQ An Nahdliyah dibuat dengan ketentuan sebagai berikut:
- Warna Dasar : Hijau
- Warna Tulisan : Putih
- Bunyi Tulisan : Contoh
- Ukuran : 100 cm x 60 cm





- Sebelah kiri posisi di tengah diberi lambang TPQ An Nahdliyah

2) Lambang
Lambang Taman Pendidikan Al Qur’an an Nahdliyah adalah sebagai berikut :






Keterangan :
- Bentuk segi lima lengkung bervariasi melambangkan rukun Islam yang penuh keindahan dan segi lima sama sisi melambangkan lima sila dari pancasila
- Gambar menara masjid melambangkan pusat ibadah dan pembinaan umat.
- Gambar al Qur’anul Karim melambangkan kitab suci Al Qur’an.
- Tulisan Cepat Tanggap Belajar Al Qur’an melambangkan sikap cepat dan tanggap terhadap belajar mengajar al Qur’an
- Gambar bintang sembilan melambangkan panutan warga Nahdliyin kepada Rasulullah, empat kholifaur Rasyidin, dan empat madzhab dan atau melambangkan wali sembilan.
- Tulisan An Nahdliyah di bawah melambangkan metode pengajaran ini diselaraskan dengan faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
- Warna dasar hijau melambangkan kedamaian/ lambang warna agama.

3) Stempel
Stempel yang dibakukan oleh TPQ An Nahdliyah berbentuk lonjong seperti contoh berikut:
1. Untuk Majelis Pembina Tingkat Kabupaten
2. Untuk Majelis Pembina Tingkat Kecamatan
3. Untuk Tingkat Penyelenggara/ ranting


4) Surat menyurat
1) Kop surat untuk Majelis Pembina TPQ An Nahdliyah Tingkat Cabang
2) Kop surat untuk Majelis Pembina Tingkat Kecamatan
3) Kop surat untuk Tingkat Penyelenggara/ ranting

Catatan:
1. Setiap Kop surat di sebelah kiri diberi lambang TPQ an Nahdliyah
2. Kode nomor surat menyesuaikan.

b. Administrasi Khusus
Pada setiap penyelenggara Taman Pendidikan Al Qur’an An Nahdliyah hendaknya memiliki:

a. Buku kegiatan; yaitu buku untuk mencatat segala kegiatan yang diselenggarakan.
b. Buku Notulen Rapat; yaitu buku untuk mencatat hasil – hasil rapat.
c. Buku keuangan, yaitu buku untuk mencatat keluar masuknya keuangan dan hendaknya dibakukan dengan bentuk Buku Kas Tabelaris.

2) Administrasi Kependidikan
a) Administrasi Penyelenggara Pendidikan / TPQ
- Adanya Piagam Pendirian
- Adanya Papan Nama
- Adanya Kop Surat
- Adanya Stempel
- Adanya Daftar Guru/Ustadz dan pembagian tugas
- Adanya Buku Induk Santri
- Adanya Ijazah ( Sertifikat,Syahadah )
- Adanya Buku Inventaris
- Adanya Buku Donatur
- Adanya Kartu Syahriyah
- Adanya Buku Keuangan
- Adanya Dokumen Kurikulum

b) Administrasi Pembelajaran
- Adanya Buku bahan pembelajaran Metode Cepat Tanggap Belajar “Al -Qur’an An Nahdliyah “
- Adanya alat peraga dan media pembelajaran yang dianggap perlu
- Adanya program pembelajaran
- Adanya Buku absen Santri
- Adanya Buku absen Ustadz
- Adanya buku laporan / Kartu Prestasi
- Adanya Evaluasi / Bahan Evaluasi
- Adanya Nilai yang jelas

Info selengkapnya hubungi kami, (Razy)

PENGELOLAAN ADMINISTRASI, ORGANISASI DAN MANAJEMEN TAMAN PENDIDIKAN ALQUR’AN AN NAHDLIYAH CABANG BOJONEGORO

> Pengorganisasian
Organisasi penyelenggara Taman Pendidikan Al-Qur’an ( TPQ ) metode An-Nahdliyyah diharapkan berada pada lingkup Lembaga pendidikan Ma’arif NU, pada setiap tingkatan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan, penyelenggaraannya dilaksanakan lembaga selain LP. Ma’arif NU, seperti Pontren,Yayasan dan sebagainya sepanjang mempunyai haluan yang sama yaitu Haluan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan demikian kepengurusan TPQ Metode An Nahdliyah disusun sebagai berikut :

1. Di Tingkat Cabang ( Kab / Kodya )
Di tingkat Cabang di tangani langsung oleh Majelis Pembina ( MABIN ) atau Pendidikan pra Sekolah. Akan tetapi karena kebutuhan perangkat penunjang sangat banyak, maka perlu melibatkan dan koordinasi lembaga lain, seperti Muslimat NU, Jamiatul Quro’wal khuffad, Fatayat NU, GP ansor dan lain-lain
 Susunan Pengurus
Perangkat yang harus ada dalam Majelis Pembina TPQ ini adalah :
- Pelindung dan Penasehat
- Pengurus Harian
- Team Penatar Ustadz / Ustadzah
- Team Evaluasi dan Munaqosah
- Petugas logistik (dana pengadaan buku dan kebutuhan lain ).
 Periodesasi
Dalam melaksanakan program kerja yang telah tercanangkan, dan meningkatkan kualitas pengurus hendaknya ada periodesasi yang disepakati. Periodesasi Mabin selama 5 tahun.

2. Di Tingkat Kecamatan/ Koordinator Kecamatan ( Koortan)
Di tingkat Kecamatan dibentuk koordinator Kecamatan ( KORTAN ) atau dapat ditangani langsung oleh kortan Ma’arif NU, dan atau koortan yang dibentuk oleh Majelis Pembina yang ada ditingkat kabupaten sebagaimana ketentuan diatas.
 Susunan Pengurus
Susunan Pengurus tingkat Kecamatan sebagaimana susunan di tingkat Kabupaten.
 Periodesasi
Untuk penyegaran kepengurusan dan kaderisasi pengurus ditingkat kecamatan, hendaknya ada periodesasi yang disepakati oleh pengurus Koortan dan perwakilan MABIN. Periodesasi koortan selama 3 tahun.
 Tugas & Tanggungjawab
Beberapa hal yang menjadi tugas dan tanggung jawab kortan TPQ adalah :
- Monitoring dan pendataan TPQ
- Supervisi
- Penghubung antara Pengurus Ranting TPQ dengan Pengurus Mabin TPQ Cabang
- Membantu pelaksanaan Evaluasi
- Mengadakan kelompok peningkatan kwalitas Ustadz/Ustadzah

3. Di Tingkat Desa/ Kelurahan
Di tingkat Desa/Kelurahan yang menyelenggarakan TPQ An Nahdliyah, apabila diperlukan dapat dibentuk atau disusun satu kepengurusan yang menangani seluruh TPQ yang ada di Desa/ Kelurahan yang terdiri dari:
 Kepengurusan
a. Susunan Pengurus
- Pelindung ( Diupayakan dijabat Kades / Kepala Kelurahan )
- Penasehat ( Ulama’ / Syuriyah NU )
- Pengurus Harian
- Pembantu Umum.
b. Dewan Pengasuh TPQ
- Kepala TPQ
- Wakil Kepala TPQ
- Petugas Tata Usaha
- Anggota ( semua ustadz / ustadzah ).
 Periodesasi
Peridesasi pengurus ditingkat desa/ kelurahan selama 3 tahun dan pergantian kepengurusan diketahui oleh pengurus ranting/ tingkat desa dan pengurus koortan.
 Tugas & Tanggungjawab
a. Susunan Pengurus
Tugas Pokok pengurus Ranting TPQ ini adalah menyediakan sarana prasarana serta segala kelengkapan TPQ
b. Dewan Pengasuh TPQ
Tugas dan tanggungjawab Dewan Pengasuh/ asatidz/dzah TPQ adalah:
- Bertanggungjawab dibidang Educatif
- Meningkatkan kwalitas Ustadz / Ustadzah
- Menyelenggarakan evaluasi, harian dan evaluasi bulanan.
Catatan:
1. Berdasarkan petunjuk teknis dan Pedoman Pembina TK/TPQ Kanwil Depag Propinsi Jawa Timur tanggal 15-12-1993, maka setiap pendririan TPQ hendaknya:
a. Memberitahukan rencana pendirian kepada KUA setempat
b. Apabila menggunakan fasilitas gedung milik pihak ketiga (SD,MI, atau rumah tinggal, Balai Desa dan lain-lain) harus dilengkapi surat pernyataan kesedidan ditempati.
2. Bagi Penyelenggara TPQ An Nahdliyah selain LP Ma’arif, seperti Pondok Pesantren, Yayasan dan sebagainya kepengurusan disesuaikan dengan situasi dan kondisi

PENGELOLAAN ADMINISTRASI, ORGANISASI DAN MANAJEMEN TAMAN PENDIDIKAN ALQUR’AN AN NAHDLIYAH CABANG BOJONEGORO

> Pengorganisasian
Organisasi penyelenggara Taman Pendidikan Al-Qur’an ( TPQ ) metode An-Nahdliyyah diharapkan berada pada lingkup Lembaga pendidikan Ma’arif NU, pada setiap tingkatan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan, penyelenggaraannya dilaksanakan lembaga selain LP. Ma’arif NU, seperti Pontren,Yayasan dan sebagainya sepanjang mempunyai haluan yang sama yaitu Haluan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan demikian kepengurusan TPQ Metode An Nahdliyah disusun sebagai berikut :

1. Di Tingkat Cabang ( Kab / Kodya )
Di tingkat Cabang di tangani langsung oleh Majelis Pembina ( MABIN ) atau Pendidikan pra Sekolah. Akan tetapi karena kebutuhan perangkat penunjang sangat banyak, maka perlu melibatkan dan koordinasi lembaga lain, seperti Muslimat NU, Jamiatul Quro’wal khuffad, Fatayat NU, GP ansor dan lain-lain
 Susunan Pengurus
Perangkat yang harus ada dalam Majelis Pembina TPQ ini adalah :
- Pelindung dan Penasehat
- Pengurus Harian
- Team Penatar Ustadz / Ustadzah
- Team Evaluasi dan Munaqosah
- Petugas logistik (dana pengadaan buku dan kebutuhan lain ).
 Periodesasi
Dalam melaksanakan program kerja yang telah tercanangkan, dan meningkatkan kualitas pengurus hendaknya ada periodesasi yang disepakati. Periodesasi Mabin selama 5 tahun.

2. Di Tingkat Kecamatan/ Koordinator Kecamatan ( Koortan)
Di tingkat Kecamatan dibentuk koordinator Kecamatan ( KORTAN ) atau dapat ditangani langsung oleh kortan Ma’arif NU, dan atau koortan yang dibentuk oleh Majelis Pembina yang ada ditingkat kabupaten sebagaimana ketentuan diatas.
 Susunan Pengurus
Susunan Pengurus tingkat Kecamatan sebagaimana susunan di tingkat Kabupaten.
 Periodesasi
Untuk penyegaran kepengurusan dan kaderisasi pengurus ditingkat kecamatan, hendaknya ada periodesasi yang disepakati oleh pengurus Koortan dan perwakilan MABIN. Periodesasi koortan selama 3 tahun.
 Tugas & Tanggungjawab
Beberapa hal yang menjadi tugas dan tanggung jawab kortan TPQ adalah :
- Monitoring dan pendataan TPQ
- Supervisi
- Penghubung antara Pengurus Ranting TPQ dengan Pengurus Mabin TPQ Cabang
- Membantu pelaksanaan Evaluasi
- Mengadakan kelompok peningkatan kwalitas Ustadz/Ustadzah

3. Di Tingkat Desa/ Kelurahan
Di tingkat Desa/Kelurahan yang menyelenggarakan TPQ An Nahdliyah, apabila diperlukan dapat dibentuk atau disusun satu kepengurusan yang menangani seluruh TPQ yang ada di Desa/ Kelurahan yang terdiri dari:
 Kepengurusan
a. Susunan Pengurus
- Pelindung ( Diupayakan dijabat Kades / Kepala Kelurahan )
- Penasehat ( Ulama’ / Syuriyah NU )
- Pengurus Harian
- Pembantu Umum.
b. Dewan Pengasuh TPQ
- Kepala TPQ
- Wakil Kepala TPQ
- Petugas Tata Usaha
- Anggota ( semua ustadz / ustadzah ).
 Periodesasi
Peridesasi pengurus ditingkat desa/ kelurahan selama 3 tahun dan pergantian kepengurusan diketahui oleh pengurus ranting/ tingkat desa dan pengurus koortan.
 Tugas & Tanggungjawab
a. Susunan Pengurus
Tugas Pokok pengurus Ranting TPQ ini adalah menyediakan sarana prasarana serta segala kelengkapan TPQ
b. Dewan Pengasuh TPQ
Tugas dan tanggungjawab Dewan Pengasuh/ asatidz/dzah TPQ adalah:
- Bertanggungjawab dibidang Educatif
- Meningkatkan kwalitas Ustadz / Ustadzah
- Menyelenggarakan evaluasi, harian dan evaluasi bulanan.
Catatan:
1. Berdasarkan petunjuk teknis dan Pedoman Pembina TK/TPQ Kanwil Depag Propinsi Jawa Timur tanggal 15-12-1993, maka setiap pendririan TPQ hendaknya:
a. Memberitahukan rencana pendirian kepada KUA setempat
b. Apabila menggunakan fasilitas gedung milik pihak ketiga (SD,MI, atau rumah tinggal, Balai Desa dan lain-lain) harus dilengkapi surat pernyataan kesedidan ditempati.
2. Bagi Penyelenggara TPQ An Nahdliyah selain LP Ma’arif, seperti Pondok Pesantren, Yayasan dan sebagainya kepengurusan disesuaikan dengan situasi dan kondisi

PENGELOLAAN ADMINISTRASI, ORGANISASI DAN MANAJEMEN TAMAN PENDIDIKAN ALQUR’AN AN NAHDLIYAH CABANG BOJONEGORO

> Visi, Misi dan Tujuan TPQ An Nahdliyah
Visi :
Terbentuknya generasi Qur’ani
Misi :
1. Mengajarkan bacaan dan isi kandungan Al- Qur’an
2. Menanamkan nilai-nilai ajaran Al Qur’an
3. Membekali santri untuk lebih memperdalam ajaran Islam pada jenjang selanjutnya.
Tujuan :
1. Pengembangan Taman Pendidikan Al-Qur’an adalah memberantas buta huruf Al-Qur’an dan mempersiapkan anak mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar
2. Memupuk rasa cinta terhadap Al-Qur’an yang pada akhirnya juga mempersiapkan anak untuk menempuh junjang pendidikan agama ( di Madrasah ) lebih lanjut.

> Strategi Pendirian dan Pengembangan TPQ
1. Tahap Persiapan
a. Pendekatan pada tokoh masyarakat dan ustadz / ustadzah yang sudah ada
b. Pembentukan pengurus
c. Pembentukan Dewan Pengasuh/Guru
d. Persiapan Pendaftaran Santri baru.
2. Tahap Pelaksanaan

a. Pemantapan kerja Pengurus
Karena penanganan TPQ merupakan penanganan yang memerlukan tepat waktu dan terus menerus continuo, maka TPQ membutuhkan orang yang mempunyai idealisme dan dedikasi yang tinggi terhadap organisasi dan masyarakat, sehingga mampu dengan baik :
1) Menggalang santri melalui wali santri
2) Menggali Dana / Syahriyah
3) Menyediakan sarana dan prasarana
4) Memantau dengan kontinyu / terus-menerus setiap perkembangan TPQ

b. Pemantapan kerja dewan pengasuh / Ustadz Ustadzah
Pemantapan dewan pengurus sangat diperlukan,sebab terletak pada Dewan Penguruslah kelancaran proses belajar –mengajar dapat terlaksana dengan baik. Pemantapan kerja ini meliputi :
1) Motivasi Tugas, yaitu :
2) Penyegaran dan peningkatan kemampuan mengajar, bagaimana usaha ustadz agar selalu segar ilmunya dan meningkatkan kemampuannya.

c. Pemantapan wali santri.
Wali Santri harus memantapkan tentang TPQ dan hasil – hasil yang dicapai sebab Orang Tua / wali juga berperan dalam metode ini. Pemantapan meliputi:
1) Tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak
2) Keutamaan orang tua mempunyai anak yang dapat membaca Al- Qur’an
3) Keutamaan orang tua terhadap I’anah Syahriyyah
4) Kesadaran orang tua terhadap I’anah Syahriyyah
5) Peran orang tua terhadap sistem CBSA ( Cara Belajar Santri Aktif )

Gara-gara Tahlil Kelamaan (guyonan)

Malam itu, seorang santri bandel duduk di pojok ruangan. Kelihatannya ia tidak nyaman. Posisi duduknya berubah berkali kali. Kadang ia bersila, kadang seperti orang sedang duduk tahiyat akhir, kadang kedua tangannya merangkul lutut lalu janggutnya ditempelkan di atas lutut itu. Kadang kepalannya bersandar di tembok sambil mendongak ke atas.
Saat itu, sedang diadakan tahlilan untuk salah seorang keluarga santri yang pagi tadi meninggal dunia. Bacaan tahlil kali ini terasa terlalu lama sekali.... Kemudian, usai tahlilan, kiai yang memimpin tahlil memanggil santri itu. Sementara yang lainnya disuruh ke kamar masing-masing. Rupanya kiai tahu gelagat santri itu.

"Tadi kenapa?" kata kiai. "Sakit ya?"
"Tidak kiai." Jawab santri sambil nunduk – nunduk
"Lalu kenapa?"

Santri yang memang terkenal paling bandel ini malah bertanya, "Kenapa tadi tahlillnya lama sekali kiai?" Tanya santri dengan nada agak pelan.
"Lho almarhum itu malah seneng kalau tahlilnya lama," kata kiai. "Kamu besok juga begitu kalau meninggal."
"Apa iya?"
"Ya iya, kalau tidak percaya tanya aja ke kuburan."
"???"
Malam itu juga kiai memberi ta'zir atau sangsi kepada santri untuk membaca surat Yasiin tiga kali di pemakaman samping pesantren. (razy)

Sufi Tradisional & Modern

Sufi Tradisional
• Sumber pengetahuan adalah pengalaman tetapi berkaitan dengan pengalaman bertemu dengan Allah (hal gaib)
• Ilmu al-huduri untuk mengenal Allah dan hal-hal gaib
• Menempu proses tahapan-tahapan melalui tarikat (atas bimbingan syaikhnya) untuk tujuan menyatu dengan Allah
• Wahdatul wujud, manunggaling kawulo gusti
• Ideologis
Sufi Modern
• Sumber pengetahuan adalah pengalaman tetapi berkaitan dengan pengalaman kehidupan sehari-hari
• ilmu al-huduri (direct experience)
• pengalaman batin yang mendalam dalam kehidupan fitri akan memunculkan kepekaan sosial, simpati, dan empati untuk mengenal lebih dekat lagi realitas kehidupan sehari-harinya.
• Wahdatul wujud, Unity in difference, (wahdah fi al-katsrah wa al-katsrah fi al-wahdah). Jadi menyatunya segala kebutuhan dasar tanpa memandang ras, agama, dan warna kulit.

Fahru Rozi,S.Pd.I, CM.

B A G A I M A N A MENJADI PEMBAWA ACARA YANG BAIK

Oleh : Fahru Rozi,S.Pd.I, CM.

I. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang agaknya juga mempengaruhi kebutuhan hidup sehari-hari menjadi semakin meningkat. Pengetahuan dan ketrampilan semakin dicari. Dan salah satunya dari sekian banyak ketrampilan yang kini banyak dikaji adalah “Bagaimana Menjadi Pembawa Acara yang Baik”.
Tampil dan bicara didepan umum sebagai pembawa acara, pada hakikatnya adalah merupakan perpaduan antara SENI dan PENGETAHUAN / KETRAMPILAN.
Seni adalah merupakan sesuatu yang tidak dapat di pelajari, kalau ada yang mengatakan “Saya sedang belajar ilmu lukis”, sebenarnya yang dimaksud oleh orang tersebut adalah bahwa dirinya sedang mempelajari tehnik-tehnik ketrampilan/pengetahuan melukis,oleh karena itu yang akan kita pelajari bukanya “SENI” tampil dan berbicara sebagai pembawa acara, melaikan pengetahuan/ketrampila tehnik-tehnik tampil danberbicara di depan umum sebagai pembawa acara.
Siapa saja dapat menjadi pembawa acara, tetapi untuk menjadi pembawa acara yang baik, dituntut untuk mengetahui beberapa hal, dan diperlukan persyaratan - persyaratan tertentu.

II. PENGERTIAN ISTILAH
Istilah Pembawa Acara ( PA ) merupakan terjemahan bebas dari istilah “Master of Ceremony” ( MC ). Disamping itu ada pula yang menyebut dengan istilah pemgarah acara, penyiar dan lain sebagainya.
Adapun sesuatu yang salah tetapi kaprah ( umum ) ialah pemakaian istilah “PROTOKOL” untuk menyebutkan pembawa acara, pembawa acara adalah sebagaian dari tugas-tugas protokol. Sedangkan protokol itu sendiri mempunyai tugas dan wewenang yang amat luas, yang meliputi antara lain etika menerimaan tamu, pengeturan ruan acara, pensunan acara,pembawa acara dan lain-lain. Jadi jelas bahwa istilah pembawa acara ( PA ) tidak sama dengan protocol.
Istilah apapun yang di pakai, yang terpenting dimaksudkan dalam konteks pembicaraan ini adalah “Seseorang yang tampil dan berbicara didepan umum secara langsung dan bertugas membawakan / menghantarkan / menjebatani antara mata acara yang satu kemata acara yang lain dalam suatu acara tertentu”.

III. FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG BAGI SEORANG PEMBAWA ACARA
Pembawa acara akan menjadi salah satu pusat perhatian dalam suatu acara. Keberhasilan suatu acara secara keseluruhan diharapkan dari kemampuan/ketrampilan pembawa acaranya.
Bagaimanapun rapid an bagusnya acara yang di susun, namun pembawa acaranya kurang trampil dan kurang siap, maka gagallah keseluruhan acara tersebut. Kebanggaan dan kebahagiaan senantiasa terselip dilubuk hati seorang pembawa acara ( MC ) manakala “sukses”, dan sebaliknya penyesalan yang dalam manakala “gagal” dalammelaksanakan tugasnya.
Untuk menjadi seorang pembawa acara yang baik, tidak cukup berbekal suara yang baik saja, akan tetapi di perlukan latihan mental dan fisik yang cukup, serta di tunjang dengan referensi pengetahuan yang cukup pula, antara lain :
1. pengetahuan tentang kepemimpinan
2. Pengetahuan tentang protocol
3. Pengetahuan tenteng etika
4. Pengetahuan tentang penguasaan bahasa ( Indonesia / Asing )
5. Pengetahuan hubungan antar manusia ( Human Relation )
6. Pengetahuan tentang tata busana
7. Penguasaan tetang sini panggung
8. Penguasaan tentang alat-alat elektronika ( pengeras suara dan penguasaan mike )

Berbekal pengetahuan tersebut, diharapkan seorang pembawa acara akan tampil dengan prima dan tidak grogi. Di samping itu ada beberapa faktor lain yang merupakan bekal yang harus dimiliki bagi seorang pembawa acara diantaranya :
1. mempunyai pribadi yang baik
2. Mempunyai kepribadian untuk berdiri didepan orang banyak dan tidak grogi.
3. Ramah tamah , dan murah senyum dan tidak sombong.
4. Berwibawa, disiplin dan bertanggung jawab
5. Tidak mudah emosi dan bersikap tenang
6. Dapat menguwasai keadaan
7. Mempunyai daya pikir cerdas, cepat, tanggap, tegas dan kreatif
Selain bekal yang harus di miliki bagi seorang pembawa acara, ada beberapa hal yang harus di lakukan pada acara saat berlangsung .
1. Tampil dengan busana yang baik dan sopan , serta di sesuaikan dengan acara.
2. Meletakkan pengeras suara tepat di depan mulut
3. Mengucap salam pada awal dan akhir acara
4. Tidak selalu melihat catatan, tetapi tidak menghafal
5. Tidak diperbolehkan memberikan komentar atas pidato seseorang
6. Ketika tampil harus beranggapan tidak pernah salah

IV. MODAL DASAR
Untuk menjadi seorang pembawa acara yang baik tidak mudah, ada beberapa hal yang perlu untuk di mengerti dan di pelajari secara khusus sebagai modal dasar, antara lain :
A. Suara
Suara bagi seorang pembawa acara merupakan modal utama, karena suara merupakan medium atau alat perantara untuk mengadakan komunikasi dengan hadirin. Pria dan wanita masing-masing mempunyai volume suara yang berbeda, yang semua merupakan pembawaan sejak lahir.
Untuk suara pria diharapkan yang keras, berat, mantap dan iramanya berwibawa, sedangkan suara wanita haruslah lembut namun mantap dan iramanya berwibawa. Usahakan yang wajar dan tidak dibuat-buat, suara aslilah yang paling baik, dan sesuaikan pula dengan acara yang dibawakan.
B. Penampilan
Bagi seorang pembawa acara,sedapat mungkin harus dapat memperhatikan penampilannya. Yang dimaksud dengan penampilan disini adalah :
“Segala sesuatu yang ada pada diri seseorang dengan berpanduan antara gerak, mimic keserasian berbusana, disertai dengan nada dan irama yang diucapkan”.
Seorang pembawa acara ketika tampil harus dapat menampilkan pesonanya atau daya tariknya yang memukau. Oleh karena itu seorang pembawa acara harus selalu berusaha memukau atau mempesona hadirin dengan :
1. Cara berbicara yang baik ( tatabahasa harus yang benar )
2. Penampilannya
3. Keserasian berbusana harus sesuai dengan acara yang dibawakan.
C. Kondisi
1. Persiapan
Persiapan bagi seorang pembawa acara perlu sekali, karena tanpa persiapan yang baik, maka acara yang dibawakan akan gagal.
Persiapan yang dimaksud mengenai :
- Penampilan MC itu sendiri
- Susunan dan bentuk acaranya
- Pengenalan lingkungan ( lokasi tempat berlangsungnyaa acara )
- Mengatur letak pengeras suara
- Mengatur petugas yang akan tampil ( siap / belum )

2. Ketenangan
Ketenangan sangat diperlukan bagi MC, walaupun walaupun hal ini hanya dikaitkan dengan watak manusianya. MC harus berada di tempat penyelenggaraan minimal 30 menit sebelum acara di mulai. Hal ini dimaksudkan untuk membantu mengatur pernafasan, ketenangan, konsentrasi, sekaligus untuk melakukan kordinasi dengan panitia penyelenggara.
3. Disiplin
Disiplin bagi MC ialah ketepatan waktu dalam membawakan acara yang satu ke acara yang lainnya. Dan saat acara berlangsung MC harus selalu berada ditempat, agar apabila ada perubahan acara mendadak, akan dapat dengan mudah teratasi.
Suatu pengorbanan bagi MC adalah “Berangkat lebih awal dan pulang paling ahir”.
D. Tehnik
1. Bahasa yang diucapkan oleh MC di Indonesia pada umumnya bahasa Indonesia ( Nasional ). Usahakan didalam berbahasa Indonesia tidak menunjulan bahasa asli ( jawa : logat ) daerahnya.
2. Intonasi / Irama pada suara yang diucapkan / dibentuk, serasi dengan gaya kita, ketika sedang berbicara.
Seorang MC harus selalu dapat merubah nada dan irama suaranya, yang disesuaikan dengan bentuk acara yang dibawakan. Untuk mendapatkan irama yang baik dan mengesankan, perhatikanlah dengan seksama tanda baca pada kalimat ( titik koma ) dan naik turunnya nada suara.
3. Pernafasan bagi MC sangat penting dan perlu diatur sebaik mungkin, agar dalam membaca kalimat tidak terputus-putus. Yang mengakibatkan kalimat tidak jelas didengar.
4. Lafal merupaka pembawaan sejal lahir, seorang MC sebaiknya semopurna dan jelas dalam mengucapkan kalimat.
Contoh : - Huruf desis : s, z
- Huruf hidup : a, i, e, o
- Huruf hidung: ng.
Selain itu kejelasan vocal dari seorang MC juga sangar diperlukan, dan harus ditunjukan dengan volume suara dan irama penyampaian yang serasi.
5. Redaksi atau susunan kalimat yang sederhana, singkat, jelas, itulah yang baik. Sebab kalimat panjang dan bertele-tele akan menjemukan bagi yang mendengarkannya.
E. Latihan-latihan
Untuk menjadi MC yang baik memang membutuhkan waktu untuk belajar dan berlatih. Terutama latihan membaca keras, yang dimaksud tidak membaca dalam hati, namun disuarakan. Hal ini sangat penting untuk menguatkan atau melemaskan otot-otot leher. Disamping itu harus sering mencari pengalaman dengan praktek atau melihat penampilan MC yang sudah senior, dan professional.

V. PENUTUP
Demikian sedikit tentang “Bagaimana menjadi Pembawa Acara yang baik”. Selanjutnya sebagai penutup kiranya ada baiknya kami sampaikan beberapa anjuran yang dikemukakan para ahli, sebagai tambahan bekal bagi seorang pembawa acara agar mampu tampil dan berbicara sebagai petugas didepan umum secara pribadi.
1. Persiapan mental adalah salah satu cara untuk menambah kepercayaan diri sendiri.
Buatlah persiapan secara tertulis dan berlatihlah berulang kali.
2. Meskipun pembawa acara telah tampil beberapa kali di depan publik, namun pada saanya akan memulai tugasnya, mungkin rasa cemas ataupun getar ( demam panggung ) akan dirasakan, walaupun dalam kadar yang kecil sekali. Untuk itu hiruplah udara segar sebanyak – banyaknya, lalu hembuskan berlahan-lahan setiap kali hendak memulai membawakan acara.

Demikian, Selamat mencoba..... Sukses buat anda.

Sumber Kebenaran

Sumber kebenaran

1. Romantisisme (Sumber kebenaran berasal dari alam)
2. Rasionalisme (Sumber kebenaran berasal dari logika, rasio, akal)
3. Empirisme (Sumber kebenaran berasal dari data Empiris atau fakta empirik)
4. Mistisisme (Sumber kebenaran berasal dari Tuhan)

Romatisisme dan Mistisisme lebih mengedepankan Keyakinan, kunci utama adlah keyakinan
Sudut pandang Ilmiyah dilihat dari Rasionalisme dan didukung oleh Empirisme.

1. Romantisisme (Sumber kebenaran berasal dari alam)
Alam dirasa sebagai sesuatu yang hidup yang memberikan kesan – kesan moral.
2. Rasionalisme (Sumber kebenaran berasal dari logika, rasio, akal)
Suatu penjelasan yang sekiranya logika, maka itu dianggap benar. Sebaliknya suatu penjelasan yang dirasa tidak logika, maka itu semua dianggap tidak benar.
3. Empirisme (Sumber kebenaran berasal dari data Empiris atau fakta empirik)
Suatu penjelasan yang didukung dengan data konkrit, maka itu dianggap benar. Sebaliknya suatu penjelasan yang dirasa tidak didukung oleh data, maka itu semua dianggap tidak benar.
4. Mistisisme (Sumber kebenaran berasal dari Tuhan)
Suatu kebenaran mutlak bersumber dari Tuhan sang pencipta alam.

AGAMA PADA MASA DEWASA DAN USIA LANJUT

A. Agama Pada Masa Dewasa
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
a. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/ young adult)
b. Masa dewasa madya (middle adulthood)
c. Masa usia lanjut (masa tua/ older adult)
Pembagian senada juga diungkap oleh beberapa ahli psikologi. Lewiss Sherril misalnya, membagi masa dewasa sebagai berikut :
1. Pada masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
2. Masa dewasa tengah, sudah mulai menghadapi tantangan hidup sambil memantapkan tempat dan mengembangkan filsafat untuk mengolah kenyataan yang tidak disangka- sangka.
3. Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah “pasrah”. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama.
B. Ciri- Ciri Sikap Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Sejalan dengan tingkatperkembanagan usianya, sikap keberagamaan pada orang dewasa mempunyai ciri- ciri sebagai berikut:
• Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut- ikutan.
• Cenderung bersifat realis, sehingga norma- norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
• Bersikap positif terhadap ajaran dan norma- norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
• Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
• Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
• Bersikap lebih kritis tehadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran dan hati nurani.
• Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe- tipe kepribadian masing- masing.
• Terlihat adanya hubungan antara sikap dan keberagamaan dengan kehidupan sosial.
C. Agama Pada Usia Lanjut
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan- jaringan dan sel- sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini, biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini, biasanya akan mengahadapi berbagai persoalan. Persoalan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebebkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari semua itu, mereka yang berada dalam usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga lagi.
D. Ciri- Ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut
Secara garis besar ciri- ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai muncul pengakuan terhadap relitas tentang kehidupan akherat secara lebih sungguh- sungguh.
4. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia serta sifat- sifat luhur.
5. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6. Perasaan takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akherat).
E. Kematangan Beragama
Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.
Pada dasarnya terdapat dua factor yang menyebabkan adanya hambatan:
1. Faktor diri sendiri
faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua: kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran- ajaran itu telihat perbedaanya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan rasionya, akan menghayati dan kemudian mengemalkan ajaran- ajaran agama tersebut dengan baik, penuh keyakinan dan argumentatif, walaupun apa yang harus ia lakukan itu berbeda dengan tradisi yang mungkin sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam melakukan aktivitas keagamaan. Namun, bagi mereeka yang mempunyai pengalaman sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada hambatan- hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap.
2. faktor luar
Yang dimaksud dengan faktor luar, yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang. Faktor- faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima.
Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck sebagaimana dipaparkan kembali oleh William James, mengemukakan dua buah faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu:
1. Faktor intern, terdiri dari:
a. Temperamen
Tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang.
b. Gangguan jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
c. Konflik dan keraguan
Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama, seperti taat, fanatic, agnotis maupun ateis.
d. Jauh dari tuhan
Orang yang hidupnya jauh dari tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat menghadapi musibah.
2. Faktor ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah:
a. Musibah
Seringkali musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan seseorang, dan kegoncangan tersebut seringkali memunculkan kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa mendapatkan peringatan dari tuhan.
b. Kejahatan
Mereka yang hidup dalam lembah hitam umumnya mengalami guncangan batin dan rasa berdosa. Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan yang bersifat kompensatif, seperti melupakan sejenak dengan berfoya- foya dan sebagainya. Tidak jarang pula melakukan pelampiasan dengan tindakan brutal, pemarah dan sebagainya.
Adapun ciri- ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara lain:
1. Optimisme dan gembira.
2. Ekstrovert dan tidak mendalam.
3. Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal.

AGAMA PADA MASA REMAJA

A. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja
Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian:
1. Fase Pueral
Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak- anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang.
2. Fase Negative
Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.
3. Fase Pubertas
Masa ini yang dinamakan dengan Masa Adolesen
Dalam pembahasan ini , Luella Cole sebagaimana disitir kembali oleh Hanna Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian:
1. Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki)
2. Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki- laki)
3. Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki- laki)
4. Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki- laki)
B. Perasaan Beragama Pada Remaja
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat- sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan, ketidak adilan, penderitaan, kezaliman, persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan tuhan sama sekali.
Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang yang tergantung pada perubahan- perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan allah misalnya, kadang- kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam ketika ia takut gagal atau merasa berdosa.
C. Motivasi Beragama Pada Remaja
Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi beragama dibagi menjadi empat motivasi, yaitu:
1. Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan, baik frustasi karena kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasi social, frustasi moral maupun frustasi karena kematian.
2. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
3. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahu manusia.
4. Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.
D. Sikap Remaja Dalam Beragama
Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:
1. Percaya ikut- ikutan
Percaya ikut- ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.
2. Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah- masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagaio suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
a. Dalam bentuk positif
semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
b. Dalam bentuk negatif
Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah- masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
3. Percaya, tetapi agak ragu- ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
a. Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
b. Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.
4. Tidak percaya atau cenderung ateis
Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.
E. Faktor- Faktor Keberagamaan
Robert H. Thouless mengemukakan empat faktor keberagamaan yang dimasukkan dalam kelompok utama, yaitu:
? Pengaruh- pengaruh sosial
? Berbagai pengalaman
? Kebutuhan
? Proses pemikiran
Factor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi- tradisi sosial dan tekanan- tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan agama adalah kebutuhan- kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan agama. Kebutuhan- kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian, antara lain kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk memperoleh harga diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya kematian.
Faktor terakhir adalah pemikiran yang agaknya relevan untuk masa remaja, karena disadari bahwa masa remaja mulai kritis dalam menyikapi soal- soal keagamaan, terutama bagi mereka yang mempunyai keyakinan secara sadar dan bersikap terbuka. Mereka akan mengkritik guru agama mereka yang tidak rasional dalam menjelaskan ajaran- ajaran agama islam, khususnya bagi remaja yang selalu ingin tahu dengan pertanyaan- pertanyaan kritisnya. Meski demikian, sikap kritis remaja juga tidak menafikkan faktor- faktor lainnya, seperti faktor berbagai pengalaman.

AGAMA PADA MASA ANAK

A. Perkembangan Jiwa Beragama
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:
1. Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
2. Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
3. Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4. Umur 12 – 21 tahun, periode social atau masa pemuda.
5. Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.
Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 - 6 tahun.
5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 - 10 atau 11 tahun.
6. Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 - 13 tahun
7. Masa Remaja Awal, umur 13 - 17 tahun. Masa remaja akhir 17 - 21 tahun.
8. Masa Dewasa Awal, umur 21 - 40 tahun.
9. Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas.
B. Agama Pada Masa Anak- Anak
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh.
Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.
C. Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b. Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a. Fase dalam kandungan
untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
b. Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
c. Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
d. Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
4. Sifat agama pada anak
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
a. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
b. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa.
Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
c. Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
d. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
e. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting.
Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
f. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.


Fahru Rozi, S.Pd.I

Thursday, August 5, 2010

Makalah Penelitian Tafsir Qur'an

PENELITIAN TAFSIR

A. PENGERTIAN TAFSIR
Tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian . Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan) kata taf’il, diambil dari kata al-tafsir yang berarti al-bayan (penjelassan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap;dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah yang di gunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Selahjutnya, pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar al-Quran tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al-Jurjani, misalnya, mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya, baik konteks historinya maupun sebab Al-Nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjukan kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Sementara itu imam Al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir ialah ilmu yang membahas kandungan al Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya, Abu Hayan, sebagaimana dikutip Al-Suyuti, mengatakan bahwa tafsir ialah ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal Al Qur’an disertai makna serta hokum-hukum yang terkandung didalamnya. al-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir atau ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw; dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta, hikmah yang terkandung didalamnya.
Dari beberapa definisi diatas kita menemukan tiga ciri utama tafsir, pertama,dilihat dari segi obyek pembahasanya adalah kitabullah (Al-Quran) yang didalamnya terkaundung firman Allah Swt. Yang di turunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad Saw. Melalui malaikat jibril. Kedua, dilihat dari segi tujuanya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkapkan dengan Alquran sehingga dapat di jumpai, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung didalamnya. Ketiga, dilihat dari segi lafad dan kedudukanya adalah hasil penanganan, kajian, dan ijtihat para mufasir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya,sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
Dengan demikian, secara singkat dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam penyelidikan secara seksama terdapat penafsiran Al Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terakit denganya.
Objek pembahasan tafsir, yaitu al-Quran merupakan sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan umat ini. berdasarkan kedudukan dan peran al-Quran tersebut, Quraish Shihab mengatakan jika demikian halnya, pemahaman terhadap ayat –ayat al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan sangat besar bagi maju mundurnya umat, sekaligus dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.

B. LATAR BELAKANG PENELITIAN TAFSIR
Dilihat dari segi usianya, penafsiran al-Quran termasuk yang paling tua dibandingkan dengan kegiatan ilmiah lainya dalam Islam pada saat al-Quran ditirunkan lima belas abad yang lalu, Rasulullah Saw. yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) telah menjelaskan arti dan kandungan al-Quran kepada sahabat-sahabatnya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau sama artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya rasulullah, walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui, sebagai akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang rasul Saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandunga al-Quran.
Kalau pada masa rasul saw, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya mereka terpaksa melakukan ijtihat, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali ibn Abi Thalib, Ibn ‘Abas, Ubay bin Ka’ab dan Ibn Mas’ud.
Sementara itu ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Quran kepada tokoh-tokoh Ablul-kitab (kaum yahudi dan nasrani) yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Akhbar. Inilah yang selanjutnya merupakan benih lahirnya Israiliat.
Disamping itu, para tokah tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan diatas mempunyai murid-murid dari para tabi’in khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal, sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota tersebut, saparti (a) Sa’id bin Jubair, Mujahit bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibn ‘Abbas; (b) Muhammad bin ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah yang ketika itu barguru kepada Ubay bin Ka’ab, dan (c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya’bi, di Irak yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Gabungan dari ketiga sumber diatas, yaitu penafsiran rasulullah saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in dikelompokkan menjadi satu kelompok yang selanjutnya dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dua sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini bahasa hadis – hadis telah beredar sedemikian pesatnya dan bermunculanlah hadist-hadist palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. sementara itu, perubahan-perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad Saw, para sahabat dan tabi’in.
Pada mulanya, usaha penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang terkandung oleh satu kosa kata. Namun, sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihat dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran, sehingga bermuncullah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keaneka ragaman tersebut ditunjang pula oleh al-Quran, yang keadaanya seperti di katakan oleh ’Abdullah Darras dalam Al-Naba’ al-Azhim: ” Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.”
Berdasarkan pada adanya upaya penafsiran al-Quran dari sejak zaman Rasulullah Saw. hingga dewasa ini, serta adanya sifat dari kandungan al-Quran yang terus-menerus memancarkan cahaya kebenaran itulah yang mendorong timbulnya dua kegiatan, pertama, kegiatan penelitian di sekitar produk-produk penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu. dan kedua, kegiatan penafsiran al-Quran itu sendiri.

C. MODEL-MODEL PENELITIAN TAFSIR
Dalam kajian kepustakaan dapat dijumpai berbagai hasil penelitaan para pakar al-Quran terdapat produk tafsir yang dilakukan generasi terdahulu. Masing-masing peneliti telah mengembangkan model-model penelitian tafsir tersebut lengkap dengan hasil-hasilnya. Berikut ini akan kita kemukakan beberapa model penafsiran al-Quran yang dilakukan para ulama tafsir, sebagai berikut:

1. Corak Quraish Shihab
H.M. Quraish Shihab (lahir th.1944)-pakar di bidang Tafsir dan Hadis se-Asia Tenggara-, telah banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya ulama terdahulu di bidang tafsir. Ia, misalnya, telah meneliti tafsir karangan Muhammad Abduh dan H. Rasyid Ridla, dengan judul Studi kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1944. Model penelitian tafsir yang di kembangkan oleh H.M. Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analisis, dan perbandingan. Yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lainya. Data-data yang dihasilkan dari berbagai literatur tersebut kemudian dideskripsikan secara lengkap dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kategorisasi dan perbandingan.
Hasil penelitian H.M Quraish Shihab terhadap Tafsir al-Manar Muhammad Abduh, misalnya menyatakan bahwa Syaih Muhammad Abduh (1849-1909) adalah seorang ahli tafsir yang banyak mengandalkan akal, menganut prinsip tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tadak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci dalam alquran. Ketika menafsirkan firman Allah dalam al-Quran surat 101 ayat 6-7 tentang ”timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian”, Abduh menulis ”Cara Tuhan dalam menimbang perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu,tiada kecuali atas dasar apa yang diketahuioleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui, maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya hanya kepada Allah Swt. Atas dasar keimanan. Bahkan,’Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya sebagaimana sikap yang ditempuh sahabat ’Umar bin Khathab ketika membaca abba dalam surat Abasa (QS 80: 32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-nya.
Selanjutnya, dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir. Antara lain tentang: (1) periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir, (2) corak-corak penafsiran, (3) macam-macam matode penafsiran al-Quran. Berbagai aspek yang berkaitan dengan penafsiran al-Quran ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut;

a. Periodisasi Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir
Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi penulisanya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat dibagi ke dalam tiga periode.
Periode 1, yaitu masa Rasulullah, sahabat dan permulaan tabi’in, di mana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan.
Periode 2, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan ’Umar bin Abdul ’Aziz (99-101 H.) di mana tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi al-ma’tsur.
Periode 3, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli menduga dimulai oleh Al-Farra (w.207 H.) dengan kitabnya berjudul ma’ani al-Quran.
Periodesasi tersebut masih dapat ditambahkan lagi dengan periode keempat, yaitu periode munculnya para peneliti tafsir yang membukukan hasil penelitianya itu, sehingga dapat membantu masyarakat mengenal karya-karya tafsir yang ditulis oleh ulama pada periode sebelumnya dengan mudah.

b. Corak penafsiran
Berdasarkan hasil penelitianya. Quraish shihab mengatakan bahwa corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: (a) corak bahasa sastra yang timbul akibat kelemahan-kelemahan orang arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang kaistimewaan dan kedalaman arti kandungan alquran di bidang ini. (b) Corak Filsafat dan Teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka. (c) corak Penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat Alquran sejalan dengan perkembangan ilmu. (d) Corak Fiqih atau Hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
c. Macam – macam Metode Penafsiran AlQur’an
1) Corak Ma’tsur (Riwayat)
Ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shaheh menurut urutan yang telah disebutkan dimuka dalam syarat-syarat mufassir. Yaitu menafsirkan Qur’an dengan Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan shahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat.

Kalau kita mengamati metode penafsiaran sahabat-sahabat Nabi Saw, ditemukan bahwa pada dasarnya_setelah gagal menemukan penjelasan Nabi Saw, mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini, misalnya Umar ibn Al-Khattab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah QS. An Nahl; 47: yang artinya:
”Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa) . Maka Sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan artinya adalah ”pengurangan”. Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-islam. Umar kekita itu dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami al-Quran.
Setelah masa sahabat pun, para tabi’in dan atba al-tabi’in, masih mengandalkan metode metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya. Kalaulah kita berpendapat bahwa al-farra’(w.207) merupakan orang pertama yang mendektekan tafsirnya ma’aniy Qur’an, dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w.310 H) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.
Metode Ma’tsur (riwayat) tersebut memiliki keistemewaan antarar lain
(a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran
(b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika meyampaikan pesan-pesannya
(c) Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektifitas berlebiahan.
Sedangakan kelemahan antara lain;
(a) Terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian kebahasaan dan kesuasateraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Quran menjadi kabur dicelah uraian tersebut.
(b) Seringkali konteks turunnya ayat (Uraian asbabul-nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
2) Metode penalaran;pendekatan dan corak-coraknya
Banyak cara, pendekatna dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasannya apabila kita bermaksud menelusurinya satu per satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efesien, bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir yang bercorak penalaran ini kepada empat macam metode, yaitu tablily, ijmaly muqorin dan maudlu’iy. Keempat macam metode penafsiran yang bertitik tolak pada penalaran ini dapat dikemukakan sebagai berikut;
a) Metode Tablily
Metode tablily atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode Tajzi’iy adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Quran debagaimana tercantum di dalam mushhaf. Dalam hubungan ini mufassir mulai dari ayat-ke ayat berikutnya, atau dari surat ke surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai dengan yang termaktub di dalam mushhaf. Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufassir tajzi’iy/tahlily diuraikan. Yaitu bermula dari kosakata, Asbab al-Nuzul, Munasabat, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.
Setelah semua langkah yang tersebut di atas sudah ditempuh, mufassir tahlily lalu menjelaskan seluruh aspek dari semua penafsiran mengenai isi dan maksud ayat al-Quran tersebut.
Kelebihan metode ini antara lain adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Penafsirannya menyangkut segala aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir dalam setiap ayat. Analisis ayat dilakukan secara mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan dan kecenderungan mufassir. Metode ini, walaupun dinilai luas, namun tidak menyelesaikan pokik bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain.
Cara penafsiran ayat-ayat dalam Tafsir al-Kasysyaf karangan Al-Zamkhsyari dan Tafsir al-kabir karangan Al-Razi, biasanya dijadikan sebagai contoh untuk memahami tafsir dengan cara tahlily. Berikut ini, antara lain contoh tersebut dalam ayat 164 surat Al-Nisa yang artinya:
” Dan (Kami Telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh Telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung”.

Dapat kita lihat tafsirnya dalam kedua kitab tafsir di atas. Al-zamakhsyari, dengan melakuan penafsiran kosakata, mengartikan lafal kallama dengan al-jarh.Dengan demikian, ayat tersebut diberi arti dan ”Allah telah melukai Musa dengan kuku ujian dan cobaan-cobaan hidup”. Untuk ayat dan lafal yang sama, Al-Razi tetap memakai arti umum, yaitu berbicara. Sehingga penafsiran yang selama ini dikenal, yaitu bahwa Allah berbicara kepada Musa As.

b) Metode Ijmali
Metode Ijmali atau disebut juga dengan metode global adalah cara menafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Dalam praktiknya metode ini sering terintegrasi dengan metode tahlily karena itu seringkali metode ini tidak dibahas secara tersendiri. Dengan metode ini seorang mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat tersebut secara garis besar saja.
c) Metode Muqarrin
Metode muqarin adalah suatu metode tafsir al Qur’an yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat al Qur’an yang satu dengan yang lain nya, yaitu ayat-ayat yang mmpunyai kemiripan redaksi dlm dua atau lebih kusus yang berbeda, dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, dan atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis-hadis nabi Muhammad SAW., yang tampak bertentangan, serta mbandingkan pendapat-pendapat ulama’ tafsir menyangkut penafsiran al-Qur’an.
Sejalan dengan karangka tersebut diatas, maka prosedur penafsiran dengan cara muqarrin tersebut dilakukan sebagai berikut.
1) Menginfentarisasi ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemripan redaksi;
2) Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut;
3) Mengadakan penafsiran. Contoh:

”Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Anfal; 10)


”Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Ali Imran; 126)

Dua ayat tersebut redaksinya kelihatan mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum Muslimin ketika melawan musuh-musuhnya, namun berbeda pada hal-hal sebagai berikut. Surat Al Anfal (1) mendahulukan kata  dari pada  (2) memakai kata  (3) berbicara mengenai perang Badar. Surat Ali Imran: (1) memakai kata  (2) berbicara tentang perang Uhud.
Keterdahuluan kata  dan penambahan kata  dalam ayat pertama diduga keras sebagai tauhid terhadap kandungan utama ayat, yakni bantuan Allah pada perang Badar, mengingat perang itu yang pertama, dan jumlah kaum Muslimin sedikit.
Dalam perang Uhud, tauhid itu tidak diperkukan, sebab pengalaman perang sudah ada, dan umat Islam sudah banyak, dan pemakaian kata disini menandakan kegembiraan itu hanya untuk sahabat, bukan kegembiraaan abadi seperti kasus ayat pertama.

d) Metode Maudlu’iy,
Salah satu pesan dari Ali bin Abi Thalib adalah: ”Ajaklah al Quran berbicara atau biarkan ia menguraikan maksudnya”. Pesan ini antara lain pengharusan penafsiran merujuk kepada al Qur’an dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode maudlu’iy dimana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang di tetapkan sebelumnya. Kemudian penafsiran membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebutsehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Adanya metode penafsiran dengan cara tematik tersebut, menurut Quraish Shihab berasal dari Mahmud Syaltout. Dalam hubungan ini Quraish Shihab mengatakan, bahwa pada bulan juli 1960, Syaikh Mahmud Syaltout menyusun kitap tafsir berjudul Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syatibi (w.1388 M.) yaitu bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut. Berdasarkan ide Al-Syatibi tersebut, syaltout tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat, atau bagian- bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.
Namun menurut Quraish Shihab, apa yang di tempuh oleh Syaltout belum menjadikan pembahaan tentang petunjuk Al Qur’an di paparkan dalam bnentuk menyeluruh, karna seperti di kemukakan di atas, bahwa satu masalah dapat di temukan dalam berbagai surat.atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan mewnyeluruh. Ide ini di mesir dikembangkan lebih lanjut oleh Prof. Dr. Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan.Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode Maudlu’iy, gaya Mahmud Syaltout diatas.
Berdasarkan data tersebut, Quraish Shihab sampai pada kesimpulan bahwa metode maudlu’iy mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuanya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al Qur’an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunya,kemudian menjelaskan pengrtian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al Qur’an secara utuh tentang masalah yang di bahas itu.
Berbagai metode penafsiran al Qur’an tersebut bagi Quraish shihab bukan hanya sekedar teori atau pengetahuan belaka sebagaimana pada umumnya yang di miliki para pakar, tetapi telah di praktekannya dalam kegiatan menafsirkan al Qur’an. Ia misalnya menulis buku mahkota tuntunan ilahi (terbitan untagama tanpa tahun) yang isinya adalah tafsir surat al-Fatihah. Sementara bukunya yang lain seperti membumikan al Quran, yang di terbitkan mizan di tahun 90-an berisi pembahasan tentang berbagai masalah sosial kemasyarakatan dengan menggunakan metode tematik.

2. Model Ahmad Al-Syarbasi
Pada tahun 1985 Ahmad Al-Syarbasi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis sebagaimana halnya yang di lakukan Quraish Shihab, sedangkan sumber yang di gunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang di tulis para ulama tafsir, seperti Ibn Jarir al-Thabari, al-Zamakhsyari, Jalalludin al-Suyuthi, al-Raghib al-Ashfahani, al-Syatibi, Haji Khalifah. Hasil penelitiannya itu mencakup tiga bidang, pertama, mengenai sejarah penafsiran al Qur’an yang di bagi ke dalam tafsir pada masa sahabat nabi, kedua mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi, tafsir politik, ketiga, mengenai gerakan pembaruan di bidang tafsir.
Menurutnya, tafsir pada zaman rasulullah saw. Pada awal masa pertumbuhan Islam di susun pendek ringkas karena penguasaan bahasa arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat al Qur’an. Pada masa-masa sesudah itu penguasaan bahasa Arab yang murni tadi mengalami kerusakan akibat percampuran masyarakat Arab dengan bangsa-bangsa lain, yaitu ketika pemeluk Islam berkembang luas keberbagai negeri. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang-orang arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti ilmu nahwu (gramatika) dan balaghah (retorika). Di samping itu mereka juga mulai menulis tafsir al Qur’an untuk di jadikan pedoman bagi kaum muslimin. Dengan adanya tafsir itu umat Islam dapat memahami banyak hal yang samar dan sulit untuk di tangkap maksudnya.
Lebih lanjut al-Syarbasi mengatakan, tentu saja pertama-tama kita harus mengambil tafsir dari rasulullah saw. Maudhu’ Melalui riwayat-riwayat hadist yang tidak ada keraguan atas kebenarannya, ini sangat perlu ditkankan, karena banyak hadist (palsu-buatan). Setelah kita pegang tafsir yang berasal dari nabi, barulah kita cari tafsir-tafsir dari para sahabat beliau.
Tentang tafsir ilmiah, Ahmad al-Syarbasi mengatakan, sudah dapat kita pastikan bahwa dalam al Qur’an tidak terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam kenyataan ilmiah. Ini merupakan satu segi dari kedudukanya sebagai mukjizat. Munculnya istilah tafsir ilmiah yang dikemukakan oleh al-Syarbashi tersebut antara lain di dasarkan pada kitab tafsir al-Razi. Dalam kaitan ini ia mengatakan bahwa dalam kitab tafsir al-Razi banyak bagiannya yang dapat di anggap ilmiah, sama halnya dengan kitab tafsir Muhammad bin Ahmad al-Iskandari dengan judul panjang, yaitu Kasyful Asrar Al-Nuraniyah Al-Quranniyah Fi Ma Yata’allaqu Bi Arwah Al-Samawiyah Wa Al-Ardliyah. Demikian juga kitab-kitab tafsir yang lain seperti Muqaranatu Ba’dhi Mababith Al-Hai’ab Bi Al-Warid Fi Al-Nusbubusby Syar’iyyah, karya Abdullah Pasha Fikri: kitab tafsir al- Jawahir karya syaikh Tantawi Jauhari, dan kitab-kitab tafsir lainya yang cenderung menafsirkan al Qur’an secara ilmiah.
Selanjutnya, tentang tafsir sufi, al-Syarbashi mengatakan ada kaum sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf al Qur’an dan berusaha menerangkan hubungannya yang satu dengan yang lainya, adanya tafsir sufi tersebut, al-Syarbasi mendasarkan kepada kitab-kitab tafsir yang di karang para ulama sufi, untuk itu ia mengutip pendapat-pendapat al-Thusi yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah dapat di jangkau dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, segala sesuatu yang telah dapat di pahami dan segala sesuatu yang telah di ungkapkan serta di ketahui oleh manusia, semua itu berasal dari dua huruf yang terdapat pada permulaan kitabullah, yaitu bismillah dan al-hamdullilah karena keduannya bemakna billah (karena allah) dan lillah (bagi allah). Ilmu dan pengetahuan apa saja yang dimiliki manusia atau apa saja yang di miliki manusia atau apa saja yang telah dapat mengerti oleh menusia tindaklah ada dengan sendirinnya, melainkan adanya karena Allah dan bagi Allah.
Mengenai tafsir politik, al-Syarbashi mendasarkanya pada pendapat-pendapat kaum Khawarij dan lainnya yang terlibat dalam politik dalam memahami ayat-ayat al Qur’an. Menurut mereka terdapat ayat-ayat al Qur’an yang berkenaan dengan perilaku dan peran politik yang di mainkan oleh kelompok yang bertikai. Misal yang artinya: di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya demi keridlaan Allah.
 ••           
”Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”
(Qs al-Baqarah, 207).

Menurut kaum khawarij, ayat tersebut di turunkan berkenaan dengan Ibn Muljam, orang yang membunuh Ali bin Abi Tholib. selanjutnya ,
                             •    
”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS Al-Hujarat. 9).

Menurut kaum Khawarij ayat tersebut di turunkan Allah berkaitan dengan terjadinya peperangan antara golongan Ali bin Abi Tholib dan golongan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Selanjutnya, mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir, Ahmad al-Syarbashi mendasarkan pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad ke 20. ia menyebutkan Sayyid Rasid Ridha - murid Syeikh Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya kedalam masalah al-manar. Itu merupakan langkah pertama. langkah selanjutnya, ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang di beri nama Tafsir Al-Manar, yaitu kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut al Syarbashi, Muhammad Abduh telah berusaha menghubungkan ajaran – ajaran al Qur’an dengan kehidupan masyarakat disamping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi, dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.
Methode tafsir yang digunakan Muhammad Abduh dalam tafsrinya itu adalah menafsirkan alQur’an dengan alQur’an, hadist-hadits shahih serta tetap berpegang pada makna menurut pengrtian bahasa Arab. Hal ini dilakukan karena Syaikh Muhammad Abduh memandang bahwa teks induk al Qur’an sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi dan menyempurnakan.

3. Model Syaikh Muhammad al Ghazali
Syaikh muhammad al-Ghazali di kenal sebagai tokoh pemikir Islam abad modern yang produktif. Banyak hasil penelitian yang di lakukan, termasuk dalam bidang tafsir al Qur’an. Sebagaimana para peniliti tafsir lainya, Muhammad al-Ghazali menempuh cara penelitian tafsir lainya, Muhammad al-Ghazali menempuh cara penilitian tafsir yang bercorak eksploratif, deskriptif, dan analisis dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang di tulis ulama terdahulu.
Salah satu hasil penelitian yang di lakukan oleh Muhammad al-Ghazali adalah berjudul berdialog dengan al Qur’an, ayat-ayat kauniyah dalam al Qur’an, bagaimana memahami al Qur’an, peran ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dalam memahami al Qur’an.
Tentang macam-macam metode memahami al Qur’an, al-Ghazali membaginya kedalam metode klasik dan metode modern dalam memahami al Qur’an, menurutnya dalam berbagai kajian tafsir, kita banyak menemukan metode memahami al Qur’an berawal dari ulama generasi terdahulu. Mereka telaah berusaha memahami kandungan al Qur’an, sehingga lahirlah apa yang kita kenal dengan metode memahami al Qur’an. kajian ini berkisar pada usaha-usaha menemukan nilai-nilai sastra, fiqih, kalam, aspek sufistik filosofinya, pendidikan dan sebagainya dengan mengunakan metode yang telah ada, dapatkah kita menggunakannya pada zaman sekarang?
Demikian pertanyaan yang di ajukan Imam al-Ghazali setelah ia menemukan berbagai metode yang di gunakan para ulama terdahulu dalam memahami al Qur’an, Muhammad al-Ghozali, misalnya, menyebutkan metode kajian teologis, sufistik, dan filosofis yang di anggap cukup radikal dan menyentuh masalah-masalah hukum.
Berbagai macam metode atau kajian yang di kemukakan Muhammad al-Ghazali tersebut oleh ulama lainya di sebut sebagai pendekatan, dan bukan metode. Hal ini terjadi karena sebagai sebuah disiplin ilmu biasanya memiliki metode. Dalam hubungan ini Muhammad al Ghazali kelihatannya ingin mengatakan bahwa metode yang terdapat dalam berbagai disiplin ilmu tersebut ingin digunakan dalam memahami al Qur’an.
Selanjutnya, Muhammad alGhazali mengemukakan adanya metode modern dalam memahami al Qur’an. Metode Modern ini timbul sebagai akibat dari adanya kelemahan pada berbagai metode yang telah disebutkan diatas. Dalam hal ini, Muhammad al Ghazali menginformasikan adanya pendekatan atsariyah atau Tafsir bi al Ma’tsur. Menurutnya, kajian ini dapat kita lihat dalam kitab tafsir ibn katsir, kitab tafsir yang populer. Metode ini pernah digunakan oleh ibn Jarir al Thabary, tetapi menurut Muhammad al Ghazali metode ini perlu mendapat kritik karena ayat-ayat dalam kajian tersebut banyak dikaitkan dengan hadits-hadits Dha’if, sehingga apa yang diharapkan dari sebuah tafsir al Qur’an dengan pemikiran Qur’any, tampaknya belum begitu terlihat. Sayyid Kutub dalam sebuah karyanya, Fi Dzilal al Qur’an misalnya, dinilai oleh Muhammad al Ghazali, hanya mengutip nas-nas saja dari tafsir ibn Katsir, sedangkan hadits-haditsnya tidak diikuti secara lengkap, ia mengutip nas-nasnya saja. Hal ini dimaksudkan agar beliau dapat menemukan pikiran-pikiran yang baru yang orisinil.
Selanjutnya, Muhammad al Ghazali mengemukakan ada juga tafsir yang bercorak dialogis, seperti yang pernah dilakukan oleh al Razi dalam tafsirnya al Tafsir al Kabir. Menurutnya tafsir ini banyak menyajikan tema-tema menarik, namun sebagian dari tema tafsir tersebut sudah keluar dari batasan tafsir itu sendiri, yang menjadi acuan kebanyakan penafsir al Qur’an.
Berangkat dari adanya berbagai kelemahan yang terkandung dalam metode penafsiran masa lalu, terutama jika dikaitkan dengan keharusan memberikan jawaban terhadap berbagai masalah kontemporer dan modern, Muhammad al Ghazali sampai pada suatu saran antara lain: ”kita inginkan sa’at ini adalah karya-karya keIslaman yang menambah tajamnya pandangan Islam dan bertolak dari pandangan Islam yang benar dan berdiri diatas argumen yang memiliki hubungan dengan al Qur’an. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pikiran manusia adalah relatif dan spekulatif, bisa benar juga bisa salah. Keduanya memiliki bobot yang sama dalam sebuah kegiatan pemikiran. Selain, kita juga tidak menutup mata terhadap adanya manfa’at atau fungsi serta sumbangan pemikiran keagamaan lainnya, bila itu semua menggunakan metode yang tepat”. Itulah sebagian kesimpulan dan saran yang diajukan Muhammad al Ghazali dalam penelitiannya.

4. Model Penelitian lainnya.
Selanjutnya, dijumpai pula penelitian yang dilakukan para ulama terhadap aspek-aspek tertentu dari al Qur’an. Diantaranya ada yang memfokuskan penelitiannya terhadap kemu’jizatan al Qur’an, metode-metode, kaidah-kaidah dalam menafsirkan al Qur’an, kunci-kunci untuk memahami al Qur’an, serta ada pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah penafsiran al Qur’an yang khusus yang terjadi pada abad ke-empat.
Selanjutnya, Amin Abdullah dalam bukunya berjudul study Agama juga telah melakukan penelitian deskriptif secara sederhana terhadap perkembangan tafsir. Amin Abdullah mengatakan, jika dilihat secara garis besar perjalanan sejarah penulisan tafsir pada abad pertengahan, agaknya tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa dominasi penulisan tafsir al Qur’an secara leksiografis (lughawi) tampak lebih menonjol. Tafsir karya Shihab al Din al Khaffaji (1659) memusatkan perhatian pada analisis gramatika dan analisis sintaksis atas ayat-ayat al Qur’an. Juga karya al Baydhawi (1286), yang hingga sekarang masih digunakan dipesantren-pesantren, memusatkan perhatian pada penafsiran al Qur’an corak leksiografis seperti itu.
Tafsir modern karya ’Aisyah Abd Rahman bint al Syati’ al Tafsir al Bayan li alQur’an al Karim yang oleh silabus jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan KaliJaga halaman 151 disebut tafsir al’Asri, juga masih punya kesan kuat corak leksiografis.
Amin Abdullah lebih lanjut mengatakan, meskipun begitu, masih perlu digaris bawah karya Tafsir Mutakhir ini kaya dengan metode komperatif didalam memahami dan menafsirkan arti suatu kosakata al Qur’an. Binti al Syati’ selalu melihat ulang bagaimana penafsiran dan pemahaman para penafsir terdahulunya al Thabari, al Naisaburi, al Razi, al Suyuthi, al Zamakhsyari, Ibn Qayyim, M. Abduh dan lain-lainnya. Sebelum beliau mengemukakan pendapatnya sendiri diakhir suatu bahasan.
Tanpa harus mengecilkan jasa besar tafsir bercorak leksikografis, corak penafsiran seperti itu dapat membawa kita kepada pemahaman al Qur’an yang kurang utuh karena belum mencerminkan suatu kesatuan pemahaman yang utuh dan terpadu dari ajaran al Qur’an yang fundamental. Karya tafsir yang menonjolkan I’jaz umpamanya, akan membuat kita terpesona akan keindahan bahasa al Qur’an, tetapi belum dapat menguak nilai-nilai spiritual dan sosio moral al Qur’an untuk kehidupan sehari-hari manusia. Begitu juga penonjolan Asbab al Nuzul bila terlepas dari nilai-nilai fundamental universal yang ingin ditonjolkan-sudah barang tentu bermanfa’at untuk mempelajari latarbelakang sejarah turunnya ayat perayat, tetapi juga mengandung minus keterkaitan dan keterpaduan antara ajaran al Qur’an yang bersifat universal dan transendental bagi kehidupan manusia dimanapun mereka berada.


FAHRU ROZI